BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Pemicu
Seorang remaja puteri usia 15 tahun sedang mengamati bekas luka yang berwarna hitam disertai jaringan parut pada tungkai kanan karena jatuh dari sepeda. Padahal  beberapa waktu yang lalu dia mengalami luka tanpa meninggalkan bekas pada jari akibat tergores pisau saat mengupas mangga. Dua hari yang lalu kakeknya mengalami luka berdarah akibat terkena sabit saat sedang berkebun. Ia mengobati luka kakeknya supaya tidak meninggalkan bekas seperti luka yang pernah dialaminya.
1.2              Klarifikasi dan Definisi
a.       Jaringan parut: Jaringan dengan bentuk tidak beraturan, meninggi dan membesar secara progresif akibat pembentukan kolagen yang berlebihan di dalam dermis selama perbaikan jaringan ikat.
b.      Luka : kerusakan integritas epitel dari kulit atau terputusnya kesatuan struktur anatomi normal dari suatu jaringan akibat suatu trauma.
1.3              Kata Kunci
a.       Bekas luka hitam
b.      Jaringan parut
c.       Remaja 15 tahun
d.      Luka tergores pisau
e.       Luka pada tungkai kanan
f.       Luka akibat sabitan
g.      Posisi luka
h.      Proses penyembuhan luka
1.4              Rumusan Masalah
Remaja putri 15 tahun ingin mengobati luka kakeknya agar tidak berbekas seperti yang dialami nya .



1.5              Analisis Masalah
 

























1.6              Hipotesis
Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka adalah jenis –jenis luka,usia, penyakit bawaan, sirkulasi, jenis sel, nutrisi, imunitas, konsumsi obat-obatan serta pengobatan luka.
1.7              Pertanyaan diskusi
1.7.1        Apa definisi luka ?
1.7.2        Apa saja jenis dan klasifiskasi luka?
1.7.3        Bagaimana tatalaksana luka?
1.7.4        Bagaimana proses penyembuhan luka?
1.7.5        Apa saja faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka?
1.7.6        Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada luka?
1.7.7        Apa saja nutrisi yang dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka?
1.7.8        Bagaiamana reaksi imun terhadap luka?
1.7.9        Bagaimana hubungan hiperpigmentasi dengan proses penyembuhan luka?
1.7.10    Apa saja tipe jaringan parut?
1.7.11    Bagaimana proses pembentukan jaringan parut?
1.7.12    Bagaimana pencegahan agar tidak terbentuk jaringan parut?
1.7.13    Bagaimana tatalaksana jaringan parut?
1.7.14    Apa hubungan munculnya jaringan parut terhadap luka akibat jatuh dari sepeda?
1.7.15    Apa hubungan luka yang tanpa bekas terhadap luka tergores pisau?
1.7.16    Bagaimana pengaruh flora normal terhadap luka?








BAB II
PEMBAHASAN
2.1.      Definisi Luka
Hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh atau luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang.1

2.2       Klasifikasi luka
            Jenis-jenis luka digolongkan berdasarkan : 2,3,4,5,6,7,8,9
1.      Berdasarkan sifat kejadian, dibagi menjadi 2, yaitu luka disengaja (luka terkena radiasi atau bedah) dan luka tidak disengaja (luka terkena trauma). Luka tidak disengaja dibagi menjadi 2, yaitu :
a.       Luka tertutup : luka dimana jaringan yang ada pada permukaan tidak rusak (kesleo, terkilir, patah tulang, dsb). Luka tertutup dibagi menjadi tiga: kontusi, hematoma dan luka tekan. Luka tertutup memiliki bahaya yang sama dengan luka terbuka. 
b.      Luka terbuka : luka dimana kulit atau selaput jaringan rusak, kerusakan terjadi karena kesengajaan (operasi) maupun ketidaksengajaan (kecelakaan). Luka terbuka diklasifikasikan berdasarkan obyek penyebab luka antara lain: luka insisi, luka laserasi, luka abrasi, luka tusuk, luka penetrasi, dan luka tembak.
2.        Berdasarkan penyebabnya, di bagi menjadi :
a.         Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun benturan benda tajam ataupun tumpul.
b.         Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan benda tajam ( seng, kaca ), dimana bentuk luka teratur .
c.         Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot.
d.        Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar.
e.         Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut.
f.          Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan mukosa.
3.        Berdasarkan tingkat kontaminasi
a.         Clean Wounds (luka bersih), yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup, jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% – 5%.
b.         Clean-contamined Wounds (luka bersih terkontaminasi), merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% – 11%.
c.         Contamined Wounds (luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna. Pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% – 17%.
d.        Dirty or Infected Wounds (luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka.
4.        Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka
a.         Stadium I : Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
b.         Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
c.         Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
d.        Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.
5.        Berdasarkan waktu penyembuhan luka
a.         Luka akut : yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati.
b.         Luka kronis : yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.


2.3       Tatalaksana luka
Dalam manajemen perawatan luka ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu evaluasi luka, tindakan antiseptik, pembersihan luka, penjahitan luka, penutupan luka, pembalutan, pemberian antiboitik dan pengangkatan jahitan.
1.      Evaluasi luka meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik (lokasi dan eksplorasi).Dalam anamnesis, dicari informasi penyebab luka, kapan terjadinya luka, apa saja yang dilakukan untuk mengurangi luka. Perlu juga ditanya tentang kebiasaan merokok atau pemakaian obat karena dapat mempengaruhi proses penyembuhan. Apabila ada masalah atau penyakit tertentu yang dapat mengganggu penyembuhan lainnya juga perlu untuk diketahui. 10
Untuk pemeriksaan fisik, nilai status gizi, status jantung dan sirkulasi pasien. Lokasi luka diamati dengan baik melihat apakah luka termasuk luka bersih atau luka kotor yang terkontaminasi benda asing dan bakteri. Lihat warna kulit sekitar, apabila pucat menunjukkan sirkulasi yang buruk. Pastikan juga kerusakan menembus saraf, otot ataupun tulang. Status tetanus pasien harus dipertimbangkan. Apabila luka karena gigitan hewan, perlu diberikan antirabies.10,11,12
2.      Pembersihan Luka
Tujuan dilakukannya pembersihan luka adalah meningkatkan, memperbaiki dan mempercepat proses penyembuhan luka; menghindari terjadinya infeksi; membuang jaringan nekrosis dan debris.13 Beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam pembersihan luka yaitu :
a.     Irigasi dengan sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk membuang jaringan mati dan benda asing.
Dalam proses pencucian/pembersihan luka yang perlu diperhatikan adalah pemilihan cairan pencuci dan teknik pencucian luka. Penggunaan cairan pencuci yang tidak tepat akan menghambat pertumbuhan jaringan sehingga memperlama waktu rawat dan meningkatkan biaya perawatan. Pemelihan cairan dalam pencucian luka harus cairan yang efektif dan aman terhadap luka.
Cairan yang biasa digunakan adalah 0.9% saline, dan cairan yang mengandung surfaktan. Cairan saline merupakan cairan yang bersifat fisiologis, non toksik dan tidak mahal. NaCl dalam setiap liternya mempunyai komposisi natrium klorida 9,0 g dengan osmolaritas 308 mOsm/l setara dengan ion-ion Na+ 154 mEq/l dan Cl- 154 mEq/l .13Alkohol tidak diberikan pada luka karena bersifat toksik. Kulit sekitar luka juga perlu dipersiapkan dengan larutan antibakteri seperti povidone – iodine.
b.    Hilangkan semua benda asing dan eksisi semua jaringan mati.
c.     Berikan antiseptik
Tindakan Antiseptik, prinsipnya untuk membersihkan kulit. Untuk melakukan pencucian/pembersihan luka biasanya digunakan cairan atau larutan antiseptik seperti:
1)    Alkohol, sifatnya bakterisida kuat dan cepat (efektif dalam 2 menit).
2)    Halogen dan senyawanya, yaitu14
a)    Yodium, merupakan antiseptik yang sangat kuat, berspektrum luas dan dalam konsentrasi 2% membunuh spora dalam 2-3 jam
b)    Povidon Yodium (Betadine, septadine dan isodine), merupakan kompleks yodium dengan polyvinylpirrolidone yang tidak merangsang, mudah dicuci karena larut dalam air dan stabil karena tidak menguap.
c)    Yodoform, sudah jarang digunakan. Penggunaan biasanya untuk antiseptik borok
d)    Klorhesidin (Hibiscrub, savlon, hibitane), merupakan senyawa biguanid dengan sifat bakterisid dan fungisid, tidak berwarna, mudah larut dalam air, tidak merangsang kulit dam mukosa, dan baunya tidak menusuk hidung.
3)    Oksidansia14
a)   Kalium permanganat, bersifat bakterisid dan funngisida agak lemah berdasarkan sifat oksidator.
b)  Perhidrol (Peroksida air, H2O2), berkhasiat untuk mengeluarkan kotoran dari dalam luka dan membunuh kuman anaerob.
4)    Logam berat dan garamnya14
a)   Merkuri klorida (sublimat), berkhasiat menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur.
b)  Merkurokrom (obat merah)dalam larutan 5-10%. Sifatnya bakteriostatik lemah, mempercepat keringnya luka dengan cara merangsang timbulnya kerak (korts)
5)    Asam borat, sebagai bakteriostatik lemah (konsentrasi 3%).
6)      Derivat fenol
7)      Basa ammonium kuartener, disebut juga etakridin (rivanol), merupakan turunan aridin dan berupa serbuk berwarna kuning dam konsentrasi 0,1%. Kegunaannya sebagai antiseptik borok bernanah, kompres dan irigasi luka terinfeksi.
d.    Bila diperlukan tindakan ini dapat dilakukan dengan pemberian anastesi lokal14
e.    Bila perlu lakukan penutupan luka14
Langkah terakhir dari penanganan luka adalah penutupan luka. Tujuan dari penutupan luka ini adalah membantu luka yang cukup lebar yang sulit untuk menutup sendiri dengan proses normal. Metode yang tersedia untuk menutup luka adalah dengan jahitan, staples, tape, perekat jaringan, dan skin graft / skin flap.
Penutupan dengan jahitan paling sering digunakan. jahitan digunakan dengan benang sekecil mungkin tapi bisa menahan luka dengan baik. Tujuannya adalah untuk meminimalkan benda asing pada tubuh dan mencegah reaksi radang. Benang yang digunakan adalah benang yang tidak bisa diserap sehingga perlu untuk dilepas setelah 7 – 10 hari.  Metode lainnya adalah menggunakan staples bedah. Metode ini lebih cepat daripada dengan jahitan tetapi presisinya lebih rendah. Tape dan perekat jaringan digunakan pada luka superficial yang hanya memerlukan perlekatan di daerah luar saja. Sedangkan skin graft / skin flap digunakan untuk luka besar yang apabila ditutup dengan metode biasa akan menyebabkan struktur normal kulit terganggu.15
Dressing adalah bahan yang digunakan secara topikal pada luka untuk melindungi luka, dan membantu penyembuhan luka. Dressing akan mengalami kontak langsung terhadap luka dan dibedakan dengan plester sebagai penahan dressing. Ada beberapa tipe dressing yaitu: film, komposit, hidrogel, hidrokoloid, alginate, foam, dan absorptive dressing lain seperti NPWT. 16,17
Tujuan utama pada luka bersih yang akan ditutup atau dibiarkan bergranulasi adalah menyediakan lingkungan penyembuhan yang lembap untuk memfasilitasi migrasi sel serta mencegah luka mengering. Pemilihan dressing tergantung dari jumlah dan tipe eksudat yang terdapat pada luka. Dressing hidrogel, film, komposit baik digunakan untuk luka dengan jumlah eksudat sedikit. Untuk luka dengan jumlah eksudat sedang digunakan hidrokoloid dan untuk luka dengan jumlah eksudat banyak digunakan alginate, foam dan NPWT. Luka dengan jaringan nekrosis yang besar harus dilakukan debridement terlebih dahulu sebelum memasang dressing. 10,15,17
Growth Factor Eksogen, Pemahaman tentang fase – fase penyembuhan menunjukkan peranan dari berbagai growth factor dalam membantu fase penyembuhan yang berbeda – beda. Pada luka kronis, ditemukan kadar growth factor yang menurun. Melihat peranan dari substansi tersebut, sudah banyak dilakukan penelitian tentang growth factor sintesis yang diberikan pada luka untuk melihat masa pemulihannya. Penelitian tersebut sudah menunjukkan hasil yang signifikan dimana growth factor eksogen dapat membantu pemulihan luka pada fase tertentu.15,18,19
PDGF sebagai salah satu growth factor eksogen awal yang diberikan secara topikal, menunjukkan adanya peningkatan migrasi netrofil, monosit, dan fibroblast ke dalam luka. PDGF juga meningkatkan kecepatan proliferasi sel, bahkan bisa menyebabkan hypertrophic scar. Sebagai hasil respon inflamasi yang meningkat serta proliferasi yang tinggi, PDGF menghambat proses epitelialisasi. Hal ini menyebabkan  jaringan granulasi yang matangt tidak diimbangi dengan pembentukkan epidermis. Pada fase inflamasi awal, PDGF memiliki efek positif tapi tidak pada fase inflamasi akhir.18,19
Growth factor lain seperti TGF-β dan keratinocyte growth factor (KGF) membantu pembentukan matriks dan deposisi serat kolagen pada fase awal penyembuhan. Meskipun demikian, pada fase lanjut tidak terjadi deposisi kolagen dan pembentukan matriks. Penggunaan TGF-β dan KGF juga menunjukkan perpanjangan fase inflamasi yang mengganggu proses penyembuhan Growth factor menunjukkan efek yang cukup baik pada fase tertentu dari proses penyembuhan tetapi tidak bisa membantu seluruh fase proses penyembuhan.18
f.      Penggunaan autologous platelet gel (APG) pada luka juga menunjukkan efek pada kadar growth factor. APG sudah banyak diterapkan dalam beberapa bidang ilmu bedah dalam mempercepat penyembuhan. Penggunaan APG meningkatkan PDGF dan TGF-β dan membantu kontraksi luka melalui aktivasi myofibroblast. Penggunaan gel ini juga membantu proses pembentukan jaringan granulasi dan epitelialisasi.19

2.4              Proses penyembuhan luka
Penyembuhan dan perbaikan luka adalah proses pergantian sel-sel mati yang berbeda dari sel asalnya. Sel-sel baru membentuk jaringan granulasi, yang nantinya menjadi jaringan granulasi, yang nantinya menjadi jaringan parut fibrosa. Penyembuhan luka suka secara ideal berusaha memulihkan jaringan ke dalam bentuk semula, namun bila tidak mungkin akan membentuk jaringan parut.20 Proses penyembuhan luka melibatkan integritas proses fisiologi. Kemampuan sel dan jaringan melakukan regenerasi atau kembali ke struktur normal melalui pertumbuhan penyembuhan luka21
a.       Jenis penyembuhan luka
1.      Penyembuhan Primer
Jenis penyembuhan luka yang paling sederhana dengan menyatukan kedua tepi luka berdekatan dan saling berhadapan. Terdapat sedikit jaringan yang hilang. Dan kemungkinan terjadi infeksi rendah, seperti pada luka inisisasi pembedahan dimana pinggir luka dapat saling didekatkan yang dibuat akibat tindakan pembedahan. Sehingga proses penyembuhan luka lebih cepat
2.      Penyembuhan sekunder
Kedua tepi luka tidak saling berdekatan. Terdapat banyak jaringan yang hilang, kemungkinan terjadi resiko infeksi tinggi. Dan jenis penyembuhan luka yang disertai jaringan granulasi sehingga memerlukan waktu penyembuhan lebih lama20
b.      Fase penyembuhan Luka
1.      Fase Inflamasi
Fase inflamasi merupakan perisiwa awal penyembuhan luka. Reaksi tubh terhadap luka dimulai setelah 5-10 menit dan berlangsung selama 3 hari setelah cedera. Pada haemostatis, vasokontriksi sementara dari pembuluh darah yang rusak terjadi pada saat sumbatan trombosit dibentuk dan diperkuat juga oleh serabut fibrin untuk membentuk bekuan. Respon jaringan yang rusak, jaringan yang rusak dan sel mast melepaskan histamin dan anafilatoksin C3a dan C5a, sehingga menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh darah sekeliling yang masih utuh serta meningkatkan penyediaan darah ke daerah tersebut, sehingga menjadi merah dan hangat. Permeabilitas kapiler darah meningkat dan cairan yang kaya akan protein mngalir ke dalam spasium intertisial, menyebabkan edema lokal. Leukosit polimorfonuklear (polimorf) dan makrofag mengadakan migrasi keluar dari kapiler dan masuk ke dalam daerah yang rusak sebagai reaksi terhadap agen kemotaktik yang dipacu oleh adanya cidera.
2.      Fase Proliferatif
Pembentukan jaringan granulasi adalah pusat dari peristiwa selama fase proliferatif. Jaringan granulasi terdiri dari sel-sel inflamasi, fibroblas, kolagen, neovascular, glikosaminoglycans dan proteoglycans. Pembentukan jaringan granulasi terjadi 3 – 5 hari setelah cedera.
Epitelisasi adalah pembentukan epitel atas permukaan bagian atas. Epitelisasi pada luka insisi melibatkan migrasi sel pada tepi luka lebih kurang 1 mm, dari satu sisi sayatan ke sayatan lainnya. Epitelisasi pada luka sayatan terjadi dalam waktu 24-48 jam setelah cedera. Lapisan epitel merupakan lapisan yang melindungi luka dengan lingkungan luar.
Fibroblas meletakan  substansi dasar dan serabut-serabut kolagen serta pembuluh darah baru memulai menginfiltrasi luka. Fibroblas dimulai 3 – 5 hari setelah terjadinya luka. Fibroblast berasal dari sel masenkim yang belum berdiferensi dan menghailkan makropolisakarida, asam amino glisin serta polin yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan mempertaut tepi luka. Pada fase ini serat kolagen di  bentuk dan dihancurkan kembali untuk menyesuaikan dengan tegagan pada luka yang cenderung mengerut. Pada fase ini kekuatan regangan luka mencapai 25% jarigan normal.
3.      Fase Maturasi
Pada fase ini terjadi proes pematangan luka. Yang terdiri atas penyerapan kembali jaringan yang berlebihan, pengerutan yang sesuai dengan gaya gravitasi dan akhirya perupaan ulang jaringan yang baru. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan.
Udem dan sel radang diserap kembali, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan besarnya regangan
Selama proses ini berlangsung dihasilkan jaringan perut yang pucat dan tipis dan lentur serta mudah digerakkan dari dasar. Luka kulit mampu menahan rgangan kira-kira 80 % kemampuan kulit normal21
2.5       Faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan
Penyembuhan luka dapat tegantung oleh penyebab dari dalam tubuh sendiri (endogen) atau oleh penyebab dari dalam tubuh sendri (eksogen).Penyebab endogen terpenting adalah ganguan koagulasi yang disebut koagulopati dan ganguan sistem imun. Berikut adalah faktor yang bisa menghambat penyembuah luka :22,23
1      Usia
Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah.
2     Nutrisi
Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Klien memerlukan diit kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan mineral seperti Fe, Zn. Pasien kurang nutrisi memerlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak adekuat.
3     Infeksi
Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab infeksi.
4      Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada perokok.
Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.


5.      Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar, hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka.
6.      Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (pus).
7.      Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.
8.      Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh.
9.      Keadaan Luka
Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu.
10.     Obat
Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka.
a.         Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera.


b.      Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan
Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular.  
Faktor yang mempengaruhi penanganan luka22,23
1.         Lama luka
Golden priod (masa emas) merupakan saat kita menggap suatu luka dapat di tangangi dengan sempurna. Jadi luka masih dapat di jahit secara primer. Golden priod suatu luka ± 6 jam. Masa ini berlaku untuk luka kotor dan jelas terkontaminasi. Pada daerah dengan vaskularisasi sangat baik, misalkan kepala dan wajah golden priodnya ± 8 jam. Bila luka masih berada pada golden priod, maka dapat di peroleh Clean Surgical Wound (luka bedah yang bersih).
2.    Bentuk anatomi luka
Luka-luka sederhana cukup dibersihkan dan diberi obat. Sedangkan luka- luka dengan bentuk tak teratur harus di debridement kemudian dilakukan tindakan selanjutnya.
Ada pun beberapa faktor lagi yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka,antara lain:24
1.         Diet yang salah:
Penyembuhan luka adalah suatu proses anabolik yang  membutuhkan energi dan nutrisi. Serum albumin 3,5 gram/dl atau lebih  dibutuhkan untuk penyembuhan luka. Protein penting untuk sintesa kolagen pada  luka. Keadaan malnutrisi berakibat menurunnya kecepatan sintesa kolagen pada  jaringan luka dan meningkatkan kejadian infeksi
2.         Infeksi di daerah luka :
Infeksi pada luka merupakan alasan terkuat bagi  kegagalan penyembuhan luka. Organisme terpenting adalah Staphylococcus  aureus, Streptococcus pyogenes, Corynebacerium sp, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa.


Kekurangan asupan oksigen dan perfusi jaringan ke daerah luka:
Misalnya dalam keadaan sakit yang sangat, dingin, atau cemas dapat menyebabkan vasokonstriksi lokal dan meningkatkan waktu penyembuhan. Merokok dan penggunaan tembakau menurunkan perfusi jaringan dan tekanan oksigen pada luka.
3.      Obat-obatan:
Kemoterapi untuk kanker merupakan grup obat-obatan yang  memperlambat proses penyembuhan luka. Glukokortikoid sistemik juga mempengaruhi proses penyembuhan yang normal, dengan menurunkan sintesa kolagen dan proliferasi
4.         Umur tua:
Pada usia lanjut terjadi keterlambatan penyembuhan luka yang disebabkan karena aktifitas dan pertumbuhan fibroblast yang berkurang dan produksi kolagen menurun, juga kontraksi luka yang melambat.

2.6              Komplikasi pada luka
Komplikasi yang dapat terjadi pada luka antara lain25:
1.         Hematoma
Hematoma timbul dini akibat kegagalan pengendalian pembuluh darah yang berdarah dan dapat timbul lanjut pada pasien hipertensi atau cacat koagulasi. Biasanya hematoma dapat dibiarkan hilang spontan, tetapi hematoma yang meluas membutuhkan operasi ulang dan pengendalian perdarahan.
2.      Infeksi
Infeksi luka tetap merupakan komplikasi tersering dari tindakan operasi dan sering mengikuti hematoma luka. Pada 1867, Lister dalam penelitiannya tentang antiseptik mengatakan bahwa gangrene rumah sakit ikut berperan pada jumlah kematian antara 20-100%. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulen, peningkatan drainase, nyneri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih.  Dewasa ini, infeksi luka sering tidak fatal, tetapi dapat menimbulkan cacat. Dua faktor penting yang jelas berperan pada patogenesis infeksi adalah (1) dosis kontaminasi bakteri dan (2) ketahanan pasien.
3.         Dehiscence dan eviscerasi (pasca operasi)
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius. Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka parsial atau total. Eviscerasi adalah keluarnya darah melalui daerah irisan. Dehiscence luka dapat terjadi 4-5 hari setelah operasi sebelum kollagen meluas di daerah luka. Ketika dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera ditutup dengan balutan steril yang lebar, kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka.

2.7              Nutrisi pada proses penyembuhan luka
Dalam keadaan luka, maka jaringan tubuh terganggukeutuhannya dan memerlukan nutrisi yang cukup untuk bisa memperbaiki jaringan- jaringan yang rusak tersebut.26
Jenis makanan yang harus diperhatikan:26
Diantara makanan yang mengandung karbohidrat, protein,lemak, vitamin, mineral dan air yang cukup, maka yang paling penting untuk penyembuhan luka adalah protein dan vitamin C Alasannya :
Protein dan Vitamin C sangat penting peranannya dalam proses penyembuhan luka. Selain itu,vitamin C punya peranan penting untuk mencegah terjadinya infeksi dan perdarahan pada luka.Protein terbagi menjadi 2, yaitu protein nabati dan hewani. Contoh nabati yaitu sayur-sayuran,tempe, tahu, kacang-kacangan dan lain-lain. Sedangkan protein hewani yaitu daging,telur dan lain-lain. Vitamin C Daun singkong, daun katuk, jambu mete, gandaria, daun melinjo, daun papaya, jambu biji, papaya, kembang kol, bayam dan mangga muda.Tingkatkan konsumsi makanan yang mengandung protein danVitamin Bila ada mual dan muntah, jangan dipaksa, tapi makan sedikit-sedikit. Lakukan kegiatan yang dapat merangsang nafsu makan.
2.8              Reaksi imun terhadap luka
Dari beberapa fase perbaikan luka, tahap inflamasi merupakan tahap yang penting terkait dengan keterlibatan sistem imun. Fungsi awal dan paling jelas sel-sel inflamasi di tempat terjadinya luka adalah untuk menyediakan pertahanan spesifik dan nonspesifik terhadap patogen. Oleh karena itu, seseorang dengan keadaan immunocompromised, umumnya mengalami peningkatan terhadap kemungkinan insiden infeksi27.
Suatu penelitian terdahulu menunjukkan bahwa makrofag berperan sebagai mediator angiogenesis luka dan fibroplasia. Kulit normal mengandung makrofag sekitar 1-2 per mm2. Selama perbaikan luka sejumlah besar monosit direkrut ke jaringan yang terluka dan berdiferensiasi menjadi makrofag. Hingga akhirnya jumlah makrofag meningkat sampai lebih dari lima kali normalnya.Tabel 1 berikut menunjukkan faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh makrofag27.

Tabel 1. Faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh makrofag27
Fase penyembuhan
Early inflamatory
Mid Inflamatory
Remodelling
TNF-a
TGF-b
IL-1
IL-6
PDGF
TGF-a
TGF-b
IGF-I
Inhibitor proses proliferasi atau angiogenesis?

Tabel 2 berikut menunjukkan faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh makrofag dan keterlibatanya dalam proses angiogenesis, proliferasi fibroblas, dan sintesis kolagen27.







Tabel 2.Faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh makrofag dan keterlibatanya dalam proses angiogenesis, proliferasi fibroblas, dan sintesis kolagen27

Efek pada
Faktor
Angiogenesis
Proliferasi fibroblas
Sintesis kolagen
TNF-a
TGF-b
IL-1
IL-6
PDGF
TGF-a
IGF-I
+
+
+/-
?
+
+
?
+/-
+/-
+/-
-
+
+
+
+/-
+
+/-
?
+
+
+

Meskipun fungsi makrofag yang tepat sangat penting untuk perbaikan luka yang optimal, ada pula peran sel imun lainnya, termasuk neutrofil dan limfosit-T. Peran neutrofil dalam perbaikan luka telah ditemukan oleh Simpson dan Ross. Studi ini menunjukkan tidak ada perbedaan dalam selularitas, dan pembentukan jaringan ikat di luka kontrol dan hewan neutropenia. Studi ini juga menyimpulkan bahwa, neutrofil mungkin memainkan peran sebagai garis pertahanan pertama terhadap invasi bakteri, jenis sel ini memainkan peran lain dalam fase inflamasi27.
Peran limfosit-T dalam luka yang pada kenyataanya lebih kompleks. Jumlah puncak limfosit-T paling lambat daripada sel kekebalan lainnya, hal ini menunjukkan bahwa sel-sel ini terlibat baik pada akhir fase proliferasi atau renovasi. Pada luka di kulit, jumlah limfosit-T memuncak pada hari ke-7. Studi pada tikus yang kehilangan sel T helper (CD4+) menunjukkan bahwa sel-sel ini baik secara langsung, atau melalui interaksi dengan makrofag, mempercepat regenerasi jaringan. Populasi limfosit-T dalam luka terdiri dari hampir dua kali lipat lebih banyak sel T helper (CD4+) daripada sel T sitotoksik (CD8+). Namun demikian, penelitian pada tikus kekurangan kedua populasi dari sel T tersebut menunjukkan bahwa fungsi utama dari sel T dalam luka insisi yang normal adalah berupa down-regulation pertumbuhan jaringan fibrosa27.
Meskipun pengaruh keseluruhan sel T pada perbaikan masih terlihat berupa regulasi yang negatif, studi terbaru menunjukkan bahwa sel T memiliki kemampuan untuk memfasilitasi perbaikan jaringan. Salah satu bagian spesifik dari sel T yang biasanya berada dalam dermis, telah terbukti mampu menghasilkan KGF. Selain itu, dalam penyelidikan baru-baru ini secara in vitro telah menunjukkan bahwa sel T dapat menghasilkan faktor pertumbuhan angiogenik dan fibrogenik, dan dengan demikian mungkin dalam beberapa kasus merangsang perbaikan jaringan27.
Fungsi makrofag dalam fase renovasi/resolusi perbaikan masih belum banyak diketahui. Selama fase ini, pertumbuhan seluler dan jaringan ikat lambat, dan banyak kapiler baru yang telah dibentuk untuk memberikan suplai nutrisi. Penelitian terbaru oleh Antoniades et al. menunjukkan bahwa tumor supresor gen (p53) mungkin terlibat dalam penyelesaian perbaikan. Penyelidikan ini menunjukkan bahwa gen p53 dinyatakan berperan dalam fase akhir dari perbaikan dari berbagai jenis sel27.

2.9              Hubungan hiperpigmentasi dengan proses penyembuhan luka
Kelainan pigmentasi pada kulit terjadi karena jumlah melanin pada epidermis kulit.27,28,29 Hiperpigmentasi kulit adalah masalah yang sering terjadi di masyarakat sehingga banyak pasien mencari terapi untuk memperbaiki penampilan mereka.30 Hiperpigmentasi kulit sering terjadi karena peningkatan deposisi melanin kulit baik oleh sintetis melanin yang meningkat atau jumlah melanosit yang bertambah. Perubahan warna kulit tergantung pada lokasi pengendapan melanin. Fitzpatrick membagi hipermelanosis berdasarkan distribusi melanin dalam klit yaitu hipermelanosis coklat bila pigmen melanin terletak di dalam epidermis dan hipermelanosis abu-abu bila pigmen melanin terletak di dalam dermis.31,32
Hiperpigmentasi post inflamasi sering terjadi pada individu yang berkulit gelap.33 Selain melasma, HPI adalah salah satu kondisi yang menebabkan pasien datang kepada dokter untuk mendapatkan perawatan. Pasien lebih banyak datang karena kelainan pigmentasi daripada penyebab timbulnya masalah kulit ini.31 Penyebab timbulnya HPI adalah karena kelebihan pigmen yang terjadi dalam berbagai proses penyakit sebelumnya yang mempengaruhi kulit seperti infeksi, reaksi alergi terhadap obat, trauma misalnya luka bakar, dan penyakit inflamasi misalnya, liken planus, lupus eritomatosus, dan dermatitis atopik.31,32,33
Hiperpigmentasi post inflamasi adalah kelainan pigmen yang terjadi akibat akumulasi pigmen setelah terjadinya proses peradangan akut atau kronik. Keadaan ini disebabkan oleh meningkatnya sintesis melanin sebagai respon peradangan dan inkontinensia pigmen yaitu terperangkapnya pigmen melanin di dalam makrofag di bagian atas dermis.33,34
Hiperpigmentasi post inflamasi terjadi akibat kelebihan produksi melanin atau tidak teraturnya produksi melanin setelah proses inflamasi. Jika HPI terbatas pada epidermis, terjadi peningkatan produksi dan transfer melanin ke keratinosit sekitarnya. Meskipun mekanisme yang tepat belum diketahui, peningkatan produksi dan transfer melanin dirangsang oleh prostanoids, sitokin, kemokin, dan mediator inflamasi serta oksigen reaktif yang dilepaskan selama inflamasi. Beberapa studi menunjukkan difat terangsang melanosit diakibatkan oleh leukotrien (LT), seperti LT-C4 dan LT-D4, prostaglandin E2 dan D2, tromboksan-2, interleukin-1 (IL-1), IL-6, Tumor Nekrosis Faktor-α (TNF-α), faktor pertumbuhan epidermal, dan spesi oksigen reaktif seperti Nitrit Oksida. HPI pada dermis terjadi akibat inflamasi yang disebabkan kerusakan keratinosit basal yang melepaskan sejumlah besar melanin. Melanin tersebut ditangkap oleh makrofag sehingga dinamakan melanofag. Melanofag pada dermis bagian atas pada kulit yang cedera memberikan gambaran biru abu-abu.33,34

2.10     Tipe jaringan parut
            Tipe Jaringan Parut35
Jaringan parut dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk, seperti keloid, jaringan parut hipertrofik, jaringan parut atrofik, widened (stretched) dan kontraktur.Jaringan parut hipertrofik adalah lesi yang menimbul. Hal itu muncul akibat produksi berlebihan kolagen pada luka yang menyembuh. Jaringan parut hipertrofik berwarna merah, menimbul, nodular dan kadang-kadang terasa gatal atau nyeri. Jaringan parut tetap terlokalisir pada daerah luka dan tidak meluas ke kulit sekitarnya. Selain itu, jaringan parut hipertrofik dapat membaik secara spontan. Keloid juga merupakan lesi yang menimbul, terjadi akibat produksi berlebihan dari kolagen, tetapi memiliki karakteristik yang berbeda dari jaringan parut hipertrofik. Keloid dapat meluas melewati batas luka yang sebenarnya dan menginvasi kulit di sekitarnya. Keloid lebih sering terjadi pada kulit gelap dan terjadi pada pasien berumur 10-30 tahun. Pasien juga biasanya memiliki riwayat terjadiya keloid dalam keluarga.
Keloid dapat terjadi setelah pembedahan atau trauma, pada tempat suntikan vaksinasi dan setelah pembuatan lubang di telinga untuk anting-anting. Jaringan parut atrofik muncul sebagai indentasi pada kulit di sekitarnya. Salah satu contoh jaringan parut atrofik adalah tanda bekas vaksinasi cacar dan beberapa jaringan parut akibat jerawat. Widened scars muncul ketika luka mengalami peregangan akibat tegangan kulit (yang dapat disebabkan oleh pergerakan) selama proses penyembuhan. Pada awalnya jaringan parut nampak normal, tetapi selanjutnya melebar dalam waktu 2-3 minggu setelah pembedahan. Widened scars umumnya pucat, datar, lunak, dan tidak bergejala, namun secara estetik dapat mengganggu. Striae jaringan ikat pada ibu hamil merupakan salah satu contoh widened scars yang terjadi akibat luka pada dermis dan jaringan subkutan. Pada awalnya jaringan parut tersebut berwarna merah, namun akan semakin memudar. Kontraktur adalah pemendekkan permanen dari jaringan parut yang dapat mengganggu pergerakan normal. Kontraktur cenderung terjadi pada luka di daerah persendian atau ketika terdapat kehilangan kulit yang luas seperti pada luka bakar.

2.11     Proses pembentukan jaringan parut
Jaringan parut terbentuk pada fase maturasi. Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. . Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan garunalasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari ajringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase maturasi. Kecuali pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda ( gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik (proses re-modelling). Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen ini nantinyan akan meghasilkan jaringan parut. Jika kolagen yang dihasilkan berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka.36
2.12     Tatalaksana jaringan parut      
Beberapa jaringan parut dapat berkembang secara abnormal yang timbul dari proliferasi berlebihan jaringan dermis setelah terjadinya luka pada kulit. Proliferasi jaringan dermis tersebut karena produksi jaringan ikat dan akumulasi serat kolagen baru yang tidak teratur dalam jumlah berlebihan.37 Pencegahan agar tidak terjadi pembentukan jaringan parut,
a.       Menghindari lokasi terluka pada daerah tertentu
            Jaringan parut di daerah tertentu pada tubuh, meliputi sisi bawah wajah, daerah presternum, pektoralis, punggung sebelah atas, telinga, leher, sisi luar lengan atas lebih mungkin menyebabkan terjadinya abnormalitas. Pasien dengan jaringan parut di daerah tubuh yang berisiko tinggi ini, atau memiliki riwayat terbentuknya keloid perlu berhati-hati kemungkinan pembentukan jaringan parut lebih lanjut dengan memperhatikan beberapa hal penting, seperti menghindari tindakan bedah kosmetik yang tidak perlu, menutup seluruh luka dengan tension minimal, dan menggunakan pressure garment selama 4-6 bulan setelah terjadinya luka atau pembedahan. 37
b.        Penggunaan silicone gel sheet
            Penggunaan silicone gel sheet merupakan suatu kemajuan baru dalam penatalaksanaan keloid dan jaringan parut hipertrofik. Silicone gel sheet tersebut berupa gellike transparent, flexible, inert sheet dengan ketebalan + 3,5 mm yang digunakan untuk terapi dan pencegahan keloid ataupun jaringan parut hipertrofik. Lapisan tersebut terbuat dari medical-grade silicone (polimer polydimethylsiloxane) dan diperkuat dengan silicon membrane backing. Lapisan tersebut dapat melekat dengan mudah pada jaringan parut atau direkatkan dengan plester. Lapisan dapat dicuci setiap hari dan dipakai kembali.35,37
            Silicone gel sheet didesain untuk digunakan pada kulit yang intak. Lapisan membran tersebut sebaiknya tidak digunakan pada luka terbuka ataupun pada kulit dengan kelainan dermatologi yang mengintervensi kontinuitas kulit.  Idealnya, silicone sheet diaplikasikan pada stadium awal ketika jaringan parut mulai menunjukkan tanda-tanda ke arah berkembangnya jaringan parut hipertrofik (kemerahan, membesar).
            Pasien berisiko tinggi untuk menderita jaringan parut abnormal, seperti pasien berumur di bawah 40 tahun, riwayat parut hipertrofik atau keloid sebelumnya, atau kulit gelap dapat dianjurkan untuk menggunakan silicone sheet segera setelah luka telah menyembuh (setelah pengangkatan jahitan pada luka).
            Hasil perbaikan silicone gel sheet tersebut terlihat ketika direkatkan pada keloid atau jaringan parut hipertrofik selama 12 jam setiap hari, di mana ditemukan perbaikan pada 80% pasien pada pengamatan setelah 6 bulan. Selain itu, terapi dengan silicone gel sheet juga tidak invasif dan sederhana sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien.35,37
            Mekanisme pasti mengenai cara kerja silicone gel sheet belum banyak diketahui. Efek yang ditimbulkan bukan akibat efek penekanan, aktivitas kimiawi dari silicone, temperature ataupun perubahan oksigenasi pada jaringan parut, tetapi mungkin akibat efek peningkatan hidrasi pada jaringan parut, karena silicone gel sheet memiliki tingkat transmisi uap air yang cukup baik. Efek hidrasi pada jaringan parut tersebut menjaga homeostasis dari fibroblas pada keloid dan jaringan parut hipertrofik yang sedang diterapi. .35,37

2.13     Pencegahan agar tidak terbentuk jaringan parut
Pembentukan jaringan parut dapat diatasi dengan menghambat sintesis kolagen. Sintesis kolagen dapat dihambat dengan substansi steroid, namun penggunaan steroid dalam proses penyembuhan luka normal tidak dianjurkan sebab hal ini dapat mengganggu fungsi normal penyembuhan luka sehingga luka menjadi lama sembuh dan struktur luka yang terbentuk mengalami kerenggangan sebab kandungan kolagen sebagai kerangka jaringan sedikit. Pembentukan jaringan parut sebaiknya tidak dicegah untuk memaksimalkan proses penyembuhan luka secara fisiologis. Jaringan parut yang terbentuk berlebih dan mengganggu estetika dapat diatasi setelah proses penyembuhan luka normal selesai. Jaringan parut yang berlebih tersebut dapat dilakukan bedah/dermabrasi, laser resurfacing, injeksi steroid, dan collagen induction therapy. Sebagai langkah minimalisasi jaringan parut pada proses penyembuhan luka supaya jaringan parut yang terbentuk seimbang dengan yang dibutuhkan, dapat mengonsumsi nutrisi berupa vitamin A, C, dan E sebagai faktor yang dapat menginduksi regeneras sel dengan baik38.
2.14     Hubungan munculnya jaringan parut terhadap luka akibat terjatuh dari sepeda
Keloid lebih sering terjadi pada kulit gelap dan terjadi pada pasien berumur 10-30 tahun. Pasien juga biasanya memiliki riwayat terjadiya keloid dalam keluarga. Keloid dapat terjadi setelah pembedahan atau trauma, pada tempat suntikan vaksinasi dan setelah pembuatan lubang di telinga untuk anting-anting.
Jaringan parut atrofik muncul sebagai indentasi pada kulit di sekitarnya. Salah satu contoh jaringan parut atrofik adalah tanda bekas vaksinasi cacar dan beberapa jaringan parut akibat jerawat.

Widened scars muncul ketika luka mengalami peregangan akibat tegangan kulit (yang dapat disebabkan oleh pergerakan) selama proses penyembuhan. Pada awalnya jaringan parut nampak normal, tetapi selanjutnya melebar dalam waktu 2-3 minggu setelah pembedahan. Widened scars umumnya pucat, datar, lunak, dan tidak bergejala, namun secara estetik dapat mengganggu. Striae jaringan ikat pada ibu hamil merupakan salah satu contoh widened scars yang terjadi akibat luka pada dermis dan jaringan subkutan. Pada awalnya jaringan parut tersebut berwarna merah, namun akan semakin memudar.
Pada dasarnya tidak terdapat hubungan munculnya jaringan parut terhadap luka akibat jatuh, tetapi yang mempengaruhi pembentukan jaringan parut itu adalah lokasi luka serta pengaruh-pengaruh lainnya pada saat proses penyembuhan luka.39

2.15     Hubungan luka yang tanpa bekas terhadap luka tergores pisau
Luka gores akan tertutup secara primer. Penutupan dengan primary intention digunakan untuk luka bersih yang tepi-tepinya dapat dengan tepat didekatkan satu sama lain. Penyembuhan berlangsung secara sisi-ke-sisi. Luka insisi bedah yang bersih dengan kedua tepi yang dirapatkan akan mengurangi kematian sel dan menyebabkan gangguan membrane basalis yang minimal.1
Proses penyembuhannya merangkumi beberapa tahap yaitu:1
a.    0 jam: Luka insisi terisi oleh bekuan darah.
b.    3 hingga 24 jam: Sel-sel neutrofil menginfiltrasi bekuan.
c.    24 hingga 48 jam: sel-sel epitel bermigrasi dari bagian tepi luka dengan menumpuk membrane basalis; proliferasi terjadi minimal.
d.   Hari ke-3: Sel-sel neutrofil digantikan oleh makrofag. Jaringan granulasi mulai muncul.
e.    Hari ke-5: Ruang bekas insisi terisi oleh jaringan granulasi; neovaskularisasi dan proliferasi epitel terjadi maksimal; fibril kolagen mulai terlihat.
f.     Minggu ke-2: Inflamasi, edema dan peningkatan vaskularitas telah mereda; proliferasi fibroblast menyertai pengendapan kolagen yang terus terjadi.
g.    Bulan ke-2: Jaringan parut kini terdiri atas jaringan ikat tanpa inflamasi yang tertutup oleh epidermis yang utuh. Kekuatan pada luka untuk menghadapi regangan akan terus bertambah.

2.16     Flora normal
Price pada tahun 1938 membedakan flora transien dan flora residen. Flora transien terdiri atas organisme yang sangat beraneka ragam, dapat bersifat patogen atau nonpatogen, yang tiba di permukaan kulit dari sekitarnya dan bukan merupakan organisme yang secara teratur dijumpai di permukaan kulit. Flora tersebut dianggap tidak memperbanyak diri di permukaan kulit dan cepat menghilang dengan hapusan, jadi tidak dapat mempertahankan dirinya secara tetapi pada kulit normal. Flora transien juga lebih mudah dihilangkan dari kulit normal dengan desinfektan. 40
Flora residen terdiri atas sejumlah kecil organisme yang memperbanyak diri di permukaan kulit. Flora residen hampir selalu secara teratur terdapat pada kebanyakan individu normal, berupa organisme yang nonpatogen dan tidak mudah menghilang dengan hapusan. 40
Perbedaan antara flora residen dengan flora transien dicantumkan di bawah ini. 40
Flora Residen
1.      Nonpatogen
2.      Sebagai organisme yang stabil di permukaan kulit. Hampir selalu secara teratur terdapat pada kebanyakan individu normal.
3.      Dapat mempertahankan diri dari tekanan-tekanan kompetisi oleh organisme lainnya yang secara kontinyu mengontainasikan permukaan kulit. Dapat memperbanyak diri secara teratur.
4.      Tidak mudah dihilangkan dengan cara menghapus.
5.      Jenis organismenya sangat kecil. Kebanyakan organismenya termasuk salah satu dari dua famili, yaitu famili Micrococcaceae atau famili Corynebacteriaceae.
Flora Transien
1.      Patogen atau nonpatogen
2.      Bukan merupakan organisme yang secara teratur terdapat di permukaan kulit.
3.      Tidak dapat mempertahankan dirinya secara tetap pada kulit normal. Tidak dapat memperbanyak diri.
4.      Mudah dihilangkan dari kulit normal dengan cara menghapus atau dengan desinfektan. Tetap lebih sukar dihilangkan dari kulit yang sakit.
5.      Jenis organismenya sangat banyak (beraneka ragam)
Flora Residen
Flora residen yang tersering ialah:
1.      Micrococcaceae
2.      Corynebacterium acnes
3.      Aerobic diphtheroids
Famili Micrococcaceae terdiri atas 3 genera:
1.      Micrococcus
2.      Staphylococcus
3.      Sarcina
Sifat-sifat famili Micrococcaeae ialah kokus positif-Gram dan katalase positif.
Flora Transien
Flora transien terdiri atas
1.      Organisme aerobik yang membentuk spora (Bacillus spp.)
2.      Streptococcus
3.      Neisseria
4.      Basil negatif-Gram yang berasal dair daerah intertriginosa dapat menjadi flora transien di tempat lain

Faktor Modifikasi
1.      Pantang mandi tidak meningkatkan jumlah organisme.
2.      Musim rupanya hanya berpengaruh sedikit pada jumlah organisme. Jumlah organisme meningkat jika suhu luar dan kelembaban meningkat.
3.      Penambahan hidrasi akan meningkatkan flora total. Mula-mula Staphylococcus dan Micrococci yang predominan, tetapi kemudian diphtheroid dan bentuk negatif-Gram yang lebih banyak.40
Lokalisasi
Mayoritas organisme aerobik terdapat di permukaan lapisan terluar stratum korneum. Juga banyak ditemukan organisme pada infundibulum folikel rambut. Organisme anaerobik terdapat dalam jumlah besar pada sebum yang disekresikan dan mungkin pada bagian dalam folikel pilosebaseus. Kelenjar keringat, baik ekrin maupun apokrin dan saluran keluarnya mungkin bebas dari bakteri.40
Peranan Flora Normal
1.      Yang terpenting ialah sebagai pertahanan terhadap infeksi bakteri, dengan jalan interferensi bakteri.
2.      Memproduksi asam lemak bebas. Terdapat banyak bukti Corynebacterium acnes dan kokus negatif-Gram mampu mmenghidrolisiskan lemak dari sebum dan menghasilkan asam lemak bebas. 40







BAB III
PENUTUP
3.1     Kesimpulan
Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka adalah jenis –jenis luka,usia, penyakit bawaan, sirkulasi, jenis sel, nutrisi, imunitas, konsumsi obat-obatan serta pengobatan luka.

























Daftar Pustaka
1.    Kumar V, Cotran R.S., Robbins S.L. Patologi. Edisi 7. EGC,Jakarta.2007. 35-37.
2.    Bobak, K. Jensen. Perawatan Maternitas. Jakarta, EGC. 2005. 
3.    Dudley HAF, Eckersley JRT, Paterson-Brown S. Pedoman Tindakan Medik dan Bedah. Jakarta, EGC. 2000. 
4.    Johnson, Ruth, Taylor. Buku Ajar Praktek Kebidanan. Jakarta, EGC. 1997. 
5.    Kaplan NE, Hentz VR. Emergency Management of Skin and Soft Tissue Wounds, An Illustrated Guide. USA, Boston, Little Brown. 1992. 
6.    Kozier, Barbara. Fundamental of Nursing : Concepts, Prosess and Practice : Sixth edition, Menlo Park, Calofornia. 1995. 
7.    Oswari E. Bedah dan Perawatannya. Jakarta, Gramedia. 1993. 
8.    Potter. Perry Guide to Basic Skill and Prosedur Dasar, Edisi III, Alih bahasa Ester Monica. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 
9.    Samba, Suharyati. Buku Ajar Praktik Kebidanan. Jakarta, EGC. 2005. 
10.  Leong M, Phillips LG. Wound Healing. Dalam: Sabiston Textbook Of Surgery. Edisi Ke-19. Amsterdam: Elsevier Saunders. 2012, H. 984-92
11.  Lawrence WT. Wound Healing Biology And Its Application To Wound Management. Dalam: O’Leary P, Penyunting. The Physiologic Basis Of Surgery. Edisi Ke-3. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2001 H. 107-32.
12.  Schultz GS. The Physiology Of Wound Bed Preparation. Dalam: Granick MS, Gamelli RL, Penyunting. Surgical Wound Healing And Management. Switzerland: Informa Healthcare. 2007, H. 1-16.
13.  Indonesia Enterostomal Therapy Nurse Association (Inetna) & Tim Perawatan Luka Dan Stoma Rumah Sakit Dharmais. Jakarta: Makalah Mandiri. 2004
14.  Mansjoer.Arif, Dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 2002
15.  Eslami A, Gallant-Behm CL, Hart DA, Wiebe C, Honardoust D, Gardner H, Et Al. Expression Of Integrin Αvβ6 And TGF-Β In Scarless Vs Scar-Forming Wound Healing. J Histochem Cytochem. 2009, H.57:543–57.
16.  Webster J, Scuffham P, Sherriff KL, Stankiewicz M, Chaboyer WP. Negative Pressure Wound Therapy For Skin Grafts And Surgical Wounds Healing By Primary Intention. Cochrane Database Of Systematic Reviews. 2012, H.4:1-45.
17.  Galiano RD, Mustoe TA. Wound Care. Dalam: Thorne CH, Penyunting. Grabb And Smith’s Plastic Surgery. Edisi Ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007, H. 23-32.
18.  Brain-Wilksman L, Solomonik I, Spira R, Tennenbaum T. Novel Insights Into Wound Healing Sequence Of Events. Toxicol Pathol. 2007, P.35:767-79.
19.  Hom DB, Linzie BM, Huang TC. The Healing Effects Of Autologous Platelet Gel On Acute Human Skin Wounds. Arch Facial Plast Surg. 2007, H.9:174-83.
20.  Tamher, Sayuti. Ilmu Patologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Trans Info Media,Jakarta. 2008.
21.  Potter, Patricia A. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses, dan Praktik.EGC,Jakarta. 2005.
22.   Kozior, B. gtal. Fundamental of Nursing, concops, proccss and practice 4thedition: Addison Wesle. Publishing company Inc. 1995. hal 1359-1367.
23.  Taylor, C. et al .Fundemental of Nursing The Art and science of Nursing care. 4th edition. Philadelpia : JB Lippincoff . 1997. hal 699-705.
24.  Nagori, B.P & Solakin,R. Role of medicinal plant in wound healing. Research Journal of medecine plants. 2011.  5 (4) :392-405.
25.  Sabiston. Buku Ajar Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995.
26.  MacKay D; Miller AL. Nutritional Support For Wound Healing. Alternative Medicine Review. 2003.
27.  Barbul A, Regan MC. Immune involvement in wound healing. Otolaryngol Clin North Am. October 1995;28(5):955–68. Diakses pada 22 Oktober 2014.
28.  Davis EC, Callender VD. Postinflammatory Hyperpigmentation; The Journal of Clinical and Aesthetic Dermatology. 2011
29.  Woolery Heather., Lloyd MD., Kammer., N. Jenna., BA. Treathment of Hyperpigmentation. 2011
30.  Wolff, Klaus.,  Johnson RA. Pigmentary Disorder. Fitzpatrick Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 6th Ed. San Fransisco. 2009. P334-48
31.  Hilde Lapeere, Boone Barbara. Disorders of Melanocyts : Hypermelanosis and Hypomelanosis. Dalam: Klaus Wolff and Richard Allen Johnson,  Fitzpatrick Dermatology in General Medicine. 7th Ed. San Fransisco. 2006. P622-40
32.  Burns Tony, Breathnatt Stephen. Disorders of Skin Colour. Dalam : Rook’s Textbook of Dermatology. 8th Ed. Wiley-Blackwell Publishing. Oxford. 2010. P2952-3
33.  James WD, Berger TG. Disturbances of Pigmentation. Dalam : Andrew’s Diseases of the Skin, Clinical Dermatology. 10th Ed. Ssan Francisco. 2000. P854
34.  Soepardiman Lily. Kelainan Pigmen. Dalam:  Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi V. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010. hal. 289-302
35.  Clark C. Scars: how pharmacist can help. The Pharmeceutical Journal 2005;275:451-4.
36.  Baxter C: The normal healing process. In: New Directions in Wound Healing. Wound care manual; February 1990. Princeton, NJ: E.R. Squlbb & Sons, Inc; 1990.
37.  Mutalik S. Treatment Of Keloids And Hypertrophic Scars. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2005;71: 3-8.
38.  Occleston, N.L., et al, .Therapeutic Improvement of Scarring: Mechanism of Scar-less and Scar-forming Healing and Approaches to the Discovery of New Treatments. United Kingdom: Renovo Group plc (Publication); 2013.
39.  Ikatan Dokter Indonesia. Penggunaan Silicone Gel Sheet pada Keloid dan Jaringan Parut Hipertrofik (Review). Jakarta; 2010
Tim FKUI, 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 6. Jakarta:FKUI.

0 comments Blogger 0 Facebook

Post a Comment

 
Welcome To My Blog © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top