BAB
I
PENDAHULUAN
Pemicu
2
Seorang bayi
perempuan berusia 6 bulan dibawa ibunya ke praktek dokter karena belum bisa
tengkurap. Ia bahkan belum dapat mengangkat kepala. Pasien lahir cukup bulan,
berat lahir 2100 g. Kenaikan berat badan selama ini cukup baik. Lingkar kepala
39 cm (mikrosefali). Pada pemeriksaan mata didapatkan khorioretinitis. Titer
antibodi terhadap toksoplasma positif. Selama hamil ibu senang makan makanan
yang dimasak tidak sempurna seperti lalapan dan sate.
1.
Klarifikasi
dan Definisi
·
Mikrosefali:
Kelainan otak dengan
ukuran kepala kurang dari ukuran normal. Biasanya ukuran kepala kurang dari 42
cm. mikrosefali merupakan cacat pertumbuhan otak pada masa janin dan awal janin(1).
·
Khorioretinitis:
Suatu proses peradangan
yang melibatkan traktus uvealis bagian posterior, yaitu koroid(2).
·
Titer antibodi:
Tes laboratorium yang
mengukur keberadaan dan jumlah antibody dalam darah(1).
·
Toxoplasma:
Genus
sporozoa yang merupakan parasit intraselular pada banyak organ dan jaringan
burung dan mamalia, termasuk manusia(1).
2.
Kata
Kunci
·
Bayi perempuan berusia 6 bulan
·
Belum bisa tengkurap
·
Belum bisa mengangkat kepala
·
Mikrosefali
·
Lahir cukup bulan BBLR
·
Toxoplasma positif
·
Khorioretinitis
·
Riwayat makan selama kehamilan
3.
Rumusan
Masalah
Bayi perempuan berusia 6 bulan dengan BBLR belum
bisa tengkurap dan mengangkat kepala mengalami mikrosefali, khorioretinitis, dengan
titer antibodi toxoplasma positif.
4.
Analisis
Masalah
Bayi perempuan, 6 bulan
|
Anamnesis
|
Pemeriksaan
|
Riwayat ibu makan
makanan yang dimasak tidak sempurna
|
Belum bisa
tengkurap dan mengangkat
kepala
|
Lahir cukup bulan
|
Berat badan lahir
rendah (BBLR)
|
Mikrosefali
|
Toxoplasma
positif
|
Khorioretinitis
|
Pertumbuhan
|
Perkembangan
|
Gangguan pertumbuhan
|
Gangguan perkembangan
|
5.
Hipotesis
Adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada
bayi 6 bulan tersebut disebabkan oleh Toxoplasma
gondii pada saat kehamilan dengan riwayat ibu sering makan makanan yang
dimasak tidak sempurna.
6.
Pertanyaan
Diskusi
1. Apa
definisi dari pertumbuhan dan perkembangan?
2. Jelaskan
tentang milestone perkembangan bayi umur 0-12 bulan!
3. Bagaimana
penilaian pertumbuhan pada anak?
4. Bagaimana
penilaian perkembangan pada anak?
5. Apa
saja gangguan perkembangan pada anak?
6. Apa
penyebab dari berat badan lahir rendah (BBLR)?
7. Bagaimana
penanganan anak dengan BBLR?
8.
Toxoplasmosis:
a. Etiologi
b. Epidemiologi
c. Patogenesis
d. Diagnosis
e. Komplikasi
f. Pencegahan
g. Tatalaksana
9. Bagaimana
hubungan toksoplasmosis dengan konsumsi makanan saat kehamilan?
10. Bagaimana
hubungan toksoplasmosis dengan pertumbuhan dan perkembangan anak?
11. Bagaimana
perkembangan penglihatan bayi normal?
12. Apa
itu TORCH?
13. Apa
saja infeksi intrauterine yang dapat menyebabkan khorioretinitis?
14. Bagaimana
hubungan mikrosefali dengan gangguan perkembangan pada anak?
15. Apa
saja penyebab gangguan perkembangan motorik pada anak?
16. Bagaimana
habilitasi pada bayi dengan gangguan perkembangan?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pertumbuhan
dan Perkembangan
a.
Definisi
Pertumbuhan adalah suatu keadaan dimana terjadi
perubahan ukuran, besar, jumlah atau dimensi pada tingkat sel, organ maupun
individu. Sedangkan perkembangan adalah pertambahan kemampuan struktur dan
fungsi tubuh yang lebih kompleks dimana menyangkut adanya proses diferensiasi
sel-sel, jaringan, organ dan sistem organ(3).
b.
Faktor yang memengaruhi tumbuh kembang
Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang adalah sebagai berikut(3):
1)
Faktor Genetik
Faktor
genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang
anak. Melalui instruksi genetic yang terkandung di dalam sel telur yan telah
dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Termasuk faktor
genetik antara lain berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis
kelamin, suku bangsa atau bangsa. Potensi genetik yang bermutu hendaknya dapat
berinteraksi dengan lingkungan secara postif sehingga diperoleh hasil akhir
yang optimal.
2)
Faktor lingkungan
a)
Lingkungan biologis
Lingkungan
biologis yang dimaksud adalah ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi,
perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi
metabolisme, dan hormon.
b)
Faktor fisik
Yang
termasuk dalam faktor fisik itu antara lain yaitu cuaca, musim, keadaan geografis
suatu daerah, sanitasi, keadaan rumah baik dari struktur bangunan, ventilasi,
cahaya dan kepadatan hunian, serta radiasi.
c)
Faktor psikososial
Stimulasi
merupakan hal penting dalam tumbuh kembang anak, selain itu motivasi belajar
dapat ditimbulkan sejak dini, dengan memberikan lingkungan yang kondusif untuk
belajar, ganjaran atau hukuman yang wajar merupakan hal yang dapat menimbulkan
motivasi yang kuat dalam perkembangan kepribadian anak kelak di kemudian hari,
Dalam proses sosialisasi dengan lingkungannya anak memerlukan teman sebaya,
stres juga sangat berpengaruh terhadap anak, selain sekolah, cinta dan kasih
sayang, kualitas interaksi anak orangtua dapat mempengaruhi proses tumbuh
kembang anak.
d)
Faktor keluarga dan adat istiadat
Faktor
keluarga yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak yaitu
pekerjaan/pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak
karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun
sekunder, pendidikan ayah/ibu yang baik dapat menerima informasi dari luar
terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, menjaga kesehatan, dan
pendidikan yang baik pula, jumlah saudara yang banyak pada keluarga yang
keadaan sosial ekonominya cukup akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan
kasih sayang yang diterima anak, jenis kelamin dalam keluarga seperti apad
masyarakat tradisonal masih banyak wanita yang mengalami malnutrisi sehingga
dapat menyebabkan angka kematian bayi meningkat, stabilitas rumah tangga,
kepribadian ayah/ibu, adat-istiadat, norma-norma, tabu-tabu, agama, urbanisasi
yang banyak menyebabkan kemiskinan dengan segala permasalahannya, serta
kehidupan politik dalam masyarakat yang mempengaruhi prioritas kepentingan
anak, anggaran dan lain-lain.
c.
Milestone perkembangan 0-12 bulan
Milestone
perkembangan normal bayi pada tahun pertama dapat dilihat pada tabel 1(4).
Tabel
1. Milestone perkembangan normal bayi 0-12 tahun(4).
Milestone
|
Usia Rata-Rata
|
Motorik Kasar
|
|
Duduk dengan
kepala tegak
|
2
|
Ditarik untuk
duduk, kepala tidak tertinggal
|
3
|
Menggerakkan
kedua tangan ke garis tengah tubuh
|
3
|
Refleks tonus
leher asimetrik menghilang
|
4
|
Duduk tanpa
bantuan
|
6
|
Tengkurap
|
6,5
|
Berjalan sendiri
|
12
|
Motorik Halus
|
|
Menggenggam
mainan
|
3,5
|
Menggapai benda
|
4
|
Melepas
genggaman
|
4
|
Memindahkan
benda dari tangan ke tangan
|
5,5
|
Menggenggam ibu
jari
|
8
|
Membalikkan
halaman buku
|
12
|
Komunikasi dan Bahasa
|
|
Respon senyum
terhadap wajah dan suara
|
1,5
|
Mengoceh satu
suku kata
|
6
|
Mengikuti satu
perintah dengan gerakan
|
7
|
Mengikuti satu
perintah tanpa gerakan
(misalnya:
“Berikan itu padaku”)
|
10
|
Mengatakan kata
“mama” atau “dada”
|
10
|
Menunjuk benda
|
10
|
Berbicara kata
yang sesungguhnya untuk pertama kali
|
12
|
Kognitif
|
|
Menatap sebentar
di titik dimana objek menghilang
(Misalnya: Bola
jatuh)
|
2
|
Menatap
tangannya sendiri
|
4
|
Membanting dua
kubus
|
8
|
Menemukan mainan
(setelah melihatnya disembunyikan)
|
8
|
Bermain simbolik
egosentris
(Misalnya:
berpura-pura minum dari gelas)
|
12
|
d.
Penilaian pertumbuhan anak
Penilaian pertumbuhan anak dapat dilakukan dengan
pengukuran antropometri. Mengukur antropometri dalam prakteknya yang bermanfaat
dan sering digunakan adalah: berat
badan,
tinggi (panjang) badan, lingkaran kepala, lingkaran lengan atas, tebal lipatan
kulit. Disamping itu masih ada ukuran antropometrik yang lain, tetapi hanya
dipakai untuk keperluan khusus misalnya pada kasus-kasus dengan kelainan bawaan
atau untuk menentukan jenis kelamin perawakan (somatotype). Beberapa penilaian
dan cara pengukurannya adalah sebagai berikut(5):
1)
Berat
Badan
Berat
badan merupakan ukuran antopometrik yang paling penting, di Indonesia
pengukuran berat badan telah memasyarakat dengan digunakannya kartu menuju sehat (KMS) untuk monitoring pertumbuhan.
Cara Mengukur :
Menggunakan Timbangan Elektronik dimana bayi dalam
keadaan telanjang atau tidak menggunakan pakaian apapun.
2) Tinggi (Panjang) Badan
Tinggi
badan merupakan ukuran antopometrik kedua yang penting, pertumbuhan tinggi
badan terus meningkat dan berubah, dari pesat pada masa bayi muda kemudian
melambat dan menjadi pesat lagi (growth spurt) pada masa remaja, selanjutnya
melambat lagi dengan cepatnya kemudian berhenti dengan nilai tinggi maksimal
pada usia 18 – 20 tahun.
Cara Mengukur :
a)
Pada
anak sampai usia 2 tahun diukur dengan menggunakan infantometer dimana sang
anak dibaringkan dan kemudian diukur.
b) Untuk anak usia diatas 2 tahun diukur dengan cara berdiri
menggunakan alat stadiometer, microtoise.
3)
Lingkar
Kepala
Lingkaran
kepala mencerminkan volume intracranial (didalam tulang tengkorak) dipakai
untuk menaksir pertumbuhan otak.
Ukuran
lingkar kepala bayi tumbuh pesat pada 6 bulan pertama dimulai dari 35 cm saat
lahir menjadi 43 cm pada 6 bulan. Laju tumbuh kemudian berkurang, hanya 46,5
pada usia 1 tahun dan 49 cm pada usia 2 tahun. Selanjutnya berkurang drastis,
hanya bertambah 1 cm sampai 3 tahun dan bertambah lagi kira- kira 5 cm sampai
usia remaja/dewasa.
Cara Mengukur(6) :
a)
Bebaskan kepala bayi/anak dari
topi, ikat rambut dan sebagainya
b)
Alat pengukur dilingkarkan pada
kepala anak melewati dahi, menutupi alis mata, diatas kedua telinga, dan bagian
belakang kepala yang paling menonjol, tarik agak kencang
c)
Baca angka pada pertemuan dengan
angka 0
d)
Tanyakan tanggal lahir bayi/anak,
hitung umur bayi/anak
e)
Hasil pengukuran dicatat pada
grafik lingkaran kepala menurut umur dan jenis kelamin anak/bayi
f)
Buat garis yang menghubungkan
antara ukuran lalu dengan ukuran sekarang
g)
Penilaian lingkaran kepala anak
berada dilakukan dengan menandai ukuran lingkar kepala bayi/anak sesuai umur
dan jenis kelamin pada kurva
lingkar kepala Nellhaus.
4)
Lingkar
Lengan
Lingkaran
lengan atas mencerminkan tumbuh kembang jaringan lemak dan otot yang tidak
terpengaruh banyak oleh keadaan cairan tubuh dibandingkan dengan berat badan.
Dapat dipakai untuk menilai keadaan gizi/keadaan tumbuh kembang pada kelompok
usia prasekolah. Laju tumbuh lambat, dari 11
cm
pada saat lahir menjadi 16 cm pada usia 1 tahun. Selanjutnya tidak banyak
berubah selama 1 -3 tahun.
Cara Mengukur :
Menggunakan meteran
biasa dengan batas ukur adalah pertengahan antara acromron dan olecranon pada
lengan yang dibengkokkan 90°
5)
Lipatan
Kulit
Tebalnya
lipatan kulit pada daerah tricep dan subskapuler merupakan refleksi tumbuh
kembang jaringan lemak bawah kulit, yang mencerminkan kecukupan energi. Dalam keadaan defisiensi lipatan
kulit menipis dan sebaliknya menebal jika dimasukkan energi berlebih. Dimanfaatkan untuk
menilai terdapatnya keadaan gizi lebih, khususnya pada kasus obesitas.
Cara Mengukur :
Menggunakan Herpenden Skinfold Caliper yang
dilakukan pada daerah biceps, triceps, subscapula dan daerah panggul.
e.
Penilaian perkembangan anak
Skrining
perkembangan merupakan evaluasi
perkembangan pada anak untuk mengetahui apakah anak mempunyai kecurigaan
keterlambatan perkembangan agar penilaian diagnostik lebih lanjut dapat
dilakukan(8).
Ada beberapa uji skrining terstandardisasi
yang dapat digunakan untuk mengestimasi beberapa subskills yang terlibat di
beberapa domain perkembangan(9).
Sementara itu, surveilans perkembangan adalah proses informal, bersifat kontinu
yang bisa melibatkan pengunaan ukuran-ukuran formal dan bisa tidak. Skrining
perkembangan atau kombinasi antara skrining perkembangan dan surveilans
perkembangan merupakan pilihan utama bagi dokter karena terbukti bahwa
penilaian informal oleh dokter di poliklinik tidak akurat. Uji skrining
idealnya harus sensitif, maksudnya adalah dapat mendeteksi hampir semua anak
dengan masalah, dan sangat spesifik, maksudnya adalah tidak salah menandai.
Skrining juga harus dilakukan dalam waktu yang relatif singkat dan tidak mahal(8).
Dibawah
ini merupakan campuran pengukuran perkembangan, terdiri atas beberapa deretan
uji, observasi, dan tugas yang dibuat untuk mengukur kemampuan fungsi motorik,
kemampuan berbicara, personal, sosial, dan daerah persepsi. Uji dibawah ini
meruapakan uji yang umumnya
digunakan oleh professional (pediatrics,
health visitors)(9).
1)
Denver
Developmental Screening Test, 2nd edition
Uji
ini (DDST-II; Frankenberg, Dodds and
Archer 1992) adalah uji skrining yang berasal dari Amerika Utara untuk
mengidentifikasi anak-anak dengan faktor risiko keterlambatan perkembangan yang
mencakup anak dari baru lahir sampai anak umur 6 tahun. Uji ini mencakup 4
domain dari perkembangan: personal-sosial, motorik halus, motorik kasar, dan
bahasa. Uji ini memakan waktu 20 menit untuk dilakukan(9).
2)
Griffiths
Mental Developmental Scales (Griffiths 1984)
Uji
ini adalah uji yang berasal dari British yang paling dikenal untuk menilai
perkembangan secara umum. Ini dibuat untuk anak yang berusia 0 sampai 8 tahun
dan terdiri dari dua modul berbeda, satu modul untuk anak berusia 0 sampai 2
tahun dan yang lainnya untuk anak berusia 2 sampa 8 tahun. Di edisi yang kedua(10)
dibagi menjadi 6 subskala: (1) lokomotor, (2) personal-sosial, (3) koordinasi
mata-tangan, (4) bahasa, (5) performance
(visuospatial) dan (6) practical reasoning. Uji ini menyediakan
skor untuk setiap area dari perkembangan sesuai dengan umur. Hasil bagi dari
perkembangan keseluruhan dihitung dari masing-masing skor individual.
3)
The
Schedule of Growing Skills (SGS II; Bellman, Lingam and Aukett 1996)
Dibawah
ini merupakan prosedur skrining yang sangat populer yang digunakan sebagai bagian
dari program surveilans kesehatan anak. Uji ini menggunakan informasi tentang
anak dari usia 0 sampai 5 tahun. Ini digunakan untuk menilai bagian-bagian:
postur, motor, bahasa dan berbicara, interaktif sosial dan kemampuan menjaga diri
sendiri. Skor kognitif yang berbeda dapat diturunkan dari hal-hal yang berbeda
yang relevant untuk menarik kesimpulan. Profil perkembangan anak ditunjukan di
grafik yang jelas memungkinkan surveilans dalam jangka waktu tertentu. Waktu
yang dibutuhkan sekitar 20 menit dan tidak dibutuhkan pelatihan formal.
Adapun
tahap-tahap penilaian perkembangan pada anak adalah sebagai berikut(11):
1)
Anamnesis
Tahap
pertama adalah melakukan anamnesis lengkap, karena kelainan perkembangan dapat
disebabkan berbagai faktor. Dengan anamnesis yang teliti maka salah satu penyebabnya
dapat diketahui.
2)
Skrining gangguan perkembangan anak
Pada
tahap ini dianjurkan digunakan instrumen-instrumen untuk skrinning guna
mengetahui kelainan perkembangan anak, misalnya dengan menggunakan DDST (Denver Developemental Screening Questioneer).
3)
Evaluasi lingkungan anak
Tumbuh
kembang anak adalah hasil interaksi antara faktor genetik dengan lingkungan
bio-fisiko-psikososial. Oleh karena itu deteksi dini, kita juga harus melakukan evaluasi lingkungan
anak tersebut. Misalnya dapat digunakan HSQ (Home Screening Questionnaire).
4)
Evaluasi penglihatan dan pendengaran anak
Tes
penglihatan misalny untuk anak umur <3 tahun dengan tes fiksasi, umur 2½ -3
tahun dengan kartu gambar dari allen dan >3 tahun dengan huruf E. Juga
diperiksa apakah ada strabismus dan selanjutnya periksa kornea dan retinanya.
Sedangkan
skrining pendengaran anak, melalui anamnesi atau audiometri kalau ada alatnya.
Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan bentuk telinga, hidung, mulut, dan
tenggorokan untuk mengetahui adanya kelainan bawaan.
5)
Evaluasi bahasa dan bicara anak
Tujuan
pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui apakah kemampuan anak berbicara masih
dalam batas-batas normal atau tidak. Karena kemampuan berbicara menggambarkan
kemampuan SSP, endokrin, ada/tidaknya kelainan bawaan pada hidung, mulut, dan
pendengaran, stimulasi yang diberikan, emosi anak, dan sebagainya.
6)
Pemeriksaan fisik
Untuk
melengkapi anamnesis diperlukan pemeriksaan fisik, agar diketahui apabila
terdapat kelainan fisik yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Misalnya
berbagai sindrom, penyakit jantung bawaan, tanda-tanda penyakit defisiensi dan
lain-lain.
7)
Pemeriksaan neurologi.
Dimulai
dengan anamnesis masalah neurologi dan keadaan-keadaan yang diduga dapat
mengakibatkan gangguan neurologi, seperti trauma lahir, persalinan yang lama, asfiksia berat dan sebagainya.
Kemudian dilakukan tes/pemeriksaan neurologi yang teliti, maka dapat membantu
dalam diagnosis suatu kelainan, misalnya kalau ada lesi intrakranial, palsi
serebralis, neuropati perifer, penyakit-penyakit degeneratif dan sebagainya.
Untuk
mengetahui secara dini adanya palsi serebralis dianjurkan menggunakan
pemeriksaan neurologi menurut milani comparetti, yang merupakan cara untuk
mengevaluasi perkembangan motorik dari lahir sampai umur 2 tahun.
8)
Evaluasi penyakit-penyakit metabolik.
Salah
satu penyebab gangguan perkembangan pada anak adalah disebabkan oleh penyakit
metabolik. Dari anamnesis dapat dicurigai adanya penyakit metabolik, apabila
ada anggota keluarga lainnya yang terkena penyakit yang sama. Adanya
tanda-tanda klinis seperti rambut pirang dicurigai PKU (phneylketonuria),
ataksia yang intermiten dicurgai adanya hiperamonemia dan sebagainya. Disamping
itu diperlukan
pemeriksaan penunjang lainnya yang sesuai dengan kecurigaan kita.
9)
Integrasi dari hasil penemuan
Berdasarkan
anamnesis dan semua pemeriksaan tersebut diatas, dibuat suatu kesimpulan
diagnosis dari gangguan perkembangan tersebut. Kemudian ditetapkan
penatalaksanaannya, konsultasi kemana dan prognosisnya.
f.
Gangguan perkembangan pada anak
Macam-macam
gangguan perkembangan pada anak antara lain:
1)
Gangguan Perkembangan motorik
Perkembangan
motorik yang lambat dapat disebabkan oleh hal-hal tertentu seperti faktor
keturunan dan faktor lingkungan. Faktor keturunan dimana pada keluarganya rata-rata
perkembangan motorik lambat dan faktor lingkungan pula seperti anak tidak mempunyai kesempatan untuk
belajar karena terlalu dimanjakan, selalu digendong atau diletakkan di
babywalker terlalu lama dan juga anak yang mengalami deprivasi maternal. Disamping
itu, faktor kepribadian anak misalnya anak sangat penakut, gangguan retardasi
mental juga adalah penyebab perkembangan motorik yang lambat.Selain itu,
kelainan tonus otot, obesitas, penyakit neuromuskular seperti penyakit duchenne
muscular dystrophydan buta juga merupakan antara gangguan perkembangan motorik(11).
2)
Gangguan Perkembangan bahasa
Gangguan
perkembangan bahasa dapat diakibatkan oleh berbagai faktor. termasuk faktor
genetik, gangguan pendengaran, intelegensi yang rendah, kurang pergaulan dan
kurang interaksi dengan lingkungan sekitarnya, maturasi yang lambat, gangguan
lateralisasi dan juga masalah yang dialami oleh diseleksia dan afasia(11).
3)
Retardasi Mental
Retardasi
mental adalah suatu kondisi yang ditandai oleh intelegensia yang rendah
(IQ<70) yang menyebabkan ketidakmampuan individu untuk belajar dan
beradaptasi terhadap tuntunan masyarakat atas kemampuan yang dianggap normal(12).
4)
Cerebral Palsy
Cerebral
Palsy adalah suatu kelainan gerakan dan postur tubuh yang tidak progresif, dan
disebabkan oleh karena kerusakan atau gangguan di sel-sel motorik pada susunan
saraf pusat yang sedang dalam proses pertumbuhan(12).
5)
Gangguan Emosi dan Perilaku
Selama
tahap perkembangan, anak juga dapat mengalami berbagai gangguan yang terkait
dengan psikiatri. Kecemasan adalah salah satu gangguan yang muncul pada anak
dan memerlukan suatu intervensi khusus apabila mempengaruhi interaksi sosial dan perkembangan
anak. Contoh kecemasan yang dapat dialami anak adalah fobia sekolah, kecemasan
berpisah, fobia sosial, dan kecemasan setelah mengalami trauma(13).
2.
Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR)
a.
Penyebab
Penyebab
berat badan lahir rendah (BBLR) pada neonatus adalah sebagai berikut(14):
1)
Pertambahan berat badan ibu hamil
Berat
badan absolut kurang dari 45 kg dipastikan terdapat kelainan tumbuh kembang
janin dalam uterus. Bila kalori harian sekitar 600 kal/hari dipastikan BBLR.
2)
Kehidupan sosial ibu (ketergantungan
rokok diatas 10 batang/hari, alkohol) menimbulkan gangguan sirkulasi
retro-plasenter sehingga cenderung menimbulkan BBLR.
3)
Infeksi ibu hamil (Rubella,
Sitomegalovirus, hepatitis A, B)
4)
Kelainan kromosom 21 dan 18
5)
Hipoksia ibu hamil
6)
Terjadi gangguan retro-plasenter
sirkulasi sehingga menimbulkan kekurangan nutrisi, O2, vitamin dan lainnya.
7)
Dismaturitas
Penyebab
dismaturitas adalah setiap keadaan yang mengganggu pertukaran zat antara ibu
dan janin (gangguan suplai makanan pada janin). Dismaturitas dihubungkan dengan
keadaan medis yang mengganggu sirkulasi dan insufisiensi plasenta, pertumbuhan
dan perkembangan janin, atau kesehatan umum dan nutrisi ibu.
Sedangkan
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi berat bayi lahir secara umum adalah
sebagai berikut:
1)
Faktor Lingkungan Internal yaitu
meliputi umur ibu, jarak kelahiran, paritas, kadar hemoglobin, status gizi ibu
hamil, pemeriksaan kehamilan, dan penyakit pada saat kehamilan.
2)
Faktor Lingkungan Eksternal yaitu
meliputi kondisi lingkungan, asupan zat gizi dan tingkat sosial ekonomi ibu
hamil.
3)
Faktor penggunaan sarana kesehatan yang
berhubungan frekuensi pemeriksaan kehamilan atau antenatal care (ANC).
Faktor
yang secara langsung atau internal mempengaruhi berat bayi lahir antara lain
sebagai berikut:
1)
Usia Ibu hamil
Umur
ibu erat kaitannya dengan berat bayi lahir. Kehamilan dibawah umur 16 tahun
merupakan kehamilan berisiko tinggi, 2-4 kali lebih tinggi di bandingkan dengan
kehamilan pada wanita yang cukup umur. Pada umur yang masih muda, perkembangan
organ-organ reproduksi dan fungsi fisiologinya belum optimal. Selain itu emosi
dan kejiwaannya belum cukup matang, sehingga pada saat kehamilan ibu tersebut
belum dapat menanggapi kehamilannya secara sempurna dan sering terjadi
komplikasi. Selain itu semakin muda usia ibu hamil, maka akan terjadi bahaya
bayi lahir kurang bulan, perdarahan dan bayi lahir ringan. Meski kehamilan
dibawah umur sangat berisiko tetapi kehamilan diatas usia 35 tahun juga tidak
dianjurkan karena sangat berbahaya. Mengingat mulai usia ini sering muncul
penyakit seperti hipertensi, tumor jinak peranakan, organ kandungan sudah menua
dan jalan lahir telah kaku. Kesulitan dan bahaya yang akan terjadi pada
kehamilan diatas usia 35 tahun ini adalah preeklamsia, ketuban pecah dini,
perdarahan, persalinan tidak lancar dan
berat bayi lahir rendah(15).
2)
Jarak Kehamilan/Kelahiran
Menurut
anjuran yang dikeluarkan oleh badan koordinasi keluarga berencana (BKKBN) jarak
kelahiran yang ideal adalah 2 tahun atau lebih, kerena jarak kelahiran yang
pendek akan menyebabkan seorang ibu belum cukup untuk memulihkan kondisi
tubuhnya setelah melahirkan sebelumnya. Ini merupakan salah satu faktor
penyebab kelemahan dan kematian ibu serta bayi yang dilahirkan. Risiko proses
reproduksi dapat ditekan apabila jarak minimal antara kelahiran 2 tahun(15).
3)
Paritas
Paritas
secara luas mencakup gravida/jumlah kehamilan, prematur/jumlah kelahiran, dan
abortus/jumlah keguguran. Sedang dalam arti khusus yaitu jumlah atau banyaknya
anak yang dilahirkan. Paritas dikatakan tinggi bila seorang ibu/wanita
melahirkan anak ke empat atau lebih. Seorang wanita yang sudah mempunyai tiga
anak dan terjadi kehamilan lagi keadaan kesehatannya akan mulai menurun, sering
mengalami kurang darah (anemia), terjadi perdarahan lewat jalan lahir dan letak
bayi sungsang ataupun melintang(15).
4)
Kadar Hemoglobin (Hb)
Kadar
hemoglobin (Hb) ibu hamil sangat mempengaruhi berat bayi yang dilahirkan.
Seorang ibu hamil dikatakan menderita anemia bila kadar hemoglobinnya dibawah
12 gr/dl. Data Depkes RI (2008) diketahui bahwa 24,5% ibu hamil menderita
anemia. Anemia pada ibu hamil akan menambah risiko mendapatkan bayi berat lahir
rendah (BBLR), risiko perdarahan sebelum dan pada saat persalinan, bahkan dapat
menyebabkan kematian ibu dan bayinya, jika ibu hamil tersebut menderita anemia
berat. Hal ini disebabkan karena kurangnya suplai darah nutrisi akan oksigen
pada plasenta yang akan berpengaruh pada fungsi plasenta terhadap janin(16,17).
5)
Status Gizi Ibu Hamil
Status
gizi dapat diartikan sebagai keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi. Berdasarkan pengertian diatas status gizi ibu hamil
berarti keadaan sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi
sewaktu hamil. Status gizi ibu pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat
mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Selain itu gizi ibu hamil
menentukan berat bayi yang dilahirkan, maka pemantauan gizi ibu hamil sangatlah
penting dilakukan. Pengukuran antropometri merupakan salah satu cara untuk
menilai status gizi ibu hamil. Ukuran antropometri ibu hamil yang paling sering
digunakan adalah kenaikan berat badan ibu hamil dan ukuran lingkar lengan atas
(LLA) selama kehamilan. Sebagai ukuran sekaligus pengawasan bagi kecukupan gizi
ibu hamil bisa di lihat dari kenaikan berat badannya. Ibu yang kurus dan selama
kehamilan disertai penambahan berat badan yang rendah atau turun sampai 10 kg,
mempunyai resiko paling tinggi untuk melahirkan bayi dengan BBLR. Sehingga ibu
hamil harus mengalami kenaikan berat badan berkisar 11-12,5 Kg atau 20% dari
berat badan sebelum hamil. Sedang Lingkar Lengan Atas (LLA) adalah antropometri
yang dapat menggambarkan keadaan status gizi ibu hamil dan untuk mengetahui
resiko Kekurangan Energi Kalori (KEK) atau gizi kurang. Ibu yang memiliki
ukuran Lingkar Lengan Atas (LLA) di bawah 23,5 cm berisiko melahirkan bayi
BBLR. Pengukuran LLA lebih praktis untuk mengetahui status gizi ibu hamil
karena alat ukurnya sederhana dan mudah dibawa kemana saja, dan dapat dipakai
untuk ibu dengan kenaikan berat badan yang ekstrim(17).
6)
Pemeriksaan Kehamilan
Pemeriksaan
kehamilan bertujuan untuk mengenal dan mengidentifikasi masalah yang timbul
selama kehamilan, sehingga kesehatan selama ibu hamil dapat terpelihara dan
yang terpenting ibu dan bayi dalam kandungan akan baik dan sehat sampai saat
persalinan. Pemeriksaan kehamilan dilakukan agar kita dapat segera mengetahui
apabila terjadi gangguan / kelainan pada ibu hamil dan bayi yang dikandung,
sehingga dapat segera ditolong tenaga kesehatan(17).
7)
Penyakit Saat Kehamilan
Penyakit
pada saat kehamilan yang dapat mempengaruhi berat bayi lahir diantaranya adalah
Diabetes melitus (DM), cacar air, dan penyakit infeksi TORCH(Toxoplasma,
Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes). Penyakit DM adalah suatu penyakit dimana
badan tidak sanggup menggunakan gula sebagaimana mestinya, penyebabnya adalah
pankreas tidak cukup memproduksi insulin/tidak dapat menggunakan insulin yang
ada. Bahaya yang timbul akibat DM diantaranya adalah bagi ibu hamil bisa
mengalami keguguran, persalinan prematur, bayi lahir mati, bayi mati setelah
lahir (kematian perinatal) karena bayi yang dilahirkan terlalu besar lebih dari
4000 gram dan kelainan bawaan pada bayi (Poedji Rochjati, 2003). Penyakit
infeksi TORCH adalah suatu istilah jenis penyakit infeksi yaitu Toxoplasma,
Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakit ini sama bahayanya
bagi ibu hamil yaitu dapat menganggu janin yang dikandungnya. Bayi yang
dikandung tersebut mungkin akan terkena katarak mata, tuli, Hypoplasia
(gangguan pertumbuhan organ tubuh seperti jantung, paru-paru, dan limpa). Bisa
juga mengakibatkan berat bayi tidak normal, keterbelakangan mental, hepatitis,
radang selaput otak, radang iris mata, dan beberapa jenis penyakit lainnya(16).
Faktor-faktor
yang mempengaruhi berat bayi lahir secara tidak langsung/eksternal dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1)
Faktor lingkungan yang meliputi
kebersihan dan kesehatan lingkungan serta ketinggian tempat tinggal.
2)
Faktor ekonomi dan sosial meliputi jenis
pekerjaan, tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu hamil.
b.
Penanganan
Penanganan
bayi dengan BBLR adalah melalui perbaikan gizinya, yakni dengan pemberian ASI.
Bayi prematur atau BBLR biasanya mempunyai masalah menyusui karena refleks
menghisapnya masih lemah. Untuk bayi demikian sebaiknya ASI dikeluarkan dengan
pompa atau diperah dan diberikan pada bayi dengan sonde lambung atau pipet.
Dengan memegang kepala dan menahan bawah dagu, bayi dapat dilatih untuk
menghisap sementara ASI yang telah dikeluarkan yang diberikan dengan pipet atau
selang kecil yang menempel pada puting. Beberapa kategori penting untuk
penanganan
bayi dengan BBLR adalah sebagai berikut(18):
1)
Bayi dengan berat lahir di atas 1800
gram dengan masa kelahiran >34 minggu dapat langsung diajarkan menyusu dari
ibu.
2)
Bayi dengan berat lahir antara 1500-1800
gram dengan masa kehamilan 32-34 minggu dapat dicoba menyusu tetapi
kebutuhannya perlu ditambahkan secara pemberian dengan cangkir/sendok.
3)
Bayi dengan berat lahir antara 1250-1500
gram dengan masa kehamilan 30-32 minggu perlu diberi makanan melalui pipa
nasogastril.
3.
Toksoplasmosis
a. Etiologi
Adapun penyebab terjadinya
toksoplasmosis, yaitu:
1) Infeksi
melalui oral apabila manusia mengonsumsi makanan atau minuman yang terinfeksi
oleh agen penyebab toksoplasmosis seperti susu sapi segar, atau daging yang
belum sempurna dimasak dari hewan yang terinfeksi toksoplasmosis(19).
2) Transmisi
juga dapat terjadi melalui kontak mulut-tangan atau dari peralatan masak lainya
setelah mengolah daging mentah(19).
3) Toksoplasma
juga dapat ditularkan dari ibu hamil yang menderita toksoplasmosis ke bayi yang
dikandungnya. Transmisi kepada janin terjadi in utero melalui plasenta, bila
ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil(19,20).
4) Tranfusi
darah dari individu yang terinfeksi toksoplasmosis(19).
5) Infeksi
dari transplantasi organ atau produk organ yang telah terkontaminasi dengan
parasit toksoplasma(19).
6) Infeksi
juga dapat terjadi di laboraturium pada orang yang bekerja dengan binatang
percobaan yang diinfeksi T. Gondii, melalui jarum suntik dan alat laboraturium
yang terkontaminasi dengan T. Gondii. Ibu hamil tidak dianjurkan bekerja dengan
T. Gondii yang hidup. Infeksi dengan T. Gondii juga pernah terjadi waktu
mengerjakan otopsi(19).
7) Minum
air yang terkontaminasi ookista(21).
b. Epidemiologi
25-30% populasi manusia di dunia
terinfeksi oleh toxoplasma. Negara-negara tropis dengan iklim hangat dan lembab
memiliki tingkat kejadian infeksi toxoplasma yang lebih tinggi dibandingkan Negara-negara
yang kering atau suhu yang lebih dingin. Tingkat kejadian infeksi toxoplasma
yang rendah ada di Negara-negara amerika utara, asia tenggara, eropa utara
dengan persentase kejadian sekitar 10-30%. Negara-negara eropa tengah dan
selatan dikategorikan ke dalam tingkat kejadian sedang dengan persentase
30-50%. Sedangkan amerika latin dan Negara-negara tropis di afrika masuk ke
dalam kategori tinggi(22).
c. Patogenesis
Toxopasma gondii yang menginfeksi
anak-anak atau orang dewasa berasal dari makanan yang mengandung cysts atau
terkontaminasi oleh oocysts. Oocysts biasanya berasal dari kucing yang
terinfeksi dan dibawa oleh lalat atau kecoa. Ketika parasit itu tercerna, cysts
akan melepaskan bradyzoites atau oocysts
melepaskan sporozoites. Parasit tersebut akan masuk ke dalam sel di
saluran pencernaan, memperbanyak diri, menghancurkan sel, menginfeksi sel di
sekitarnya, masuk ke limpa, dan menyebar melalui aliran darah ke seluruh tubuh.
Tachyzoites berproliferasi dan menyebabkan nekrosis di sekitarnya(4).
Ketikan seorang ibu terinfeksi selama
kehamilan, parasit tersebut akan menyebar melalui aliran darah ke plasenta.
Infeksi dapat berpindah ke fetus melalui plasenta atau selama kelahiran melalui
vagina. 17% fetus terinfeksi selama trimester pertama dan 65% fetus terinfeksi
selama trimester ketiga(4).
d. Diagnosis
Diagnosis toksoplasmosis akut ditegakkan
bila ditemukan parasit dalam darah atau cairan tubuh, ditemukan kista dalam
plasenta atau jaringan lain pada neonatus, adanya antigen atau dan organisme
dalam potongan preparat jaringan atau cairan tubuh, didapatkannya antigen dalam
serum dan cairan tubuh atau tes serologik positif. Tetapi oleh karena tekhnik
isolasi tidak selamanya dapat dikerjakan, maka dibawah ini akan dibicarakan
beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat membantu diagnosis(23):
1) Pemeriksaan
laboratorium
a)
Cairan serebrosinal
Callaghan
dkk. sejak tiga puluh tahun yang lalu, telah mengemukakan bahwa kelainan dalam
cairan serebrospinal pada toksoplasmosis kongenital selalu dijumpai. Cairan
serebropinal berwarna santokrom, terdapat pleositosis mononuclear, dan
peningkatan kadar protein. Kelainan ini juga terdapat pada cairan ventrikel.
Bila ditemukan IgM dalam cairan serebrospinal berarti infeksi masih aktif.
b) Gambaran
darah tepi
Baik
leukopenia maupun leukositosis dapat terjadi pada toksoplasmosis. Pada fase
awal infeksi, dapat ditemukan limfositosis dan monositosis. Tetapi bila
terdapat leukositosis yang tinggi harus dipikirkan terjadinya super infeksi.
Trombositopenia dapat menimbulkan peteki dan ekimosis, merupakan tanda penting
untuk diagnosis. Eosinofilia sering terjadi, dapat mencapai 30% dari jumlah
leukosit.
2) Pemeriksaan
histologik
Bila
ditemukan takizoid
dalam jaringan (misal pada biopsi otak, aspirasi sumsum tulang) atau cairan
tubuh (cairan ventricular atau serebrospinal, akua-humor, sputum) maka
diagnosis dapat ditegakkan. Hanya disayangkan parasit ini akan terlihat hanya
dengan pewarnaan khusus (fluorescent antibody technique atau peroxidase antiperoxidase
technique). Sedangkan bila di dalam jaringan di temukan kista, belum memastikan
adanya infeksi akut. Pada biopsi kelenjar getah bening pada toksoplasmosis
akuisita, didapatkan gambaran kista dikelilingi baik oleh jaringan sehat
ataupun daerah nekrosis. Gambaran ini tidak khas, kecuali bila ditemukan
parasit di dalam jaringan.
3) Pemeriksaan
serologik
Diantara
pemeriksaan penunjang diatas, pemeriksaan serologik merupakan pemeriksaan yang
terpenting untuk membantu diagnosis. Pada tes serologik dapat diukur titer zat
anti IgM dan IgG. Zat anti IgM dapat dideteksi pada 2 minggu setelah infeksi,
mencapai puncak dalam waktu 1 bulan, kemudian menurun dan tidak dapat
terdeteksi setelah 6-9 bulan kemudian. Sedangkan zat anti IgG mencapai
konsentrasi tertinggi pada 1-2 bulan setelah infeksi terjadi, titer tertinggi
dapat ditemukan selama berbulan-bulan sampai setahun atau lebih, kemudian
menurun dan dapat ditemukan seumur hidup dengan titer rendah. Dijumpainya
serokonservasi atau kenaikan 4 kali titer zat anti IgG (serum kedua diambil
setelah 2-4 minggu dari pemeriksaan serum pertama), diduga telah terjadi
infeksi yang baru terjadi. Tes serologik yang lazim dipergunakan ialah:
v Tes
pewarnaan Sabin-Fieldman (dye test)
v Tes
hemaglutinasi indirek (tes IHA)
v Tes
komplemen fiksasi (complement fixation test)
v Tes
aglutinasi
v Tes
fluoresen antibodi indirek (IFA)
v IgM-ELISA
(double sandwich IgM ELISA)
4) Diagnosis
Serologik pada Neonatus
Untuk
tes serologi sebaiknya diambil dari ibu dan bayi bersamaan. Pada bayi diambil
dari darah tali pusat dan darah tepi. Zat anti IgG yang ditemukan pada darah
bayi didapatkan pasif secara tranplasenta dari ibu yang mendapat infeksi akut
atau laten. Sedangkan infeksi akut pada bayi dibuktikan dengan ditemukan IgM
pada darah bayi. Hal ini oleh karena IgM mempunyai berat molekul besar
(950.000) sehingga tidak dapat melalui plasenta, maka bila ditemukan IgM maka
berarti berasal dari bayi. Pada toksoplasmosis kongenital, biasanya dijumpai
titer antibodi IgG yang tinggi dan titer antibodi IgM positif bila diperiksa
dengan tes yang cukup sensitif, misalnya tes ELISA. Namun bila IgM tidak
dijumpai belum menyingkirkan diagnosis terutama bila IgG diperiksa dengan tes
IFA. Pemeriksaan antibodi dianjurkan diperiksa bersamaan bayi dan ibu, oleh
karena IgG ibu dapat melewati plasenta, sehingga akan tetap dapat ditemukan
pada neonatus yang terinfeksi atau tidak terinfeksi. Pada bayi yang terinfeksi
titer IgG akan tetap tinggi, sedangkan pada bayi yang tidak terinfeksi titer
IgG lambat laun akan menurun dan tidak dijumpai antibody IgM. Sedangkan pada
neonatus tersangka penderita toksoplasmosis, tetapi IgM tidak ditemukan maka
perlu pemeriksaan serologik berkala. Zat anti IgG dari ibu lambat laun akan
menghilang (tiap bulan menurun separuhnya), kemudian pada umur 2-3 bulan bayi
dapat membentuk zat anti IgG sendiri. Maka diagnosis toksoplasmosis kongenital
ditegakkan bila dapat dideteksi IgM spesifik atau IgG spesifik yang menetap
setelah IgG dari ibu menghilang.
5) Diagnosis
Serologik pada Toksoplasma Okular
Pada
kelainan ini dapat dijumpai peningkatan kadar zat anti IgM (hanya pada sebagian
kecil kasus) dan IgG. Dilaporkan bahwa terdapat korelasi antara peningkatan
kadar IgG dengan re-aktivasi infeksi pada mata.
6) Foto
Kepala
Pada
foto kepala ditemukan kalsifikasi multiple diameter 1-3 mm menyebar di daerah
periventrikular, oksitoparietal dan temporal atau berbentuk linier pada basal
ganglia
7) Elektroensefalografi
Tampak
aktivitas yang menurun, fokal, fokus iritatif, paroksismalitas umum atau
normal.
8) Computed Tomografi Scanning
dan USG Kepala
Pada
CT-scanning kepala, kalsifikasi intra serebral akan lebih jelas terlihat.
Lokasi kalsifikasi biasanya periventrikular atau tersebar, kadang-kadang
terlihat kalsifikasi ganglia basalis. CT-scanning kepala dapat pula dipergunakan
untuk menilai luas kerusakan jaringan otak. Bila ubun-ubun besar masih terbuka,
kalsifikasi kerusakan jaringan otak dapat dilihat pada pemeriksaan
ultrasonografi.
e. Komplikasi
Pada penderita dengan keadaan
immunocompromised (kekebalan tubuh sangat rendah) misalkan akibat pemberian
obat imunosupresan dan juga pada penderita AIDS, infeksi dapat meluas yang
ditandai dengan proliferasi takhisoit di dalam otak, mata, paru, hati, jantung
dan organ lain sehingga dapat berakibat fatal(24).
Apabila tidak diobati dengan baik dan
penderita tetap hidup, penyakit akan memasuki fase kronik yang ditandai dengan
terbentuknya kista bradisoit terutama di otak yang kadang tidak memberikan
gejala klinik. Fase kronik dapat berlangsung bertahun-tahun bahkan seumur
hidup. Pada toxoplasmosis kongenital, kelainan dapat dibagi menjadi 2 kelompok(24):
1) Kelainan
jelas terlihat saat lahir berupa tetrase sabin: hidosefalus atau mikrosefalus,
khorioretinitis, kejang-kejang dan perkapuran otak. keempat kelainan tersebut
didapat pada bayi kasus berat atau kombinasi dari beberapa kelainan. Pada
umumnya bayi akana mati akibat kerusakan syaraf yang berat.
2) Bayi
lahir tampak normal akan tetapi akan terjadi kelainan dikemudian hari. Walaupun
tampak tanpa tanda-tanda akan kelainan (asimtomatis) waktu lahir, di kemudian
hari akan timbul kelainan berupa khorioretinitis, strabismus, hidrosefalus atau
mikrosefalus, kejang, retardasi mental atau gangguan pendengaran (tuli).
Ada beberapa penelitian yang
memperkirakan bahwa toxoplasmosis
sebagai salah satu faktor penyebab gangguan jiwa termasuk skizoprenia. ini
dibuktikan bahwa tikus yanng diinfeksi toxoplasma akan menunjukkan perubahan
tingkah laku diantaranya adalah hilangnya perasaan takut terhadap kucing(24).
f. Pencegahan
Pencegahan
yang dapat dilakukan terhadap toksoplasmosis, yaitu(20,21,25):
1) Mengurangi
Risiko dari Makanan
Untuk
mencegah risiko toksoplasmosis dan infeksi lain dari makanan:
a) Masak
makanan hingga matang. Jangan mencoba daging yang belum matang
b) Bekukan
daging selama beberapa hari di bawah suhu nol (0°F) sebelum dimasak untuk
mengurangi kemungkinan infeksi.
c) Kupas
atau cuci buah dan sayuran sampai bersih sebelum dimakan.
d) Cuci
talenan, piring, counter, dan peralatan masak lainnya. Cuci tangan dengan air hangat dan sabun setelah kontak dengan daging mentah, unggas,
seafood, atau buah-buahan atau sayuran yang belum dicuci.
2) Mengurangi
Risiko dari Lingkungan
Untuk
mencegah risiko toksoplasmosis dari lingkungan:
a) Hindari
minum air yang berpotensi terkontaminasi dengan ookista.
b) Kenakan
sarung tangan saat berkebun dan selama kontak dengan tanah atau pasir karena
mungkin terkontaminasi dengan kotoran kucing yang mengandung toksoplasma. Cuci
tangan dengan sabun dan air hangat setelah berkebun atau kontak dengan tanah
atau pasir.
b)Ajarkan
anak-anak pentingnya mencuci tangan untuk mencegah infeksi.
c) Berikan
kucing makanan kaleng atau makanan kering atau yang dimasak dengan baik, tidak
mentah atau kurang matang dagingnya.
d) Hindari
membersihkan kotoran kucing jika memungkinkan. Jika tidak ada orang lain yang
bisa melakukan tugas, gunakan sarung tangan sekali pakai dan mencuci tangan
dengan sabun dan air hangat setelahnya.
e) Jangan
biarkan kucing bermain diluar.
Wanita
hamil yang terinfeksi T. Gondii
beresiko untuk menularkan terhadap janin di dalam kandungannya. Oleh karena itu
penting untuk memberikan penyuluhan terhadap wanita tentang metode menghindari
penularan toksoplasma gondii. Skrining serologi, pemantauan ultrasonografi dan
pengobatan wanita hamil selama kehamilan dapat mengurangi insiden dan mungkin
manifestasi infeksi toksoplasma(6).
g. Tatalaksana
Tatalaksana
toksoplasmosis dibedakanatas 2 subyek, antara lain(6,26–28):
1) Ibu
dan fetus yang terinfeksi
Terapi
maternal untuk wanita yang memperoleh infeksi toxoplasma selama kehamilan
mengurangi peluang terjadinya transmisi kongenital hingga 70%. Skrining sebelum
hamil atau pada awal kehamilan diperlukan untuk mendeteksi wanita dengan resiko
terinfeksi. Apabila seorang ibu hamil terdeteksi terinfeksi toxoplasma, maka
dapat diberikan terapi maternal berupa spiramycine 3 gram per hari. Terapi ini
terus dilanjutkan selama kehamilan. Perlu juga dilakukan evaluasi tentang
kemungkinan infeksi pada fetus. Ketika
infeksi pada fetus sudah dapat ditegakkan, terapi maternal diganti dengan
kemoterapi anti-Toxoplasma kombinasi, regiman yang digunakan adalah
pyrimethamine 50 mg per hari dan sulfadiazine 3 gram per hari setelah usia
kehamilan 24 minggu. Preparat asam folat juga dapat diberikan untuk mencegah
timbulnya efek samping akibat pemberian pyrimethamine.
2) Bayi
baru lahir
Pada
bayi baru lahir dengan infeksi Toxoplasma, dapat diberikan kemoterapi
anti-Toxoplasma kombinasi yang terdiri dari pyrimethamine 1mg/kgBB per hari
selama 2 bulan dilanjutkan dengan 1 mg/kgBB tiap 2 hari selama 10 bulan,
sulfadiazine 50 mg/kgBB per hari, serta asam folat 5-10 mg 3 kali seminggu
untuk mencegah efek samping dari pyrimethamine.Selain pemberian obat-obatan,
follow up yang teratur juga diperlukan untuk mendeteksi manifestasi penyakit
lebih awal, melakukan terapi tambahan atau modifikasi terapi bila diperlukan,
dan menentukan prognosa. Hitung
darah lengkap 1-2 kali per minggu untuk pemberian dosis pyrimethamine harian
dan 1-2 kali per bulan untuk pemberian dosis pyrimethamine tiap 2 hari dilakukan untuk
memonitor efek toksik dari obat.
Diperlukan
pula pemeriksaan pediatrik yang lengkap, meliputi pemeriksaan perkembangan
saraf setiap bulan, pemeriksaan oftalmologi setiap 3 bulan sampai usia 18 bulan
kemudian setiap tahun sekali, serta pemeriksaan neurologis tiap 3-6 bulan
sampai usia 1 tahun.
4.
Hubungan
Toksoplasmosis dengan Konsumsi Makanan Saat Kehamilan
Toxoplasma merupakan genus sporozoa yang
merupakan parasit intraselular pada banyak organ dan jaringan burung dan
mamalia, termasuk manusia. Toxoplasma gondii
merupakan agen penyebab toksoplasmosis.Pola transmisinya ialah
transplasenta pada wanita hamil, mempunyai masa inkubasi 10-23 hari bila
penularan melalui makanan (daging yang dimasak kurang matang) dan 5-20 hari
bila penularannya melalui kucing. Bila infeksi ini mengenai ibu hamil trimester
pertama akan menyebabkan 20% janin terinfeksi toksoplasma atau kematian janin,
sedangkan bila ibu terinfeksi pada trimester ke tiga 65% janin akan terinfeksi.
Infeksi ini dapat berlangsung selama kehamilan.Manifestasi klinis yang mungkin
terjadi ialah: hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningoensefalitis,
khorioretinitis, mikrosefali, hidrosefalus, kalsifikasi intra-kranial,
miokarditis, lesi tulang, pnemonia, dan rash makulopapular. Pencegahan dapat
dilakukan antara lain dengan cara: memasak daging sampai matang, menggunakan
sarung tangan baik saat memberi makan maupun membersihkan kotoran kucing, dan
menjaga agar tempat bermain anak tidak tercemar kotoran kucing(29).
Beberapa kelompok
wanita harus dilakukan skrining untuk menilai apakah ada infeksi akut jika diketahui
sering terkena paparan benda yang menjadi pemicu seperti daging mentah, tanah,
dan feses kucing. Untuk meminimalisir risiko terjadinya taksoplasmosis pada ibu
hamil, berikut rekomendasinya (Tabel2)(30).
Tabel2.
Rekomendasi untuk menurunkan risiko dari infeksi taksoplasmosis pada ibu hamil
|
1.
Hindari konsumsi daging yang dimasak kurang matang.
|
2.
Cuci tangan dan seluruh perkakas dengan bersih setelah mempunyai kontak
dengan daging mentah.
|
3.
Cuci dengan bersih semua jenis sayuran yang tidak dimasak.
|
4.
Gunakan sarung tangan ketika sedang bercocok tanam atau bekerja yang
mempunyai kontak langsung dengan tanah. Cuci tangan dengan bersih setelah kontak
langsung dengan tanah.
|
5.
Letakkan kucing di luar ruangan jika memungkinkan.
|
6.
Ketika sedang membersihkan kotoran kucing, gunakan sarung tangan atau cuci
tangan sesegera mungkin setelah membersihkan.
|
Pada pemicu
dikatakan bahwa ibu senang makan-makanan yang tidak dimasak dengan sempurna seperti
sate dan lalapan. Sate yang dikonsumsi ibu bisa saja merupakan sate yang
dimasak kurang matang, ditambah lalapan yang mungkin saja tidak dicuci dengan bersih.
Hal inilah yang dapat meningkatkan risiko kemungkinan terjadinya infeksi toksoplasmosis(30).
5.
Hubungan
Toksoplasmosis dengan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Toxsoplasma gondii, suatu protozoa
intraseluler obligiat, di dapat per oral, secara transplasental, atau jarang,
secara parental pada kecelakaan laboraturium, melalui transfusi, atau dari organ yang di transplantasi. Pada
anak dengan imunologis normal, infeksi akut didapat, mungkin tidak bergejala,
menyebabkan limfadenopati, atau kerusakan hampir tiap organ. Sekali terkena,
organisme
berkista laten menetap selama seumur hidup hospes. Pada bayi atau anak dengan
gangguan imun, perolehan akut atau rekrudesens organisme laten paling sering menyebabkan
tanda-tanda atau gejala-gejala yang di hubungkan dengan system saraf pusat
(SSP). Infeksi yang diperoleh secara kongenital, jika tidak diobati, hampir
selalu menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala pada masa perinatal atau pada
kehidupan dikemudian. Tanda-tanda yang paling sering adalah karena
korioretinitis dan lesi SSP. Namun, manifestasi
lain, seperti retardasi intrauterin, demam, limfadenopati, ruam, kehilangan pendengaran, pneumonitis,
hepatitis dan trombositopenia, juga terjadi(6).
Kelainan pada susunan saraf pusat
berupa nekrosis yang disertai dengan kalsifikasi. Penyumbatan akuaduktus Sylvii
oleh karena ependimitis mengakibatkan hidrosefalus pada bayi. Pada infeksi akut
di retina ditemukan reaksi peradangan fokal dengan edema dan infiltrasi
leukosit yang dapat menyebabkan kerusakan total dan pada proses penyembuhan
menjadi parut (sikatriks) dengan atrofi retina dan koroid, disertai pigmentasi(6).
Mikrosefali biasanya menggambarkan
kerusakan otak yang berat, tetapi beberapa anak dengan mikrosefali karena
toksoplasmosis kongenital,
yang telah diobati, tampak berfungsi secara normal pada umur tahun-tahun pertama.
Toksoplasmosis kongenital yang tidak diobati yang bergejala pada umur 1 tahun,
dapat menyebabkan pengurangan banyak fungsi kognitif dan keterlambatan
perkembangan. Gangguan intelektual juga terjadi pada beberapa anak dengan
infeksi subklinis walaupun dilakukan pengobatan dengan perimintamin dan
sulfonamide selama 1 bulan. Kejang-kejang dan cacat motorik fokal dapat menjadi
nyata setelah masa neonates, walaupun infeksi pada saat lahir subklinis(6).
6.
Perkembangan
Penglihatan Bayi Normal
Perkembangan fungsi penglihatan pada
anak merupakan faktor penting yang perlu mendapat perhatian khusus. Bila
terdapat gangguan pada perkembangan fungsi penglihatan anak akan mengakibatkan
gangguan penglihatan anak tersebut untuk selanjutnya. Untuk mencegah terjadinya
hal ini, orang tua dan guru perlu mengetahui gejala gangguan perkembangan
fungsi penglihatan anak dan segera mendapatkan penanggulangan yang tepat.
Perkembangan
fungsi penglihatan normal pada anak adalah sebagai berikut(2):
a. Pada
bayi berumur 0 – 4 minggu, anak baru dapat membedakan terang dan gelap. Hal ini tampak jelas bila mata anak terkena
sinar akan mengedip.
b. Pada
bayi berumur 1 – 3 bulan, anak mulai dapat mengikuti gerakan benda-benda
didekatnya. Kedua mata mulai berfungsi
bersamaan.
c. Pada
bayi berumur 3 – 6 bulan, anak mulai memperhatikan benda-benda dalam jarak
jangkauannya dan berusaha menyentuh benda tersebut.
d. Pada
bayi berumur 6 bulan – 2 tahun, perkembangan fungsi penglihatan anak makin
pesat dan tajam penglihatan anak menuju ke tajam penglihatan optimal.
Untuk mencapai perkembangan fungsi
penglihatan normal dibutuhkan persyaratan khusus selain perkembangan fisik/
anatomis mata anak yang normal. Persyaratan tersebut adalah dibutuhkan rangsangan visual yang terus
menerus pada daerah selaput jala mata (retina) tepatnya daerah makula lutea
agar fungsi penglihatan mencapai fungsi yang normal dan optimal. Bila
persyaratan ini terganggu dan tidak segera diatasi maka anak tidak akan pernah
mencapai fungsi penglihatan yang normal seumur hidupnya(31).
7.
TORCH
TORCH adalah kepanjangan dari
toksoplasmosis, lain-lain (sifilis, varisela-zoster, parvovirus, dll), rubella,
cytomegalovirus, dan herpes simpleks. Banyak manifestasi klinis infeksi TORCH
yang serupa, antara lain retardasi pertumbuhan intrauterine, hidrops nonimun,
anemia, trombositopenia, ikterus, hepatosplenomegali, korioretinitis dan
malformasi konginetal. Beberapa manifestasi yang unik dari infeksi ini dicantumkan
ditabel(6).
Tabel
3 Infeksi Konginetal Perinatal(6)
Agen
|
Tanda-Tanda Neonatus
|
Toxoplasma
gondii
|
Hidrosefalus,
cairan spinal abnormal, kalsifikasi intracranial, korioretinitis, ikterus,
hepatosplenomegali
|
Virus rubella
|
Retardasi
pertumbuhan intrauterine, mikrosefali, mikroftalmia, katarak, glaucoma,
korioretinitis, hepatosplenomegali, ketulian, anemia, trombositopenia,
leucopenia
|
Sitomegalovirus
|
Sepsis,
korioretinitis, retardasi pertumbuhan intrauterine, mikrosefali, kalsifikasi
periventrikular, anemia, trombositopenia, hepatosplenomegali, ikterus,
ketulian, pneumonia
|
Virus herpes
simpleks
|
Korioretinitis,
mikrosefali, ensefalitis, keratokonjungtivitis
|
Virus
varisela-zoster
|
Mikroftalmia, katarak,
korioretinitis, aplasia/ hipoplasia/atrofi kulit dan tulang, parut kulit
|
Sifilis
|
Hidrops nonimun,
prematuritas, anemia, neutropenia, trombositopenia, pneumonia,
hepatosplenomegali
|
Parvovirus
|
Hidrops nonimun,
anemia janin
|
8.
Infeksi
Intrauterine yang Dapat Menyebabkan Khorioretinitis
Infeksi
intrauterine yang dapat menyebabkan khorioretinitis dibedakan berdasarkan
organisme yang terlibat(32):
a. Virus
1)
Cytomegalovirus
Mikrosefali,
hidrosefalus, cerebral palsy, kalsifikasi otak, korioretinitis, tuli, retardasi
mental dan psikomotor, hepatosplenomegali.
2)
Virus Herpes Simplex
Herpes
lokalisata atau generalisata, hidranensefali, ensefalitis, korioretinitis,
trombositopenia, petekie, anemia hemolitik, kematian.
3)
Varisela zoster
Cacar
air atau herpes zoster, meningkatnya abortus dan lahir mati, hidrosefalus,
mikrosefalus, kejang, katarak, mikoftalmia, sindrom horner, atrofi nervus
optikus, nistagmus, korioretinitis, retardasi mental, hipoplasia skeletal,
kelainan urogenital.
b. Protozoa
1)
Toksoplasmosis
Khorioretinitis
merupakan peradangan pada traktus uveitis posterior juga sering melibatkan
retina. Manifestasi dari peradangan ini berupa kehilangan pandang, kebutaan
atau pandangan kabur. Salah satu tanda klinis yang sesuai adalah ditandai
dengan ada atau tidaknya nekrosis pada retina ; ukuran, bentuk dan orientasi
dari lesi tersebut; derajat kegelapan pandang dan konfluensi dan fokaliti dari
lesi, bersama dengan warna dan ciri berbatas. Tanda yang berhubungan dengan
peradangan seperti arteriola atau selubung vascular, oklusi pembuluh darah dan
peradangan pada celah anterior dan vitrous(33).
Berikut gambar 1. dari khorioretinits akibat toxoplasmosis.
9.
Hubungan
Mikrosefali dengan Gangguan Perkembangan Pada Anak
Mikrosefali merupakan manifestasi
beberapa kelainan yang terjadi di dalam otak seperti infeksi TORCH, disgenesis
serebral atau anomali otak lainnya yang mengganggu pertumbuhan dan maturasi
otak. Berdasarkan penelitian Suwarba dkk di RSCM Jakarta periode Januari 2006 –
Juli 2008, didapatkan bahwa karakteristik klinis terbanyak yang ditemukan pada
pasien keterlambatan perkembangan global adalah mikrosefali(34).
Mikrosefali (lingkar kepala lebih
kecil dari persentil 3) juga mempunyai korelasi kuat dengan gangguan
perkembangan kognitif, sedangkan mikrosefali progresif berkaitan dengan
degenerasi SSP. Makrosefali (lingkar kepala lebih besar dari persentil 97)
dapat disebabkan oleh hidrosefalus, neurofibromatosis dan lain-lain(35,36).
Bentuk kepala yang ‘aneh’ sering berkaitan dengan sindrom dengan gangguan
tumbuh kembang. Ubun-ubun besar biasanya menutup sebelum 18 bulan
(selambat-lambatnya 29 bulan)(35–37).
Keterlambatan menutup dapat disebabkan oleh hipotiroidi dan peninggian tekanan
intrakranial (hidrosefalus,
perdarahan subdural atau pseudotumor serebri)
10.
Penyebab
Gangguan Perkembangan Motorik Pada Anak
Perkembangan motorik yang lambat dapat
disebabkan oleh hal-hal di bawah ini, yaitu(5):
a. Faktor
keturunan
Pada
keluarga tersebut perkembangan motorik rata-rata lambat
b. Faktor
lingkungan
Anak
yang tidak mendapat kesempatan untuk belajar, misalnya anak yang terus
digendong atau di taruh di “baby walker” terlalu lama. Juga anak yang mengalami
deprivasi maternal sering mengalami keterlambatan motorik.
c. Faktor
kepribadian
Anak
yang penakut, takut jatuh.
d. Retardasi
mental
Sebagian
anak dengan retardasi mental mengalami keterbatasan gangguan motorik.
e. Kelainan
tonus otot
Anak
dengan palsi serebral, sering terjadi keterbatasan perkembangan motorik akibat
dari spastisitas, atheotosis, ataksia atau hipotonia. Kelemahan tendon dan
kelainan pada sumsum tulang belakang (gross spinal defects), juga disertai
dengan keterlambatan motorik.
f. Obesitas
Walaupun
obesitas dapat mengakibatkan gangguan perkembangan motorik, tetapi tidak semua
anak obesitas mengalami keterlambatan motorik.
g. Penyakit
neuromuscular
Pada
anak yang menderita penyakit Duchenne muscular dystrophy sering terlambat
berjalan.
h. Buta
Anak
yang buta sering terlambat berjalan, kemungkinan akibat dari tidak diberikan
kesempatan untuk belajar.
Sedangkan gangguan motorik halus lebih
sedikit variasinya. Gangguan perkembangan motorik halus sering menyertai retardasi
mental dan palsi serebral(5).
11.
Habilitasi
Pada Bayi dengan Gangguan Perkembangan
Kejadaian sebelum lahir atau setelah
lahir, yang terdeteksi maupun yang tidak, dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya abnormalitas perkembangan di perkembangan motoris pada anak. Faktor
risiko terjadinya perkembangan yang abnormal yang paling umum adalah: kehamilan
yang berisiko, komplikasi persalinan, berat badan lahir rendah, prematur, dan
lainnya(38).
Satu dari kebanyakan parameter penting
untuk menilai maturitas neurologis, adalah dengan melihat abnormalitas
neurologis pada tonus otot, yang mana dapat diubah- diturunkan maupun dinaikan.
Perubahan tonus otot sering dilihat pada anak-anak yang sering disebut
“anak-anak berisiko” (anak-anak yang mempunyai satu atau lebih faktor risiko
abnormalitas perkembangan di riwayat penyakitnya), dan mereka dapat menjadi
indikasi dari disorder primer dari sistem saraf pusat (SSP) yaitu pada early
brain damage. Perubahan tonus otot baik itu hipotonia maupun hipertonia dapat
dianggap menjadi risiko simptomatik dan dibutuhkan habilitasi, meskipun
normalisasi secara spontan sering terjadi(39).
Beberapa teknik dan cara digunakan untuk
menormalisasikan tonus otot. Yang biasanya digunakan adalah: Vojta’s method dan
Bobath’s method(40).
a. Votja’s
method didasari oleh refleks pergerakan ke depan – refleks dari merangkak dan
membalikan(40),
Metode ini menggunakan teknik penguatan isometris. Pola pergerakan normal
didukung melalui aplikasi dari stimulus taktil. Program ini melibatkan sesi
terapi setiap hari oleh orangtua yang menerima pelatihan ekstensif(41).
Satu penelitian mengatakan bahwa(42)
metode Votja lebih efektif ketika diberikan di masa awal pertumbuhan di infant
preterm dengan risiko tinggi. Bagaimanapun juga, penelitian tentang
keefektifannya pada pasien CP anak-anak yang lebih tua belum terlalu
diperhatikan.
b. Bobath’s
method didasari oleh mekanisme yang memfasilitasi postur normal dan inhibisi
patologis(40).
Metode ini difokuskan untuk mengeliminasi pergerakan abnormal dan pengembalian
pergerakan normal. Metode ini sering disebut pengobatan persiapan karena metode
ini diarahkan untuk membentuk komponen sensorimotor performance yang menjadi
syarat untuk berfungsi selagi meminimalisir perburukan yang mengganggu kelakuan
fungsional(43).
BAB
III
KESIMPULAN
Adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada
bayi 6 bulan tersebut disebabkan oleh infeksi Toxoplasma gondiiyang diakibatkan ibu sering makan makanan yang
dimasak tidak sempurna.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Dorland. Dorland’s Illustrated Medical
Dictionary, 32e. 32nd edition. Philadelphia, PA: Saunders; 2011. 2176 p.
2.
Ilyas, Sidarta. Korioretinitis dalam
Penuntun Ilmu Penyakit Mata, Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2005. h. 144-45.
3.
Tanuwidjaya, Suganda. Konsep Umum Tumbuh
dan Kembang. In: Narendra, Moersintowarti B, dkk. (eds.) Buku Ajar I Tumbuh
Kembang Anak dan Remaja. Jakarta : Sagung Seto; 2002. p. 8-11.
4.
Kliegman RM, Stanton BF, Geme JS, Schor
NF, Behrman RE. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2011.
5.
Moersintowati.B et al. Tumbuh Kembang
Anak Dan Remaja Ed.1. Buku Ajar I. Sagung Seto : Jakarta. 2008 pp: 95-99.
6.
Behrman RE, Kliegman RM. Nelson Esensi
Pediatri: Perkembangan dan Perilaku Pediatri. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2010. h.
9-11.
7.
Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro
S. Diagnosis Fisis Pada Anak: Beberapa Cara Pengukuran. Edisi 2. Jakarta: PT
Sagung Seto; 2003. h. 180.
8.
MD KM, MD RMK. Nelson Essentials of
Pediatrics: With STUDENT CONSULT Online Access, 7e. 7 edition. Philadelphia:
Saunders; 2014.
9.
Thambirajah MS. Developmental Assessment
of the School-Aged Child with Developmental Disabilities: A Clinician’s Guide.
Jessica Kingsley Publishers; 2011.
10. Griffith
R, Luiz D, Development A for R in I and C. Griffiths Mental Development Scales,
Extended Revised: GMDS-ER; Two to Eight Years. Hogrefe, the Test People; 2006.
book p.
11. Soetjningsih.
1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta ; EGC.
12. Departemen
Kesehatan R.I. (2005). Rencana Strategi Departemen Kesehatan. Jakarta: Depkes
RI.
13. Widyastuti,
D, dan Widyani, R. 2001. Panduan Perkembangan Anak 0 Sampai 1 Tahun.Jakarta:
Puspa Swara.
14. Manuaba,
Ida Bagus G, et al. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC; 2007.
15. Rochjati,
Poedji. 2003. Skrining Antenatal pada Ibu Hamil. Surabaya: Airlangga University
Press.
16. Prawirohardjo.
2007. Ilmu Kandungan. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
17. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta:
DEPKES RI.
18. Nelson,
W.E. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Vol 1. Jakarta: EGC. 2012; h.635-643.
19. Kasper
LH. Toxoplasma infection. In: Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 15th
ed. McGraw Hill; 2001.p.1222-7.
20. Sutanto
I, Ismid IS, Sjarifuddi PK, Sungkar S.
Buku Ajar Parasitologi Kedokteran: Protozologi. Edisi 4. Jakarta: Badan
Penerbit FK UI; 2008. h.162-165.
21. Centers
for Disease Control and Prevention. Infections-toxo. Available at:
http://www.cdc.gov/pregnancy/infections-toxo.html. Accesed on September 2014.
22. Gangneux
FR, Darde ML. Epidemiology of and Diagnostic Strategies for Toxoplasmosis.
Clinical Microbiology Reviews; 2012 April;25(2):264-96.
23. Soedarmo,
Sumarmo S. Poorwo, Gama, Herry, Hadinegoro, Sri Rezeki S. Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI; 2010..
24. Chahaya,
I. Epidemiologi Toxoplasma Ghondii. Universitas Sumatra Utara. 2003.h.5-7.
25. Centers
for Disease Control and Prevention. Infections-toxo. Available at:
http://www.cdc.gov/parasites/toxoplasmosis/prevent.html. Accesed on September
2014.
26. Cloherty
JP, Eichenwald EC, Stark AR. Manual of Neonatal Care, 5th edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2004.
27. Gomella
TL, et al. A Lange Clinical Manual. Neonatology: Management, Procedures,
On-Call Problems, Diseasea, and Drugs, 5th edition. New York: McGraw-Hill.
2004.
28. Taeusch
HW, Ballard RA. Avery’s Diseases of The Newborn, 7th edition. Philadelphia:
Saunders. 1998.
29. Kumar
Vinay,dkk. 2013. Buku ajar patologi Robbins.Jakarta : EGC, 2007.
30. Reece
EA, Barbieri RL. Obstetrics and Gynecology: The Essentials of Clinical Care.
Thieme; 2011.
31. Perhimpunan
Dokter Spesialis Mata. Radang Uvea dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi kedua.
Jakarta: CV. Agung Seto; 2002. h. 159-75.
32. Benson,
Ralph C. 2008. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi edisi 9. Jakarta: EGC.
33. Davis
JL. Diagnostic dilemmas in retinitis and endophthalmitis. Presented at the
Cambridge Ophthalmological Symposium. Miami: University of Miami Miller School
of Medicine, Bascom Palmer Eye Institute.
2012; 26, 194–201.
34. Suwarba
IGN, Widodo DP, Handryastuti RAS. Profil Klinis dan Etiologi Pasien
Keterlambatan Perkembangan Global di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Sari Pediatri; 2008 Desember;10(4):255-61.
35. Ismael
S. Ciri-ciri kelainan neurologis yang mudah dikenal. Dalam: Pusponegoro HD
dkk., penyunting.Kelainan neurologis
dalam praktek sehari-hari. Naskah lengkap PKB IKA FKUI XXXIV; 21-22 April
1995.Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1995.
36. Levy
SE, Hyman SL. Pediatric assesment of the child with developmental delay. Dalam:
Batshaw ML,penyunting. The Child with developmental disabilities. Pediat Clin
North Am 1993; 40:465-77.
37. Sulkes
SB. Developmental and behavioral pediatrics.Dalam: Behrman RE, Kliegman, RM,
penyunting.Nelson essentials of pediatrics; edisi-3. Tokyo: Saunders,1998. h.
1-55.
38. Wiles
CM. Motor Disorders. Brain. 2000 Jul 1;123(7):1528–30.
39. Goran
G. Physical therapy for treatment of lower extremity fractures in children. Med
Danas. 2011;10(10-12).
40. MD
JHM, Sarnat HB, MD BLM. Child Neurology. Seventh edition. Philadelphia: LWW;
2005.
41. Piek
JP. Infant Motor Development. Human Kinetics; 2006.
42. Kanda
T, Pidcock FS, Hayakawa K, Yamori Y, Shikata Y. Motor outcome differences
between two groups of children with spastic diplegia who received different
intensities of early onset physiotherapy followed for 5 years. Brain Dev. 2004
Mar;26(2):118–26.
43. Radomski
MV, Latham CAT. Occupational Therapy for Physical Dysfunction. Lippincott
Williams & Wilkins; 2008.
0 comments Blogger 0 Facebook
Post a Comment