BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pemicu
Pemicu 3 : lumpuh dan gangguan sensoris
Seorang bintang film terkenal, Tn. Raffea, 35 tahun, terjatuh dari kudanya saat mengikuti acara cross country. Pada saat jatuh, kepalanya terbentur tanah. Ia tetap sadar, tetapi tidak dapat menggerakkan kedua tangan dan kakinya. Pada saat temannya menyentuh tangannya, ia tidak dapat merasakannya. Ia terlihat bernafas dengan tersengal-sengal. Ambulans segera datang dan membawanya ke rumah sakit.

1.2 Klarifikasi dan Definisi
Tidak ada klarifikasi dan definisi.

1.3 Kata Kunci
v  Terjatuh dari kuda
v  Kepala terbentur tanah
v  Tetap sadar
v  Tidak dapat menggerakkan kedua tangan dan kaki
v  Tidak bisa merasakan sentuhan
v  Nafas tersengal-sengal

1.4 Rumusan Masalah
Tn. Raffea (35 tahun) terjatuh dari kuda, kepala terbentur tanah, tidak dapat merasakan sentuhan, tetap sadar namun tidak dapat menggerakkan kedua tangan dan kakinya serta bernafas tersengal-sengal.
 
1.6 Hipotesis
Benturan di kepala yang dialami Tn. Raffea (35 tahun) menyebabkan gangguan pada sistem saraf sensorik dan motoriknya.

1.7 Learning Issues
1.      Traktus asenden
2.      Traktus desenden
3.      Fungsi dari sistem saraf motorik dan sensorik
4.      Penyebab Tn. Raffea bernafas tersengal-sengal
5.      Penyebab Tn. Raffea tidak kehilangan kesadarannya
6.      Anatomi dan fisiologi dari traktus kortikospinalis, traktus spinotalamikus, dan saraf otonom
7.      Gambaran histologis pada badan akhir saraf yang terdapat pada kulit dan otot
8.      Aktivitas listrik dari sel saraf
9.      Komunikasi antar sinaps terjadi
10.  Proses terjadinya transmisi impuls pada sistem saraf
11.  Jelaskan tentang LMN dan UMN
12.  Jenis-jenis cedera kepala
13.  Jenis-jenis trauma pada sistem saraf pusat
14.  Patofisiologi dari trauma pada sistem saraf
15.  Pemeriksaan pada trauma sistem saraf
16.  Jenis paralisis atau kelumpuhan
17.  Jenis lesi yang terjadi pada sistem saraf
18.  Perkiraan letak lesi sehingga terjadi kelumpuhan pada ekstremitas pada Tn. Raffea
19.  Tatalaksana trauma kepala


















BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Traktus ascendens (1)
Traktus ascendens merupakan serabut saraf yang naik dari medulla spinalis ke pusat yang lebih tinggi sehingga menghubungkan medulla spinalis dengan otak. Traktus ascendens mkan informasi menghantarkan informasi aferen, baik yang dapat maupun yang tidak dapat di sadari.
a.       Traktus spinothalamicus lateralis
Reseptor nyeri dan suhu pada kulit serta jaringan lainnya adalah ujung-ujung saraf bebas. Impuls nyeri ditransmisikan ke arah medulla spinalis, yaitu di dalam serabut penghantar cepat delta tipe A (permulaan nyeri tajam) dan serabut penghantar lambat tipe C (rasa nyeri seperti terbakar yang lama dan menyakitkan).
Akson-akson yang masuk ke dalam medulla spinalis dari ganglion radix posteriorlangsung menuju ujung columna grissea posterior dan terbagi menjadi cabang ascendens dan descendens. Serabut neuron tingkat pertama ini berakhir dengan membentuk sinaps dengan sel-sel didalam columna grissea posterior. Selanjutnya akson neuron tingkat kedua meyilang secara oblik menuju sisi kontralateraldi substansia grissea anterior dan commisura alba dalam satu segmen medulla spinalis, naik di dalam columna alba kontralateral sebagai traktus spinothalamikus lateralis. Traktus ini terletak di medial traktus spinocerebellaris anterior.
b.      Traktus spinothalamikus anterior
Akson-akson memasuki medulla spinalis melalui ganglion radix posterior dan menuju ujung columna grissea posterior, kemudian terbagi menjadi cabang ascendens dan descendens. Serabut neuron tingkat pertama berakhir dengan bersinaps pada sel-sel di dalam kelompok substansia gelatinosa columna grissea posterior. Selanjutnya akson neuron tingkat kedua meyilang dengan snagat oblik menuju sisi kontralateral di substansia grissea anterior dan commisura alba dalam beberapa segmen medulla spinalis, naik di dalam columna alba anterolateral sisi kontralateral sebagai traktus spinothalamikus anterior.
Traktus ini berfungsi sebagai jaras raba dan tekanan ringan.
c.       Fasciculus gracilis dan fasciculus cuneatus
Banyak serabut panjang ascendens berjalan ke atas di dalam columna alba posterior sebagai fasciculus gracilis dan fasciculus cuneatus. Fasciculus gracilis terdapat di sepanjang medulla spinalis dan berisi serabut panjang ascendens dari nervi spinales sacralis, lumbalis dan enam thoracicae bagian bawah. Fasciculus cuneatus terletak di sebelah lateral segmen thoracicae atas dan servikalis medula spinalis dan dipisahkan dari fasciculus grasilis oleh sebuah septum.
Adapun fungsi dari traktus ini adalah sebagai jaras untuk diskrminasi raba, sensasi  getar dan sensasi sadar sendi otot.
d.      Traktus spinocerebellaris posterior
Akson-akson memasuki medulla spinalis melalui ganglion radix posterior dan menuju ujung columna grissea posterior berakhir dan bersinaps dengan neuron tingkat keduadi dalam columna grissea posterior. Kemudian masuk ke bagian posterolateral columna alba lateralis sisi yang sama dan berjalan ke atas sebagai traktus spinocerebellaris posterior menuju medulla oblongata. Akson yang masuk ke medulla spinalis dari radix posterior segmen lumbalis bawah dan sacralis berjalan ke atas di dalam columna alba posterior hingga mencapai segmen lumbalis III atau IV, kemudian masuk ke nukleus dorsalis.
Serabut spinoserebellaris posterior menerima informasi dari sendi otot, organ tendon dan reseptor sendi badan dan ekstremitas inferior. Informasi ini mencakup tegangan tendon otot serta pergerakan otot dan sendi yang digunakan oleh serebellum untuk mengoordinasi gerakan ekstremitas dan mempertahankan postur.

e.       Traktus spinoserebellaris anterior
Akson-akson memasuki medulla spinalis melalui ganglion radix posterior dan menuju ujung columna grissea posterior berakhir dan bersinaps dengan neuron tingkat kedua di nukleus dorsalis pada dasar columna grissea posterior. Sebagian besar akson neuron tingkat kedua menyilang garis tengah menuju sisi kontralateral dan berjalan ke atas sebagai traktus spinoserebellaris anterior di columna alba sisi konralateral; dan sebagian lagi akson naik sebagai traktus spinocerebellaris anterior di columna alba lateralis pada sisi yang sama. Traktus spinoserebellaris anterior meneruskan informasi mengenai sendi otot dari muscle spindle, organ tendon, serta reseptor sendi dari badan dan ekstremitas superior dan inferior.
f.       Traktus spinotectalis
Akson-akson memasuki medulla spinalis melalui ganglion radix posterior dan menuju ujung columna grissea posterior berakhir dan bersinaps dengan neuron tingkat kedua yang tidak diketahui. Akson neuron tingkat kedua menyilang bidang median dan berjalan ke atas sebagai traktus spinotectalis adalam columna alba anterolateral dan terletak dekat traktus spinothalamikus lateralis. Traktus ini membawa informasi aferen untuk refleks spinovisual dan menimbulkan pergerakan mata dan kepala ke arah sumber stimulasi.
g.      Traktus spinoreticularis
Akson-akson memasuki medulla spinalis melalui ganglion radix posterior dan menuju ujung columna grissea posterior berakhir dan bersinaps dengan neuron tingkat kedua yang tidak dikenal di dalam substansia grissea. Akson-akson neuron tingkat kedua ini berjalan ke atas di dalam medulla spinalis sebagai traktus spinorektikularis dalam columna alba lateralis yang bergabung dengan traktus spinothalamikus lateralis. Sebagian besar serabut ini tidak menyilang serta berakhir dan bersinaps dengan neuron-neuron formatio reticullaris di medulla oblongata, pons, dan mesensephalon. Traktus spinoretikularis merupakan jaras aferen formatio reticularis yang berperan penting dalam memengaruhi tingkat kesadaran.
h.      Traktus spino-olivarius
Akson-akson memasuki medulla spinalis melalui ganglion radix posterior dan menuju ujung columna grissea posterior berakhir dan bersinaps dengan neuron tingkat kedua yang tidak dikenal di dalam substansia grissea posterior. Akson-akson neuron tigkat kedua ini menyilang garis tengah dan berjalan ke atas sebagai traktus spino-olivarius di dalam substansia alba pada pertemuan antara columna anterior dan lateralis. Akson-akson berakhir dan bersinaps dengan neuron-neuron tingkat ketiga pada nuklei olivarius inferior di medulla oblongata. Akson-akson neuron tingkat ketiga menyilang garis tengah dan masuk ke cerebellum melalui pedunculus cerebelli inferior. Traktus ini meneruskan informasi dari kulit dan organ-organ proprioseptif menuju cerebellum.
i.        Traktus sensorik viseralis
Sensasi yang timbul dari visera berlokasi dalam toraks dan abdomen memasuki medula spinalis melalui radiks posterior. Badan-badan sel neuron orde pertama terletak dalam ganglion radiks posterior. Prosesus tepi sel ini menerima impuls saraf dari ujung reseptor regangan dan nyeri dalam visera. Prosesus sentral, setelah masuk medula spinalis bersinaps dengan neuron orde kedua dalam substansia grisea, kemungkinan ke dalam columna grisea anterior atau lateralis
Akson-akson neuron orde kedua diduga bersatu dengan traktus spinothalamicus dan naik serta barakhir pada neuron orde ketiga dalam nukleus posterolateral ventral thalamus. Tujuan akhir akson neuron orde ketiga kemungkinan terdapat pada girus postcentralis korteks serebri. banyak serabut viseral aferen yang memasuki medula spinalis bercabang dan berpartisipasi dalam aktifitas refleks.


2.2. Traktus desendens (1)  
Jaras desendens merupakan jaras yang jalurnya dimulai dari bagian supraspinal sistem saraf pusat untuk turun dan berakhir pada neuron-neuron di medulla spinalis.

Jaras Desendens terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1.      Traktus pyramidalis atau corticospinalis
2.      Jaras motorik lain (traktus extrapiramidalis) :
-          Tectospinal tracts
-          Vestibulospinal tract
-          Rubrospinal tract

a.       Corticospinal Tract
-          Fungsi       : Gerakan-gerakan volunteer yang cepat dan terlatih, terutama ujung distal ekstremitas.
-          Jalur         :
·         Tractus Corticospinalis Lateralis
Serabut tractus corticospinal meninggalkan korteks otak à Pons à Medulla oblongataà Pada bagian distal medulla oblongata 80-90% serabut tractus ini menyilang garis tengah (decussatio)à tractus corticospinalis lateralis
·         Tractus Corticospinalis Anterior
Serabut tractus corticospinal meninggalkan korteks otak à Pons à Medulla oblongataàSerabut tractus yang tidak decussatioàIpsilateral dalam funikulus anterior à tractus corticospinalis anterior
b.      Rubrospinal Tract
-          Fungsi       : Memfasilitasi aktivitas otot-otot fleksor dan menghambat aktivitas otot- otot ekstensor.
-          Jalur         :
Nucleus ruber jaras eferen menyilang garis tengah dalam decussatio tegmentum ventalàMedulla spinalis anterior dan sebagian bercampur dengan serabut corticopinal lateralàBagian posterior berakhir di bagian kelabuàBagian posterolateral berakhir di cervical

c.       Tectospinal Tract
-          Fungsi       : Memutar kepala sebagai reaksi terhadap rangsang penglihatan dan
   pendengaran yang mendadak.
-          Jalur         :
Menyilang garis tengah anterior dari fasciculus longitudinalis medial (FLM) kemudian turun dalam FLM di zat putih funikulus anterior untuk bersinaps pada interneuron di zat kelabu semua segmen cervical atas.

d.      Vestibulospinal Tract
-          Fungsi       : Memfasilitasi aktivitas otot-otot ekstensor dan menghambat aktivitas
  fleksor
-          Jalur :
·         Berasal dari nukleus vestibular lateral dan medial
·         Bagian lateral turun dalam bagian anterior funikulus lateral.
Bagian anterorostral nukleus à cervikal
Bagian posterokaudal nukleusà lumbal
Bagian medial nukleusà torakal
Bagian medial turun ipsilateral dalam FLM dan berakhir secara monosinaps pada motoneuron α di cervical & torakal.

2.3. Fungsi dari sistem saraf motorik dan sensorik (1) (2)
a.       Sistem Saraf Sensorik
Saraf sensorik yang dapat disebut juga sebagai saraf aferen berfungsi menyalurkan informasi yang berasal dari organ reseptor. Mekanisme penghantaran informasi antara reseptor dengan sistem saraf pusat terjadi melalui proses penghantaran impuls dengan kode irama dan frekuensi tertentu.

b.      Sistem Saraf Motorik
Saraf motorik yang dapat disebut juga sebagai saraf eferen terdiri dari dua bagian yaitu saraf motorik somatik dan saraf motorik autonom. Saraf motorik somatik membawa impuls dari pusat ke otot rangka sebagai organ efektor. Sistem saraf somatik turut berperan dalam proses mengendalikan kinerja otot yang diperlukan untuk menyelenggarakan beragam sikap dan gerakan tubuh. Saraf motorik autonom merupakan salah satu komponen sistem saraf autonom yang mengendalikan otot polos, otot jantung dan kelenjar. Sistem saraf autonom (SSAU) termasuk berbagai pusat pengendali di otak, pada dasarnya melaksanakan kegiatan secara independen dan tidak langsung dikendalikan oleh kesadaran. SSAU terutama mengendalikan berbagai fungsi organ viseral yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan, antara lain fungsi jantung dalam mengatur volume curah jantung (cardiac output), fungsi pembuluh darah dalam mengatur aliran darah ke berbagai organ dan fungsi pencernaan.
2.4. Penyebab Tn. Raffea bernafas tersengal-sengal (3)
Cheyne-stokes: penderita bernafas makin lama makin dalam, kemudian makin mendangkal dan diselinggi oleh apne. Pola ini dijumpa pada dsfungi hemisper bilateral, sedanglan batang otak masih baik. Hali ini dapat merupakan gejala pertama pada herniasi transtentorial. Pola pernafasan ini dapat juga disebabkan oleh gangguan metabolic dan gagal jantung.
Pola pernafasan hiperventilasi neurogen-sentral, pernafasannya cepat dan dalam, berfrekuensi kira-kira 25 per menit. Dalam hal ini, lesi berada di tegmentum batang otak, antara mesensefalon dan pons. Pada pemeriksaan didapatkan ambang respirasi yang rendah, dan pemeriksaan darah menunjukan alkalosis respirasi, PCO2 arterial rendah, pH meningkat dan terdapat hipoksia ringan. Pemberian oksigen tidak akan member perubahan pada pola pernafasan . pola pernafasan ini didapatkan pada infark mesensefalonpontinm anoksia atau hipoklemia yang melibatkan daerah ini pada kompresi mesensefalon karena herniasi transtentorial.
Pola pernafasan apnestik ditandai oleh inspirasi yang memanjang diikuti oleh apne pada saat ekspirasu dengan frekuensi 1-1 1/2 permenit. Hal ini dapat diikuti oleh pernafasan klaster (cluster breathing) yang ditandai oleh respirasi yang berkelompok diikuti oleh apne. Keadaaan ini didapatkan pada kerusakan pons. Pernafasan ataksik (ireguler) ditandai oleh pola pernafasan yang tidak teratur, baik dalamnya maupun iramanya. Kerusakan terdapat di pusat pernafasan di medulla oblongata dan merupakan keadaaan preterminal.
2.5. Penyebab Tn. Raffea tidak kehilangan kesadarannya (2) (4)
Hal ini disebabkan karena terdapat kemungkinan bahwa tidak terjadi gangguan pusat kesadaran Tn. Raffea saat terjatuh sehingga Tn. Raffea tidak hilang kesadarannya. Dalam hal ini, pusat kesadaran manusia adalah terletak pada formasi retikular.
Struktur dari formasi reticular ini secara terdapat pada sebagian dari batang otak yang mana bentukan formasi reticular adalah terdiri atas kumpulan kecil badan sel neuron (substansi gelap) dan diantaranya terdapat sekumpulan akson bermielin (substansi putih). Ini terletak sepanjang bagian atas korda spinalis, batang otak, dan bagian bawah diencephalon. Bagian dari formasi retikular disebut Reticular Activating System (RAS) terdiri atas akson sensorik yang menuju korteks serebri. RAS berfungsi mempertahankan kesadaran dan aktif selama kita bangun dari tidur. Sebagai contoh, kita bisa terbangun ketika mendengar suara alarm jam, terkena cahaya, dan diberi pukulan karena adanya RAS yang membangunkan korteks serebri.

2.6. Anatomi dan fisiologi dari traktus kortikospinalis, traktus spinotalamikus, dan    saraf otonom (2) (5)
a.       Traktus kortikospinalis
Serabut traktus ini muncul sebagai sel piramidal yang terletak di lapisan kelima korteks serebri. Sekitar sepertiga serabut ini berasal dari korteks motorik primer, sepertiga lagi dari korteks motorik sekunder dan sepertiga lagi dari lobus parietalis. Sebagian besar serabut kortikospinalis bermielin menarik untuk diketahui dan merupakan serabut kecil yang relatif lambat dalam menghantarkan impuls.
Serabut descendens mengumpul di corona radiata, kemudian berjalan melalui crus posterius capsula interna. Di sini, serabut di tata sedemikian rupa sehingga yag terletak sangat dekat dengan genu yang mengurus bagian cervical tubuh, sedangkan yang terletak lebih ke posterior mengontrol ekstremirtas inferior. Selanjutnya, traktus ini melanjutkan perjalanan melalui tiga perlima bagian medial basis pedunculli mesensephalon. Di sini, serabut yang mengurus bagian cervical tubuh terletak di sebelah medial, sedangkan yang mengendalikan tungkai terletak di sebelah lateral.
Saat memasuki pons, traktus terbagi menjadi banyak berkas oleh serabut pontocerebellaris transversal. Di dalam medula oblongata, berkas membentuk kelompok di sepanjang tepi anterior dan membentuk benjolan yang di sebut pyramid. Pada pertemuan antara medulla oblongata dan medulla spinalis hampir semua serabut menyilang garis tengah pada decussatio pyramidum dan masuk ke kolumna alba lateralis medulla spinalis untuk membentuk traktus kortikospinalis lateralis. Sisa serabutnya tidak menyilang di decussatio pyramidum tetapi berjalan turun di dalam columna alba anterior medulla spinalis sebagai traktus kortikospinalis anterior. Serabut-serabut ini akhirnya menyilang garis tengah dan berakhir pada kolumna grisea anterior medula spinalis segmen servikal dan thoracicae atas.
Traktus kortikospinalis bukan satu-satunya jaras yang mengurus gerakan voluntar. Selain itu, traktus ini membentuk jaras yang meningkatkan kecepatan dan ketangkasan gerakan voluntar sehingga digunakan untuk melakukan gerakan cepat yang tangkas.
b.      Traktus spinothalamikus
Terdapat dua jalur yang tergabung pada traktus spinotalamikus dimana pada tiap jalurnya rangsang impuls yang dibawa juga berbeda. Kedua jalur tersebut adalah sebagai berikut :
v  Traktus Spinotalamikus Anterior
Jalur ini merupakan serabut saraf yang fungsinya membawa stimulus sentuhan (raba). Neuron pertama adalah sel saraf pseudounipolar ganglion spinalis. Biasanya cukup tebal, serat perifer bermielin yang mengirim sensasi taktil dan sensasi tekanan yang tidak begitu berbeda dari reseptor kulit, seperti keranjang rambut dan korpuskel taktil. Cabang sentral dari akson ini berjalan melalui radiks posterior ke dalam funikuli posterior medulla spinalis. Di sini semua mungkin berjalan naik untuk 2 sampai 15 segmen dan dapat memberikan kolateral ke bawah untuk 1 sampai 2 segmen. Pada sejumlah tingkat, semua bersinaps dengan neuron kornu posterior. Sel-sel saraf ini menggantikan “ neuron kedua” yang membentuk traktus spinotalamikus anterior. Traktus ini menyilang komissura anterior di depan kanalis sentralis ke sisi yang berlawanan dan berlanjut ke daerah perifer anterior dari funikulus anterolateral. Dari sini traktus ini berjalan naik ke nukleus ventralis talamus posterolateral, bersama dengan traktus spinitalamikus lateral dan lemniskus medialis. Sel-sel saraf talamus adalah “ neuron ketiga “, memproyeksikan impuls ke dalam girus postsentralis melalui traktus talamokortikalis.
Dari beberapa penemuan tentang traktus ini didapatkan sebagai berikut :
1.      Traktus ini membawa impuls nyeri yang ditambahkan pada sentuhan.
2.      Sebagian serat ini turun secara ipsilateral terhadap semua jalan menuju otak tengah, dimana mereka bersilangan di daerah kommisura posterior dan selanjutnya diproyeksikan dalam neuron intraluminer di talamus, dengan beberapa serat yang menjangkau substansia abu-abu di otak tengah.
3.      Traktus ini juga membawa motivasi terhadap sensasi nyeri, yang membedakan dengan traktus spinotalamikus lateral adalah traktus ini hanya membawa sensasi tersebut pada daerah-daerah tertentu. Eksistensi dari traktus ini sebagai traktus tersendiri masih dipertanyakan. Sebagian peneliti memasukkan traktus ini dalam sistem serabut yang sama dengan traktus spinotalamikus. Secara fisiologi masuk ke dalam dua traktus yakni sistem anterolateral.
v  Traktus Spinotalamikus Lateral
Jalur ini merupakan serabut saraf ascending yang terletak pada daerah medial sampai dorsal dan bagian ventral traktus spinoserebral. Jalur ini berfokus pada transmisi sensasi nyeri dan temperatur (suhu). Serabut-serabut saraf yang mengantarkan impuls pada jalur ini adalah serabut penghantar cepat tipe A delta dan serabut penghantar lambat tipe C yang badan selnya terdapat pada bagian dorsal ganglia saraf. Kedua jenis serabut saraf tersebut merupakan serabut yang tidak bermielin. Serabut tipe A-delta memiliki kemampuan konduksi sekitar 5 – 30 m/s. Serabut saraf tipe C memiliki kemampuan konduksi sekitar 0,5 – 2 m/s. Serabut penghantar cepat menimbulkan kewaspadaan pada individu terhadap permulaan nyeri tajam dan serabut penghantar lambat bertanggung jawab untuk timbulnya nyeri seperti rasa terbakar yang berlarut-larut. Cabang sentral memasuki medula spinalis melalui bagian lateral radiks posterior. Di dalam medula spinalis, cabang sentral ini terbagi menjadi kolateral pendek, longitudinal, dimana di atas 1 atau 2 segmen berhubungan sinaps dengan sel-sel saraf substansia gelatinosa (Rolandi). Cabang ini adalah ”neuron kedua” yang membentuk traktus spinotalamikus lateral. Serat-serat dari traktus ini juga menyilang komisura anterior dan berlanjut ke bagian lateral funikulus lateral dan ke atas ke talamus. Seperti serat funikuli posterior, kedua traktus spinotalamikus juga tersusun dalam urutan somatotopik yang berasal dari tungkai, terletak paling perifer dan yang berasal dari leher, terletak paling sentral (medial).
Traktus spinotalamikus lateral menyertai lemnikus medialis pada waktu lemnikus spinalis melewati pusat otak. Traktus tersebut berakhir pada nukleus ventralis posterolateral dari talamus. Dari sini, “neuron ketiga” membentuk traktus talamokortikalis.



Sistem saraf otonom adalah bagian dari sistem saraf perifer yang sebagian besar bertindak independen dari kontrol sadar (sengaja) dan terdiri dari saraf di otot jantung, otot polos, eksokrin dan kelenjar endokrin. Sistem saraf otonom bertanggung jawab untuk fungsi-fungsi pemeliharaan (metabolisme, aktivitas kardiovaskular, pengaturan suhu, pencernaan) yang memiliki reputasi untuk menjadi di luar kendali sadar. Pembagian utama lain dari sistem saraf perifer, sistem saraf somatik, terdiri dari tengkorak dan saraf tulang belakang yang menginervasi jaringan otot rangka dan lebih di bawah kontrol sengaja.
Sistem saraf otonom biasanya dibagi menjadi dua subsistem utama, sistem saraf simpatik dan sistem saraf parasimpatik. Ini cenderung saling mengimbangi, menawarkan kerja berlawanan dan tetapi efek saling melengkapi seperti mencerminkan filosofi Yin dan Yang. Sistem simpatis penawaran saraf dengan respon terhadap stres dan bahaya, melepaskan epinephrines (adrenalin), dan meningkatnya aktivitas umum dan tingkat metabolisme. Kebalikan sistem saraf parasimpatis ini, merupakan pusat selama istirahat, tidur, dan mencerna makanan, secara umum, menurunkan tingkat metabolisme, memperlambat aktivitas, dan mengembalikan tekanan darah dan detak jantung istirahat, dan sebagainya. Sama seperti Yin dan Yang, namun kekuatan yang saling melengkapi dan saling bergantung, sistem simpatis dan parasimpatis saling melengkapi dan keduanya diperlukan untuk menciptakan harmoni keseluruhan dan keseimbangan dalam organisme hidup.
Sebuah subsistem ketiga, sistem saraf enterik, diklasifikasikan sebagai sebuah divisi dari sistem saraf otonom juga. Subsistem ini memiliki saraf di sekitar usus, pankreas, dan kandung empedu.



Sistem saraf vertebrata dibagi ke dalam sistem saraf pusat (SSP), yang terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang, dan sistem saraf perifer (PNS), yang terdiri dari semua saraf dan neuron yang berada atau perpnajangan di luar sistem saraf pusat, seperti untuk melayani anggota tubuh dan organ. Sistem saraf perifer, pada gilirannya, biasanya dibagi menjadi dua subsistem, sistem saraf somatik dan sistem saraf otonom.
Sistem saraf somatik atau sistem saraf sensorik-somatik melibatkan saraf di bawah kulit dan berfungsi sebagai koneksi sensorik antara lingkungan luar dan SSP. Saraf ini berada di bawah kendali kesadaran, namun sebagian besar memiliki komponen otomatis, seperti yang terlihat dalam kenyataan bahwa mereka berfungsi bahkan dalam kasus koma. Pada manusia, sistem saraf somatik terdiri dari 12 pasang saraf kranial dan 31 pasang saraf tulang belakang.
Sistem saraf otonom biasanya disajikan sebagai yang bagian dari sistem saraf perifer yang independen dari kendali kesadaran, bertindak tanpa sengaja dan sadar (refleks), dan untuk memasok otot jantung, kelenjar endokrin, kelenjar eksokrin, dan otot polos. Sebaliknya, sistem saraf somatik memasok jaringan otot rangka, bukan jaringan halus, jantung, atau kelenjar.
Sistem saraf otonom dibagi ke dalam sistem saraf simpatik, sistem saraf parasimpatis, dan sistem saraf enterik. Secara umum, sistem saraf simpatik meningkatkan aktivitas dan tingkat metabolisme (“respon melawan atau lari”), sedangkan parasimpatis memperlambat aktivitas dan tingkat metabolisme, mengembalikan fungsi tubuh ke tingkat normal (“beristirahat dan keadaan mencerna”) setelah tinggi kegiatan dari stimulasi simpatis. Sistem saraf enterik melayani daerah sekitar usus, pankreas, dan kandung empedu, berurusan dengan pencernaan, dan sebagainya.
Berbeda dengan sistem saraf somatik, yang selalu menggairahkan jaringan otot, sistem saraf otonom dapat merangsang atau menghambat jaringan diinervasi. Jaringan yang paling terkait dan organ memiliki saraf dari kedua simpatik dan sistem saraf parasimpatik. Kedua sistem dapat merangsang organ target dan jaringan dengan cara yang berlawanan, seperti stimulasi simpatis meningkatkan denyut jantung dan parasimpatis untuk menurunkan detak jantung, atau stimulasi simpatis mengakibatkan pelebaran pupil, dan parasimpatis dalam konstriksi atau penyempitan pupil. Atau, mereka berdua bisa merangsang aktivitas secara bersama, tapi dengan cara yang berbeda, seperti kedua meningkatkan produksi air liur oleh kelenjar ludah, tetapi dengan stimulasi simpatis menghasilkan kental atau air liur tebal dan parasimpatis menghasilkan air liur encer.
Secara umum, sistem saraf otonom mengontrol homeostasis, yaitu konsistensi dari isi jaringan dalam gas, ion, dan nutrisi. Ia melakukannya terutama dengan mengontrol kardiovaskular, pencernaan, dan fungsi pernapasan, tetapi juga air liur, keringat, diameter pupil, berkemih (keluarnya urin), dan ereksi. Sementara banyak dari kegiatan ANS tanpa sengaja, pernapasan, misalnya, dapat menjadi sebagian dikendalikan secara sadar. Memang, meskipun bernapas merupakan fungsi murni homeostasis pada vertebrata air, dalam vertebrata darat itu menyelesaikan lebih dari oksigen ke darah: Sangat penting untuk mengendus mangsa atau bunga, untuk meniup lilin, berbicara atau bernyanyi. Contoh ini, antara lain, menggambarkan bahwa apa yang disebut “sistem saraf otonom” tidak benar-benar mandiri. Hal ini anatomis dan fungsional terkait dengan seluruh sistem saraf dan suatu batas yang ketat adalah mustahil.
ANS mungkin sebuah istilah klasik, masih banyak digunakan di seluruh komunitas ilmiah dan medis. Definisi yang paling berguna bisa: Neuron sensorik dan motorik yang menginervasi visera. Neuron ini membentuk busur refleks yang melewati batang otak yang lebih rendah atau medulla oblongata. Hal ini menjelaskan bahwa ketika sistem saraf pusat (SSP) rusak secara eksperimen atau karena kecelakaan atas level tersebut, kehidupan vegetatif masih mungkin, dimana kardiovaskular, pencernaan, dan fungsi pernapasan diatur secara memadai.
2.7. Gambaran histologis pada badan akhir saraf yang terdapat pada kulit dan otot (1)
a.       Corpusculum meissner
Corpusculum meissner terletak di papilla dermis kulit , khususnya di kulit telapak tangan dan kaki. Corpisculum meissner juga dapat ditemukan pada kulit papilla mammae dan genetalia externa. Masing-masing corpusculum berbentuk lonjong  dan terdiri dar tumpukan sel-sel schwan gepeng yang mengalami  modifikasi dan tersusun melintang di sepanjang sumbu panjang ciorpusculum. Corpusculum diliputi oleh kapsul jaringan ikat yang bersambung dengan endoneurium saraf yang masuk ke dalamnya . beberapa serabut saraf bermielin masuk ke ujung bagian dalam corpusculum , cabang-cabang yang bermielin dan tidak bermielin mengecil dan menyebar diantara sel Schwann.
b.      Corpusculum paccini
Corpusculum paccini tersebar diseluruh bagian tubuh dan banyak ditemukan di dermis, jaringan subkutan, ligamen, capsula articularis, pleura, peritoneum, papilla mammae, dan genitalia axterna. Masing-masing corpusculum berbentuk bulat telur , mempunyai panjang kira-kira 2 mm dan lebar sekitar 100-500 µm , terdiri dari sebuah kapsul dan inti sentral yang berisi ujung saraf . kapsul terdiri dari lamella-lamela sel gepeng yang tersusun konsentris.  Serabut saraf bermielin yang besar  masuk kedalam corpusculum dan kehilangan selubung mielinnya , kemudian dilapisi oleh sel Schwann. Akson yang terbuka dilapisi oleh lamela yang terbentuk dari sel gepeng yang melewati bagiian tengah unti dan berakhir dengan ujung yang membesar. Corpusculum paccini merupakan mekanoreseptor yang cepat beradaptasi dan terutama sensitive terhadap getaran. Corpusculum ini dapat memberikan respon hingga 600 stimulus per detik.
c.       Corpusculum ruffini
Corpusculum rufini terletak didalam dermis kullit yang berambut. Masing-masing corpusculum terdiri dari beberapa ujung saraf besar yang tidak bermielin didalm berkas serabut kolagen dan dikelilingi oleh serabut selular. Corpusculum ini merupakan  Mekenoreseptor  yang berdadaptasi lambat  dan merupakan reseptor regang yang bereaksi bila kulit diregangkan.

2.8. Aktivitas listrik dari sel saraf (2)
a.       Sinyal listrik dihasilkan oleh perubahan pada perpindahan ion melintas membran plasma
Perubahan pada potensial membran terjadi karena perubahan pada perpindahan ion menembus membran. Sebagai contoh, jika aliran masuk netto ion bermuatan positif meningkat dibandingkan dengan keadaan istirahat maka membran mengalami depolarisasi (bagian dalamnya kurang negatif). Sebaliknya, jika aliran keluar netto ion bermuatan positif meningkat dibandingkan dengan keadaan istirahat maka membran mengalami hiperpolarisasi (bagian dalam lebih negatif). Perubahan pada perpindahan ion, sebaliknya, ditimbulkan oleh perubahan pada permeabilitas membran sebagai respons terhadap berbagai kejadian pemicu. Bergantung pada jenis sinyal listriknya, kejadian pemicu dapat berupa (1) perubahan medan listrik di sekitar membran peka rangsang; (2) interaksisuatu perantara kimiawi dengan reseptor pemukaan tertentu di membran sel saraf atau otot; (3) rangsangan, misalnya gelombang suara yang merangsang sel-sel sarafkhusus di telinga; atau (4) perubahan spontan potensial akibat ketidak seimbangan inheren siklus bocor-pompa.
Karena ion-ion larut air yang bertanggung jawabmembawa muatan tidak dapat menembus lapis-ganda lemak membran plasma maka muatan ini hanya dapat menembus membran melalui saluran yang spesifik baginya. Saluran membran dapat berupa saluran bocor atau saluran berpintu/bergerbang. Saluran bocor selalu terbuka, sehingga ion-ionnya dapat menembus membran melalui saluran ini tanpa kontrol. Sebaliknya, saluran berpintu memiliki pintu yang kadang terbuka, memungkinkan ion melewati saluran, kadang terturup, mencegah lewatnya ion melalui saluran. Pembukaan dan penutupan pintu terjadi akibat perubahan dalam konformasi tiga dimensi (bentuk) protein yang membentuk saluran berpintu tersebut.Terdapat empat jenis saluran berpintu, bergantung pada faktor yang memicu perubahan konformasi saluran: (1) saluran berpintu voltase, yang membuka atau menutup sebagai respons terhadap perubahan potensial membran; (2) saluran berpintu kimiawi, yang mengubah konformasinya sebagai respons terhadap pengikatan pembawa pesan kimiawi tertentu dengan reseptor membran yang berkaitan erat dengan saluran; (3) saluran berpintu mekanis, yang berespons terhadap peregangan atau deformasi mekanis lain; dan (4) saluran berpintu termal, yang berespons terhadap perubahan suhu lokal (panas atau dingin).
Karena itu, kejadian pemicu mengubah permeabilitas membran dan karenanya mengubah aliran ion menembusmembran dengan membuka atau menutup saluran yangmelindungi saluran ion tertentu. Perpindahan ion-ion ini menyebabkan redistribusi muatan di kedua sisi membran, menyebabkan potensial membran berfluktuasi. Terdapat dua bentuk dasar sinyal listrik: (l) potensial berjenjang, yang berfungsi sebagai sinyal jarak-pendek; dan (2) potensial aksi, yang menjadi sinyal jarak-jauh.Membran dapat berubah dari -70 menjadi -60 mV (suatu potensial berjenjang 10 mV) atau dari -70 menjadi -50 mV (potensial berjenjang 20 mV).
b.      Semakin kuat pemicunya, semakin besar potensial berjenjang yang terbentuk
Potensial berjenjang biasanya dihasilkan oleh kejadian pemicu tertentu yang menyebabkan saluran ion berpintu terbuka di bagian tertentu membran sel peka rangsang. Pada sebagian besar kasus, saluran ini adalah saluran berpintu kimia atau berpintu mekanis. Yang biasanya terjadi adalah terbukanya saluran berpintu Na+yang menyebabkan masuknya Na+ ke dalam sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi dan listriknya. Depolarisasi yang terjadi-potensial berjenjang-terbatas di regio kecil khusus dari keseluruhan membran plasma.
Besar potensial berjenjang inisial ini (yaitu, perbedaan antara potensial baru dan potensial istirahat) berkaitan dengan kekuatan kejadian pemicu: Semakin kuat kejadian pemicu, semakin banyak saluran berpintu yang terbuka, semakin banyak muatan positif yang masuk ke sel, dan semakin besar potensial berjenjang terdepolarisasi di tempat inisial. Juga semakin lama durasi kejadian pemicu, semakin lama durasi potensial berjenjang.
c.    Potensial berjenjang menyebar dengan aliran arus pasif
Ketika suatu potensial berjenjang terjadi di membran sebuah sel saraf atau otot maka bagian membran lainnya masih berada dalam potensial istirahat. Daerah yang mengalami depolarisasi temporal disebut daerah aktif. Di bagian dalam sel, daerah aktif relatif lebih positif daripada daerah inaktif sekitar yang masih berada dalam potensial istirahat. Di luar sel, daerah aktif relatif kurang positif dibandingkan dengan daerah sekitar. Karena perbedaan potensial ini maka muatan listrik, dalam hal ini dibawa oleh ion, mengalir pasif antara daerah aktif dan daerah istirahat sekitar baik di sisi dalam maupun luar membran. Setiap aliran muatan listrik dinamai arus. Berdasarkan perjanjian, arah aliran arus selalu disebutkan berdasarkan arah aliran muatan positif. Di bagian dalam, muatan positif mengalir melalui CIS menjauhi daerah aktif depolarisasi yang relatif lebih positif ke arah daerah istirahat di sekitar yanglebih negatif. Di luar sel, muatan positif mengalir melaluiCES dari daerah inaktifdi sekitar yang lebih positifke arah daerah aktifyang relatiflebih negatif. Perpindahan ion (yaitu arus listrik) berlangsung di sepanjang membran di antara daerah-daerah yang berdekatan di sisi membran yang sama. Aliran ini berbeda dengan aliran ion menembus membran melalui saluran ion.
Akibat arus lokal antara daerah depolarisasi aktif dan daerah inaktif di sekitarnya maka terjadi perubahan potensialdi daerah yang semula inaktif. Muatan positif mengalir ke daerah sekitar di sisi dalam, sementara secara bersamaan, muatan positif mengalir keluar daerah ini di sisi luar. Karena itu, di daerah sekitar bagian dalam menjadi lebih positif (atau kurang negatif), dan bagian luar kurang positif (atau lebih negatif) daripada sebelumnya. Dengan kata lain, daerah sekitar yang semula inaktif telah mengalami depolarisasi sehingga potensial berjenjang telah menyebar. Potensial daerah ini kini berbeda dari daerah inaktif di sebelahnya di sisi lain, memicu aliran arus lebih lanjut ke daerah baru ini, demikian seterusnya. Dengan cara ini, arus menyebar di kedua arah menjauhi tempat awal perubahan potensial. Besar arus yang mengalir antara dua daerah bergantung pada perbedaan potensial antar daerah dan pada resistensi bahan tempat arus mengalir. Resistensi adalah hambatan terhadap perpindahan muatan listrik. Semakin besar beda potensial, semakin besar aliran arus; dan semakin rendah resistensi, semakin besar aliran arus.Konduktor memiliki resistensi rendah sehingga aliran arus tidak banyak mendapat hambatan. Kawat (kabel) listrik serta CIS dan CES adalah konduktor yang baik sehingga arus mudah mengalir melalui mereka. Insulator memiliki resistensi tinggi dan sangat menghambat perpindahan muatan. Plastik yang membungkus kawat listrik memiliki resistensi tinggi, demikian juga lemak tubuh. Karena itu, arus tidak mengalir menembus lapis ganda lemak membran plasma. Arus, yang dibawa oleh ion, dapat menembus membran hanya melalui saluran ion.
d.   Potensial berjenjang mereda hingga lenyap dalam jarak pendek
Aliran arus pasif antara daerah aktif dan daerah sekitar yang inaktif serupa dengan mengalirnya arus listrik di kawat listrik.Kita mengetahui dari pengalaman bahwa arus dapat bocor dari kawat listrik yang menimbulkan bahaya kecuali jika kawat dibungkus oleh bahan insulator misalnya plastik. (Orang tersengat listrik jika mereka menyentuh kawat listrik telanjang). Demikian juga, arus melenyap menembus membran plasma karena ion-ion pembawa muatan bocor melalui bagian-bagian membran yang "tidak berinsulasi", yaitu melalui saluran terbuka. Akibat berkurangnya arus ini maka kekuatan arus lokal secara progresif melemah seiring dengan bertambahnya jarak dari tempat asal.Karena itu, kekuatan potensial berjenjang terus menurun semakinjauh potensial ini merambat dari daerah aktif asal. Cara lain untuk menyatakannya adalah bahwa penyebaran potensial berjenjang bersifat decremental berkurang bertahap. Besar perubahan potensial awalnya adalah 15 mV (perubahan dari -70 menjadi -55 mV), yang berkurang sewaktu potensial bergerak di sepanjang membran hingga menjadi 10 mV (dari -70 menjadi -60 mV) dan terus menurun semakin jauh dari tempat aktif awal, sampai tidak lagi terdapat perubahan potensial. Dengan cara ini, arus lokal ini mereda hingga lenyap beberapa milimeter dari tempat awal perubahan potensial dan karenanya dapat berfungsi sebagai sinyal hanya untuk jarak yang sangat pendek. Meskipun potensial berjenjang memiliki jangkauan sinyal yang terbatas namun potensial ini sangat penting bagi fungsi tubuh.
Berikut ini adalah potensial berjenjang: potensial pascasinaps, potensial reseptor, potensial end-plate, potensial pemacu (Pacemaker), dan potensial gelombang hambat.Istilah-istilah ini mungkin asing bagi anda sekarang, tetapi anda akan terbiasa dengan mereka seiring dengan pembahasan lanjutan kita tentang fisiologi saraf dan otot. Kami menyertakan daftar ini di sini karena hanya di sinilah potensial berjenjang akan disatukan. Untuk saat ini cukup dikatakan bahwa umumnya sel peka rangsang dapat menghasilkan satu dari berbagai jenis potensial berjenjang sebagai respons terhadap suatu kejadian pemicu. Sebaliknya, potensial berjenjang dapat memicu potensial aksi, yaitu sinyal jarak-jauh, di sel peka rangsang.
e.    Potensial Aksi
Potensial aksi adalah perubahan potensial membran yang berlangsung singkat, cepat, dan besar (100 m.V) saat potensial sebenarnya berbalik, sehingga bagian dalam sel peka rangsang secara sesaat menjadi lebih positif daripada bagian luar. Seperti potensial berjenjang, satu potensial aksi hanya melibatkan sebagian kecil dari keseluruhan membran sel peka rangsang. Namun, tidak seperti potensial berjenjang, potensial aksi dihantarkan, atau menjalar, ke seluruh membran secara nondecremental; yaitu, potensial ini tidak berkurang kekuatannya ketika menyebar dari tempat asalnya ke seluruh bagian membran lain. Karena itu, potensial aksi dapat berfungsi sebagai sinyal jarak jauh yang"taat". Pikirkanlah tentang sel saraf yang menyebabkan kontraksi sel-sel otot di jempol kaki anda. Jikaanda ingin menggoyangkan jempol kaki anda maka perintah dikirim dari otak turun ke medula spinalis. Potensial aksi ini berjalan tanpa berkurang menelusuri akson panjang sel saraf yang berjalan di sepanjang tungkai anda untuk berakhir di sel-sel otot jempol kaki anda. Sinyal tidak melemah atau lenyap namun tetap dipertahankan dengan kekuatan penuh dari awal hingga akhir.Marilah kita melihat perubahan pada potensial selama suatu potensial aksi, serta permeabilitas dan perpindahan ionyang menjadi penyebab terjadinya perubahan potensial ini,sebelum kita mengalihkan perhatian kepada cara-cara yang digunakan oleh potensial aksi menyebar ke seluruh membran sel tanpa berkurang.
 
f.     Sewaktu potensial aksi, potensial membran berbalik secara cepat dan transien
Jika kekuatannya memadai maka perubahan potensial berjenjang dapat memicu potensial aksi sebelum perubahan berjenjang tersebut hilang. Biasanya bagian membran peka rangsang tempat potensial berjenjang dihasilkan sebagai respons terhadap suatu kejadian pemicu tidak mengalami potensial aksi. Namun, potensial berjenjang, melalui cara listrik atau kimia, menimbulkan depolarisasi bagian-bagian membran sekitar tempat potensial aksi dapat terbentuk. Untuk mempermudah pembahasan, kita akan meloncat dari kejadian pemicu ke depolarisasi bagian membran yang mengalami potensial aksi, tanpa membahas keterlibatan potensial berjenjang. Untuk memulai suatu potensial aksi, kejadian pemicu menyebabkan membran mengalami depolarisasi dari potensial istirahat -70 mV. Depolarisasi berjalan lambat pada awalnya, sampai tercapai suatu ambang kritis yang disebut potensial ambang, biasanya antara -50 dan -55 mV.
Di potensial ambang ini timbul depolarisasi yang eksplosif. Rekaman potensial pada saat ini memperlihatkan defleksi cepat ke atas hingga +30 mV karena potensial dengan cepat membalikkan dirinya sehingga bagian dalam sel menjadi positif dibandingkan dengan bagian luarnya. Membran kemudian mengalami repolarisasi sama cepatnya, kembali ke potensial istirahat.Gaya-gaya yang menyebabkan repolarisasi membran sering mendorong potensial terlalu jauh, menyebabkan hiperpolarisasi ikutan singkat saat bagian dalam membran menjadi lebih negatif daripada normal (misalnya -80 mV) sebelum akhirnya potensial istirahat pulih.Keseluruhan perubahan cepat potensial membran dari ambang ke puncak dan kemudian kembali ke istirahat disebut potensial aksi. Tidak seperti durasi potensial berjenjang yang bervariasi, durasi suatu potensial aksi selalu sama di satu sel peka rangsang. Di sel saraf, potensial aksi berlangsung hanya selama 1 mdet (0,001 detik). Potensial ini berlangsung lebih lama di otot, dengan durasi bergantung pada jenis otot. Bagian potensial aksi ketika potensial berbalik (antara 0 dan +30 mV) disebut overshoot.
Potensial aksi sering disebut sebagai spike, karena gambaran rekamannya yang seperti duri. Selain itu, juga dikatakan bahwa membran peka rangsang yang terpicu untuk mengalami potensial aksi menghasilkan lepas muatan (fire). Karena itu, istilah potensial aksi, spike, dan lepas muatan mengacu kepada fenomena pembalikan cepat potensial membran. Jika potensial ambang tidak tercapai oleh depolarisasi awal maka tidak terbentuk potensial aksi. Karena itu ambang adalah titik kritis tuntas-atau-gagal(all-or-none). Hanya terdapar dua kemungkinan terhadap proses depolarisasi yaitu membran akan mengalami depolarisasi sampai ke ambang sehingga terbentuk potensial aksi atau ambang tidak tercapai sehingga tidak terbentuk potensial aksi.


g.    Perubahan mencolok pada permeabilitas membran dan perpindahan ion menyebabkan potensial aksi
Bagaimana potensial membran, yang biasanya dipertahankan pada tingkat istirahat yang tetap, kehilangan keseimbangannya sedemikian sehingga terbentuk potensial aksi? Ingatlah bahwa K+ berperan paling besar dalam pembentukan potensial istirahat karena membran saat istirahat jauh lebih permeabel terhadap K+daripada terhadapNa+. Selama potensial aksi, terjadi perubahan mencolok dalam permeabilitas membran terhadap Na+dan K+sehingga ion-ion berpindah cepat mengikuti penurunan gradien konsentrasinya. Perpindahan ion-ion ini membawa arus yang berperan dalam perubahan potensial yang terjadi selama potensial aksi. Potensial aksi terjadi akibat pembukaan dan kemudian penurupan dua tipe saluran spesifik saluran Na+berpintu voltase dan saluran K+berpintu voltase.
h.    SaluranNa+ dan K+ Berpintu Voltase
Saluran membran berpintu voltase terdiri dari protein-protein yang memiliki sejumlah gugus bermuatan. Medan lisuik (potensial) yang mengelilingi saluran ini dapat menyebabkan distorsi pada struktur saluran karena bagian-bagian dari protein saluran yang bermuatan akan tertarik atau tertolak secara elektris oleh muatan yangada di cairan sekitar membran. Tidak seperti mayoritas protein membran, yang tetap stabil meskipun terjadi fluktuasi potensial membran, protein saluran berpintu voltase sangat peka terhadap perubahan voltase. Distorsi kecil bentuk saluran yang ditimbulkan oleh perubahan potensial dapat menyebabkan saluran mengubah konformasinya. Di sini kembali ditemukan contoh bagaimana perubahan ringan pada struktur dapat berpengaruh besar pada fungsi. Saluran Na+berpintu voltase memiliki dua pintu: pintu pengaktifan dan pintu penginaktifan (Gambar 4-7). Pintupengaktifan menjaga saluran dengan membuka dan menutupseperti pintu berengsel. Pintu penginaktifan terdin dan rangkaian asam-asam amino seperri bola dan rantai. Pintu ini terbuka ketika bola tergantung bebas di rantainya dan tertutupketika bola berikatan dengan reseptornya yang terletakdi lubang saluran sehingga saluran tertutup. Kedua pintu harus terbuka agar Na+dapat melalui saluran, dan penutupan salah satu pintu mencegah lewatnya ion ini. Saluran Na+berpintu voltase ini terdapat dalam tiga konformasi berbeda:(l) tertutup tetapi dapat membuka (pintu pengaktifan tertutup, pintu penginaktifan terbuka, Gambar 4-7a); (2) terbuka, atau aktif (keduapintu terbuka, Gambar 4-7b); dan (3) tertutup dan tidak dapat membuka, atau inaktif (pintu pengaktifan terbuka pintu penginaktifan tertutup, Gambar 4-7c). Saluran K+berpintu voltase lebih sederhana. Saluran ini hanya memiliki satu pintu, yang dapat terbuka atau terrurup (Gambar 4-7d dan e). Saluran Na+dan K+ berpintu voltase ini ada selain pompa Na+-K+ dan merupakan saluran bocor bagi ion-ion tersebut.

i.      Perubahan Permeabilitas dan Perpindahan Ion Selama Potensial Aksi
Pada potensial istirahat (-70 mV), semua saluran Na+ dan K+ berpintu voltase tertutup, dengan pintu pengaktifan saluran Na tertutup dan pintu penginaktifannya terbuka; yaitu, saluran Na+ berpintu voltase berada dalam konformasi "tertutup tetapi dapat membuka". Karena itu, pada potensial istirahat Na+ dan K+ tidak dapat melewati saluran berpintu voltase ini. Namun, karena adanya banyak saluran bocor K+ dan sangat sedikit saluran bocor Na+, maka membran dalam keadaan istirahat 50 sampai 75 kali lebih permeabel terhadap K+ daripada terhadap Na+. Ketika suatu membran mulai mengalami depolarisasi menuju ambang akibat suatu kejadian pemicu, pintu pengaktifan sebagian dari saluran Na+berpintu voltase membuka. Kini kedua pintu saluran ini terbuka. Karena gradien konsentrasi dan gradien listrik untuk Na+mendorong perpindahan ion ini masuk ke sel, maka Na+mulai masuk ke dalam sel. Perpindahan Na+yang bermuatan positif menyebabkan membran semakin mengalami depolarisasi, sehingga lebih banyak saluran Na+berpintu voltase terbuka dan lebih banyak Na+yang masuk, demikian seterusnya, dalam suatu siklus umpan-balik positif (Gambar 4-8).
Di potensial ambang, terjadi lonjakan peningkatan permeabilitasNa+, yang disimbolkan dengan PNa, sewaktu membran dengan cepat menjadi 600 kali lebih permeabel terhadap Na+daripada terhadapK+. Masing-masing saluran terbuka atau tertutup dan tidak dapat setengah terbuka. Namun, mekanisme pintu berbagai saluran berpintu voltase ini cepat membuka oleh perbedaan voltase yang ringan. Selama fase awal depolarisasi, semakin banyak saluran Na+yang terbuka seiring dengan semakin menurunnya potensial. Di ambang, cukup banyak pintu Na+yang terbuka untuk menghentikan siklus umpan-balik positif yang menyebabkan pintu Na+ sisanya dengan cepat membuka. Kini permeabilitas Na+mendominasi membran, berbeda dengan dominasi K+ pada potensial istirahat. Karena itu, pada ambangNa+, menyerbu masuk ke dalam sel, dengan cepat melenyapkan negativitas di bagian dalam dan bahkan membuat bagiandalam sel lebih positif daripada bagian luar dalam upaya untuk mendorong potensial membran ke potensial keseimbangan Na+ (yang besarnya +60 mV) (Gambar 4-9). Potensial mencapai +30 mV mendekati potensial keseimbangan Na+. Potensial tidak dapat menjadi lebih positif karena, pada puncak potensial aksi saluran Na+ mulai menutup ke keadaan inaktif, dan PNa+ mulai turun ke nilai istirahatnya.
Apa yang menyebabkan saluran Na+ menutup? Ketika potensial membran mencapai ambang, berlangsung dua proses yang berkaitan erat di pintu masing-masing saluranNa+.Pertama, pintu pengaktifan terpicu untuk membuka dengan cepat sebagat respons terhadap depolarisasi, mengubah saluran ke konformasi terbuka (aktif) (Gambar 4-7b). Yang mengejutkan, pembukaan saluran ini memicu proses penutupan saluran. Perubahan konformasi yang membuka saluran juga memungkinkan inaktivasi bola pintu untuk berikatan dengan reseprornya di lubang saluran sehingga mulut saluran tersumbat secara fisik. Namun, penutupan ini memerlukan waktu sehingga pintu penginaktifan menutup secara lambat dibandingkan dengan kecepatan saluran membuka. Sementara itu, selama 0,5 mdet jeda antara pintu pengaktifan membuka dan sebelum pintu penginaktifan tertutup, kedua pintu terbuka dan Na+menyerbu masuk ke sel melalui saluran-saluran yang terbuka ini, membawa potensial aksi ke puncaknya. Kemudian pintu penginaktifan menutup, permeabilitas membran terhadap Na+ merosot ke nilai istirahatnya yang rendah, dan pemasukan lebih lanjut Na+ ke dalam sel terhenti. Saluran tetap berada dalam konformasi inaktifnya sampai potensial membran pulih ke nilai istirahatnya. Bersamaan dengan inaktivasi saluran Na+, saluran K+ berpintu voltase mulai membuka secara perlahan di puncak potensial aksi. Pembukaan pintu saluran K+ adalah suatu respons berpintu voltase yang tertunda dan terpicu oleh depolarisasi awal ke ambang.
Karena itu, di ambang terjadi tiga proses yang berkaitan dengan potensial aksi: (1) pembukaan cepat pintu aktivasi Na+, yang memungkinkan Na+ masuk, memindahkan potensial dari ambang ke puncaknya yang positif; (2) penutupan lambat pintu inaktivasi Na+, yang menghentikan pemasukan lebih lanjutNa+. Setelah jeda sangat singkat sehingga potensial tidak dapat terus meningkat; dan (3) pembukaan lambat saluran K+, yang seperti akan anda lihat, berperan besar menurunkan potensial dari puncaknyake tingkat istirahat. Potensial membran akan secara bertahap kembali ke istirahat setelah penutupan saluranNa+ karena K+terus bocor keluar tetapi tidak ada lagi Na+ yang masuk. Namun, pemulihan ke tingkat istirahat ini dipercepat oleh pembukaan pintu K+ saat potensial aksi mencapai puncaknya. Pembukaan saluran K+ berpintu voltase sangat meningkatkan permeabilitas K+ (dinamai PK) menjadi sekitar 300 kali daripada PNa+ istirahat.
Peningkatan mencolok PK+ ini menyebabkan K+ menyerbu keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi dan gradien listriknya, membawa muatan positif kembali ke luar. Perhatikan bahwa pada puncak potensial aksi, potensial positif di bagian dalam sel cenderung menolak ionK+yang positifsehingga gradien listrik untuk K+adalah ke arah luar, tidak seperti saat potensial istirahat. Perpindahan keluar K+secara cepat memulihkan potensial istirahat yang negatif.
Sebagai ringkasan, fase naik pada potensial aksi (dari ambang ke +30 mV disebabkan oleh influks Na+ (Na+ masuk ke sel) akibat peningkatan mendadak PNa+di ambang. Fase turun (dari +30 mV ke potensial istirahat) terutama disebabkan oleh efluks K+ (K+ keluar sel) yang ditimbulkan oleh peningkatan mencolok PK+ yang terjadi bersamaan dengan inaktivasi saluran Na+ di puncak potensial aksi.
Dengan pulihnya potensial istirahat, perubahan voltase mengubah saluran Na+ ke konformasi "tertutup tetapi dapat membuka", dengan pintu pengaktifan tertutup dan pintu penginaktifan terbuka. Kini saluran siap kembali untuk berespons terhadap kejadian pemicu lainnya. Saluran K+berpintu voltase yang baru terbuka juga menutup sehingga jumlah saluran bocor K+yang terbuka di membran kembali ke tingkat istirahat. Biasanya, saluran K+berpintu voltase menutup perlahan. Akibat peningkatan permeabilitas terhadap K+yang menetap ini, lebih banyak K+keluar daripada yang diperlukan untuk membawa potensial ke istirahat. Efluks K+yang sedikit berlebihan ini menyebabkan interior sel sesaat lebih negatif daripada potensial istirahat, menyebabkan hiperpolarisasi ikutan.
j.      Pompa Na+-K+ secara bertahap memulihkangradien konsentrasi yang terganggu akibat potensial aksi.
Pada akhir potensial aksi, potensial membran pulih ke kondisi istirahatnya, tetapi distribusi ion telah sedikit berubah. Natrium telah masuk ke sel selama fase naik dan K+dalam jumlah setara, telah keluar sel sewaktu fase turun. Pompa Na+-K+ memulihkan ion-ion ini ke lokasinya semula dalam jangka panjang, tetapi tidak setelah setiap potensial aksi. Proses pemompaan aktif memerlukan waktu jauh lebih lama untuk memulihkanNa+dan K+ke lokasinya semula daripada waktu yang diperlukan oleh fluks pasif ion-ion ini sewaktu potensial aksi. Namun, membran tidak perlu menunggu hingga pompaNa+-K+secara perlahan memulihkangradien konsentrasi sebelum membran dapat mengalamipotensial aksi berikutnya. Sebenarnya, pada potensial aksi perpindahan hanya segelintir (dibandingkan dengan jumlah total) ion Na+danK+sudah menyebabkan perubahan besar dalam potensial. Selama potensial aksi, hanya sekitar 1dari 100.000 ion K+ yang ada di sel keluar, dengan jumlah Na+ setara masuk dari CES. Perpindahan proporsi Na+dan K+yang sangat kecil ini selama satu potensial aksi menyebabkan perubahan potensial dramatik 100 mV (antara -70 dan +30 mV) tetapi hanya perubahan tak berarti pada konsentrasi ion-ion ini di CES dan CIS. Masih jauh lebih banyak K+ yang tetap berada di dalam daripada di luar sel, dan Na+masih merupakan ion ekstrasel predominan. Karena itu, gradien konsentrasi Na+ dan K+ tetap ada, sehingga potensiai aksi dapat kembali terjadi tanpa pompa harus mengejar untuk memulihkan gradien.
Tentu saja jika tidak terdapat pompa maka fluks, bahkan yang kecil, yang menyertai potensial aksi berulang-ulang akhirnya akan menghilangkan gradien konsentrasi sehingga potensial aksi selanjutnya tidak mungkin terjadi. Jika konsentrasi Na+dan K+sama antara CES dan CIS maka perubahan permeabilitas terhadap kedua ion ini tidak akan menyebabkan fluks sehingga tidak terjadi perubahan potensial. Karena itu, pompa Na+-K+sangat penting untuk mempertahankan gradien konsentrasi dalam jangka panjang. Namun, pompa ini tidak harus melaksanakan kerjanya di antara potensial-potensial aksi, dan tidak secara langsung terlibat dalam fluks ion atau perubahan potensial yang terjadi sewaktu porensial aksi.
k.    Periode refrakter memastikan potensial aksi merambat ke satu-arah
Apa yang memastikan bahwa potensial aksi menjalar ke satu arah menjauhi tempat pengaktifan awal? Diketahui bahwa sekali potensial aksi terbentuk (regenerasi) di tempat sekitar yang baru (kini positif di bagian dalamnya) dan daerah awal telah kembali ke potensial istirahat (bagian dalam kembali negatif), kedekatan muatan-muatan yang berlawanan antara kedua daerah ini memudahkan terjadinya aliran arus lokal dalam arah berbalik, serta dalam arah maju ke bagian membran yang belum tereksitasi. Jika aliran arus balik ini mampu membawa daerah yang baru saja mengalami inaktivasi ke ambang maka potensial aksi akan timbul kembali di sini, yang akan menyebar maju maupun mundur, memicu potensial aksi lain, dan demikian seterusnya. Tetapi jika potensial aksi dapat berpindah ke kedua arah, maka situasinya akan kacau, dengan banyak potensial aksi terpantul maju mundur di sepanjang sumbu akson sampai sel saraf akhirnya kelelahan. Untungnya neuron terselamatkan dari nasib buruk potensial bolak-balik ini oleh periode refrakter, yaitu saat potensial aksi baru tidak dapat terjadi oleh proses normal di bagian yang baru saja mengalami potensial aksi.
Periode refrakter memiliki dua komponen: periode refrakter absolut dan periode refabter relatif (Gambar 4-13).Kedua periode ini terjadi akibat perubahan status saluranNa+dan K+berpintu voltase saat dan setelah potensial aksi. Ketika suatu bagian membran akson sedang mengalami potensial aksi, bagian ini tidak dapat menghasilkan potensial aksi baru berapapun kuatnya kejadian pemicu yang merangsangnya. Periode waktu ketika suatu bagian membran yang baru mengalami pengaktifan bersifat refrakter total (berarti "keras kepala', atau tidak responsif) terhadap stimulasi lebih lanjut dikenal sebagai periode refrakter absolut. Setelah saluran Na+berpintu voltase berubah ke bentuk terbuka atau aktifnya, saluran ini tidak lagi dapat dipicu untuk terbuka sebagai respons terhadap kejadian pemicu depolarisasi lain, bagaimanapun kuatnya, sampai potensial istirahat pulih dan saluran kembali berubah ke posisinya semula. Karena itu, periode refrakter mutlak berlangsung sejak dari pembukaan saluran Na+berpintu voltase saat ambang, melewati penutupan pintu penginaktifannya saat puncak potensial aksi, sampai pemulihan ke potensial istirahat saat pintu pengaktifan saluran tertutup dan pintu penginaktifan kembali terbuka; yaitu, sampai saluran berada dalam konformasi "tertutup tetapi mampu membuka". Baru setelah itu membran dapat berespons terhadap depolarisasi lain dengan letupan peningkatan PNa+ untuk memulai potensial aksi baru. Berkat adanya periode refrakter mutlak ini, satu potensial aksi harus sudah selesai sebelum potensial aksi lain dapat dimulai di tempat yang sama. Potensial aksi tidak dapat bertumpang tindih atau ditambahkan di atas potensial lain secara tumpang tindih.
Setelah periode refrakter absolut terjadi periode refrakter relatif, saat potensial aksi kedua dapat diproduksi hanya oleh kejadian pemicu yang jauh lebih kuat daripada yang biasanya diperlukan. Periode refrakter relatif terjadi setelah potensial aksi selesai karena dua efek: inaktivasi saluran Na+berpintu voltase yang berkepanjangan dan lambatnya saluran K+berpintu voltase yang terbuka saat puncak potensial aksi menutup. Selama periode ini, terdapat saluran Na+berpintu tegangan, dengan jumlah lebih sedikit daripada normal, berada dalam posisi siap meletup terbuka oleh kejadian pemicu depolarisasi. Secara bersamaan, K+masih meninggalkan sel melalui salurannya yang lambat menutup setelah hiperpolarisasi ikutan. Masuknya Na+dalam jumlah yang kurang daripada normal, sebagai respons terhadap kejadian pemicu lain dilawan oleh bocornya K+keluar melalui salurannya yang belum tertutup dan menyebabkan hiperpolarisasi persisten, sehingga diperlukan kejadian pemicu depolarisasi yang lebih kuat untuk membawa membran ke ambang saat periode refrakter relatif. Saat tempat semula pulih dari periode refrakternya dan dapat kembali dirangsang oleh aliran arus normal, potensial aksi telah menjalar cepat dalam arah maju dan terlalu jauh sehingga tidak lagi dapat mempengaruhi tempat awal. Karena itu, periode refakter memastikan potensial aksi merambat satu jalur menyusuri akson menjauhi tempat awal pengaktifan.

2.9. Komunikasi antar sinaps (2) (4)
a.       Sinaps dan Integrasi Neuron
Susunan saraf memiliki banyak neuron yang saling berhubungan membentuk jaras konduksi fungsional (functional conducting pathway). Sinaps merupakan tempat dua neuron yang berdekatan satu sama lain dan terjadi komunikasi interneuronal. Potensial aksi di neuron prasinaps menyebabkan pengeluaran neurotransmitter yang berikatan dengan reseptor di neuron pascasinaps.
Sinaps berdasarkan letak:
v  Sinaps aksodendritik
v  Sinaps aksosomatik
v  Sinaps aksoaksonik
Sinaps terbagi menjadi dua yaitu sinaps kimiawi dan sinaps elektrik, yaitu :
v  Sinaps Kimiawi
Permukaan yang berhadapan dengan perluasan akson terminal dan neuron disebut membran prasinaptik dan pascasinaptik yang dipisahkan oleh celah sinaptik. Membran prasinaptik dan pascasinaptik menebal dan sitoplasma meningkat densitasnya. Prasinaptik terminal banyak mengandung vesikel-vesikel prasinaptik yang berisi neurotransmiter. Vesikel-vesikel bergabung dengan membran prasinaptik dan mengeluarkan neurotransmiter ke celah sinaptik melalui melalui proses eksositosis. Mitokondria berperan dalam menyediakan ATP untuk sintesis neurotransmiter baru. Sebagian besar neuron hanya menghasilkan dan melepaskan neurotransmitter utama di semua ujung-ujung sarafnya. Misalnya, asetilkolin digunakan di susunan saraf pusat dan susunan saraf tepi, sedangkan dopamin di substansia nigra. Glisin ditemukan terutama di sinaps-sinaps medulla spinalis.
Neurotransmitter dilepaskan dari ujung saraf ketika datang impuls saraf (potensial aksi). Potensial aksi menyebabkan influks K+ yang menyebabkan vesikel sinaptik bergabung dengan membran prasinaptik. Kemudian neurotransmitter dikeluarkan ke celah sinaps. Ketika berada di celah sinaptik, neurotransmiter mencapai sasarannya dengan meningkatkan atau menurunkan potensial istirahat (resting potential) pada membrane pascasinaptik untuk waktu yang singkat. Protein reseptor pada membran sinaptik mengikat neurotransmitter dan melakukan penyesuaian dengan membuka kanal ion, membangkitkan Excitatory Postsynaptic Potential (EPSP) atau Inhibitory Postsynaptic Potential (IPSP). Eksitasi cepat diketahui menggunakan asetilkolin (nikotinik) dan L-glutamat atau inhibisi menggunakan GABA. Reseptor protein lain mengikat neuromodulator dan mengaktifkan sistem messenger kedua, biasanya melalui transduser molekuler, protein G. Reseptor ini memiliki periode laten yang lebih lama, berlangsung selama beberapa menit atau lebih. Contoh neuromodulator  adalah asetilkolin (muskarinik), serotonin, histamin, neuropeptida, dan adenosin.
Efek eksitasi atau inhibisi pada membran pascasinaps neuron bergantung pada jumlah respons pascasinaps pada sinaps yang berbeda. Jika efek keseluruhannya adalah depolarisasi, neuron akan terstimulasi dan potensial aksi akan dibangkitkan pada segmen inisial akson dan impuls saraf dihantarkan sepanjang akson. Sebaliknya, jika efek keseluruhannya adalah hiperpolarisasi, neuron diinhibisi dan tidak timbul impuls saraf.
Distribusi neurotransmitter bervariasi di berbagai bagian susunan saraf. Misalnya asetilkolin yang ditemukan di taut neuromuskular, ganglia autonom, dan ujung-ujung saraf simpatis. Pada susunan saraf pusat, kolateral neuron motorik sampai sel-sel Renshaw, hippocampus, ascending reticular pathway, serta serabut aferen sistem penglihatan dan pendengaran memiliki neurotransmitter kolinergik. Norepinefrin ditemukan pada ujung-ujung saraf simpatis dan ditemukan dalam konsentrasi tinggi di hipotalamus. Dopamin terdapat dalam konsentrasi tinggi di berbagai bagian di sistem saraf pusat, misalnya di nucleus basalis (ganglia basalis).
Efek neurotransmitter dipengaruhi oleh destruksi atau reabsorpsi neurotransmitter tersebut. Misalnya pada asetilkolin, efeknya dibatasi oleh enzim asetilkolinesterase (AChE) dengan mendegradasi asetilkolin. Namun, efek katekolamin dibatasi dengan kembalinya neurotransmitter ke ujung-ujung saraf prasinaps.
Neuromodulator merupakan zat selain neurotransmitter yang dikeluarkan dari membran prasinaps ke celah sinaps, mampu memodulasi dan memodifikasi aktivitas neuron pascasinaps. Neuromodulator dapat ditemukan bersama dengan neurotransmitter utama di sebuah sinaps tunggal. Biasanya neuromodulator terdapat di dalam vesikel prasinaps yang berbeda. Pelepasan neuromodulator ke celah sinaps tidak memberikan efek langsung pada membran pascasinaps. Neuromodulator berperan menguatkan, memperpanjang, menghambat, atau membatasi efek neurotransmitter utama di membrane pascasinaps. Neuromodulator bekerja melalui sistem messenger kedua yang biasanya melalui transducer molecular, protein G, dan mengubah respons reseptor terhadap neurotransmitter. Di daerah sistem saraf pusat tertentu, berbagai neuron aferen yang berbeda dapat melepaskan beberapa neuromodulator berlainan yang diambil oleh neuron pascasinaps. Susunan tersebut dapat menimbulkan berbagai respon berbeda tergantung pada input dari neuron aferen.
v  Sinaps Elektrik
Sinaps elektrik merupakan gap junction berupa kanal dari sitoplasma neuron prasinaps ke neuron pascasinaps. Neuron-neuron berkomunikasi secara elektrik dan tidak ada transmitter kimia. Ion mengalir dari suatu neuron ke neuron lain melalui kanal-kanal penghubung. Penyebaran aktivitas yang cepat dari satu neuron ke neuron lain menunjukkan sekelompok neuron melakukan suatu fungsi bersama-sama. Sinaps elektrik dapat berjalan dua arah sedangkan sinaps kimiawi hanya satu arah. Sinaps elektrik memiliki respon yang cepat sehingga penting untuk gerakan refleks.
b.      Reseptor Neurotransmitter
Reseptor berupa protein kompleks transmembran yang sebagian menonjol ke lingkungan ekstrasel dan bagian lain yang menonjol ke lingkungan intrasel. Reseptor neurotransmitter menangkap neurotransmitter yang dilepaskan dan menyalurkan pesan yang dibawa neurotransmitter ke intrasel. Reseptor tersebut mempunyai tempat pengikatan yang multipel (binding site).
Klasifikasi reseptor neurotransmitter:
v  Reseptor Ionotropik (ligand-gated ion channel)
Reseptor ionotropik merupakan transmitter-gated channels. Neurotransmitter berikatan dengan reseptor yang menempel pada pintu masuk kanal ion dan menyebabkan kanal ion terbuka.  Reseptor ionotropik mempunyai aksi sangat cepat, waktu pengikatan neurotransmitter pada reseptor dan respon sangat pendek, respon singkat.
v  Reseptor neurotransmitter Kolinergik
Setiap neurotransmitter menimbulkan efek di membran postsinaptik bila berikatan dengan reseptor spesifik. Dua neurotransmitter tidak akan berikatan pada satu reseptor yang sama, meskipun satu neurotransmitter dapat berikatan dengan reseptor yang berbeda. Hal ini disebut sebagai subtipe reseptor.  Asetilkolin bekerja pada dua subtipe reseptor yang berbeda. Satu tipe berada di otot skeletal (nikotinik) dan tipe lain berada di otot jantung (muskarinik).
v  Reseptor Nikotinik Asetilkolin (Ach)
Reseptor ini berperan dalam penyaluran sinyal listrik dari suatu motor neuron ke serat saraf otot. Asetilkolin yang dilepaskan oleh neuron motorik berdifusi ke membran plasma sel miosit dan terkait pada reseptor asetilkolin. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan konformasi reseptor dan akan menyebabkan kanal ion membuka. Pergerakan muatan positif akan mendepolarisasi membran plasma yang menyebabkan kontraksi. Pembukaan kanal hanya berlangsung sebentar meskipun asetilkolin masih menempel pada reseptor (periode desensitisasi). Reseptor nikotinik asetilkolin yang matang terdiri atas 2 α, β, γ, dan δ. Berbeda dari yang ada di otot, struktur reseptor nikotinik asetilkolin di neuron hanya terdiri atas subunit α&β 3β2).
v  Reseptor Muskarinik
Reseptor muskarinik yang terdapat pada otot jantung mempunyai subunit α3β2. Setelah asetilkolin berikatan dengan reseptor muskarinik, timbul sinyal dengan mekanisme berbeda. Misalnya, bila reseptor M1 atau M2 diaktifkan, reseptor ini akan mengalami perubahan konformasi dan berinteraksi dengan protein G yang selanjutnya akan mengaktifkan fosfolipase C. akibatnya terjadi hidrolisis fosfatidilinositol-(4,5)-bifosfate (PIP2) yang menyebabkan peningkatan kadar Ca2+ intrasel. Selanjutnya kation ini akan berinteraksi memacu atau menghambat enzim-enzim, menyebabkan hiperpolarisasi, sekresi, atau kontraksi. Sebaliknya, aktivasi reseptor subtipe M2 pada otot jantung memacu potein G yang menghambat adenilsiklase dan mempertinggi konduksi K+ sehingga denyut jantung dan kontraksi otot jantung menurun.
v  Amino Acid-Gated Channels
Amino Acid-Gated Channels memediasi sebagian besar transmisi cepat sinapsis di CNS (Cerebral Nervous System). Fungsinya lebih terbatas yakni pada sistem sensorik, memori, dan penyakit.
v  Reseptor GABA­­A
Reseptor GABAA mempunyai beberapa tempat pengikatan untuk berbagai neuromodulator. Reseptor ini merupakan target yang baik untuk obat
v  Glutamate-Gated Channels
Reseptor agonis glutamate adalah AMPA (alpha-amino-3-hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionic acid), NMDA (N-methyl D-aspartate), dan Kainate. AMDA dan NMDA berperan dalam transmisi sinaps eksitator yang cepat di otak sedangkan Kainate fungsinya belum diketahui. AMPA-gated channels permeabel terhadap Na+ dan K+ dan tidak permeabel terhadap Ca2+. Sedangkan reseptor NMDA permeabel terhadap Na+ ,K+ dan Ca2+.
v  Reseptor Metabotropik (G protein-coupled)
Metabotropik merupakan reseptor yang berikatan dengan neurotransmitter dan membentuk second messenger sebagai salah satu jalur transduksi sinyal. Neurotransmitter yang berikatan yakni amin biogenic (dopa, dopamine, serotonin, adrenalin, noradrenalin, histamine), hormon peptide (angiotensin II, somastosin, TRH). Ligan yang berikatan bukan dari golongan neurotransmitter adalah eikosanoid. Biasanya reseptor jenis ini merupakan reseptor G-potein-coupled yang mempunyai 3 subunit (α, β, γ) dan memiliki 7 kompartemen.

-          Transduksi sinyal pada reseptor metabotropik G-protein-coupled
Pada keadaan inaktif, subunit α potein G mengikat GDP. Saat diaktivasi oleh reseptor G-protein-coupled, GDP beruba menjadi GTP. Kemudian potein G akan terpecah menjadi Gα (subunit GTP) dan Gβγ yang akan mengaktifkan protein efektor. Secara perlahan subunit Gα akan melepas PO4 dari GTP sehingga berubah menjadi GDP yang menyebabkan aktivitas berhenti.
c.       Taut Neuromuskular pada Otot Rangka
Setiap serabut saraf bermielin yang masuk ke otot rangka membentuk banyak cabang yang jumlahnya tergantung pada ukuran unit motoriknya. Cabang akan berakhir pada otot rangka di tempat yang disebut taut neuromuskular (neuromuscular junction) atau motor-end-plate. Sebagian besar serabut-serabut otot hanya dipersarafi oleh satu motor end-plate. Saat mencapai serabut otot, saraf kehilangan selubung mielin dan pecah menjadi cabang-cabang halus. Masing-masing saraf berakhir sebagai akson yang terbuka dan membentuk unsur neural motor end-plate. Pada motor end-plate, permukaan serabut otot sedikit meninggi serta membentuk unsur otot (sole plate). Elevasi terjadi akibat akumulasi sarkoplasma granular di bawah sarkolema serta banyak inti dan mitokondria.
Akson terbuka yang melebar terletak pada alur permukaan serabut otot yang dibentuk oleh lipatan sarkolema ke dalam (junctional fold = dasar alur dibentuk oleh sarkolema yang membentuk lipatan-lipatan). Junctional fold berfungsi memperluas area permukaan sarkolema yang terletak di dekat akson yang melebar. Di antara membran plasma akson (aksolema atau membran prasinaps) dan membran plasma serabut otot (sarkolema atau membran pascasinaps) terdapat celah sinaps.
Saat potensial aksi mencapai membran prasinaps motor end-plate, kanal voltage-gated Ca2+ terbuka dan Ca2+ masuk ke dalam akson. Hal ini menstimulasi penggabungan vesikel sinaptik dengan membran prasinaps dan menyebabkan pelepasan asetilkolin ke celah sinaps. Kemudian asetilkolin menyebar dan mencapai reseptor Ach tipe nikotinik di membran pascasinaps junctional fold. Setelah pintu kanal terbuka, membran pascasinaps lebih permeabel terhadap Na+ yang mengalir ke dalam sel-sel otot dan terjadi potensial lokal (end-plate potential). Pintu kanal Ach permeabel terhadap K+ yang keluar dari sel namun dalam jumlah yang lebih kecil. Jika end-plate potential cukup besar, kanal voltage-gated untuk Na+ terbuka dan timbul potensial aksi yang menyebar sepanjang permukaan sarkolema. Gelombang depolarisasi diteruskan ke serabut otot oleh sistem tubulus T menuju miofibril yang kontraktil. Hal ini menyebabkan pelepasan Ca2+ dari retikulum sarkoplasma yang akan menimbulkan kontraksi otot.
2.10. Proses terjadinya transmisi impuls pada sistem saraf (2)
Transmisi impuls pada system saraf adalah penghantaran sinyal listrik pada system saraf. Sinyal listrik dihasilkan oleh perubahan pada potensial membrane yaitu perubaha pada perpindahan ion melintasi membrane plasma. Sebagai contoh, jika aliran masuk netti ion bermuatan positif menngkat dibangdingkan dengan keadan istirhat maka membrane mengalami depolarisasi, sebaliknya, jika lairan keluar netto ion bermuatan positif meningkat dibandingkan dengan keadaan istirahat maka membrane mengalami hiperpolarisasi
Perubahan pada perpindahan ion, sebaliknya, ditimbulkan oleh perubahan pada permeabilitas membrane sebagai respon terhadap berbagai kejadian pemicu. Bergantung pada jeis sinyal listriknya. Kejadian pemicu dapat berupa (1) perubahan medan listrik di sekitar membrane peka rangsang (2) interaksi suatu perantara kimiawi dengan reseptor permukaan tertentu di membrane sel saraf dan otot (3) rangsangan, misalnya gelombang suara yang merangsang sel-sel saraf khusu di telinga (4) perubahan spontan potensial akibat ketidak seimbanga inheren siklus bocor pompa.
Terdapat dua bentuk dasar sinyal listrik: (l) potensial berjenjang, yang berfungsi sebagai sinyal jarak-pendek; dan (2) potensial aksi, yang menjadi sinyal jarak-jauh.
Potensial berjenjang (potensial bertingkat) adalah perubahan lokal potensial membran yang terjadi dalam berbagai derajat atau tingkat kekuatan. Sebagai contoh, potensial membran dapat berubah dari -70 menjadi -60 mV (suatu potensial berjenjang 10 mV) atau dari -70 menjadi -50 mV (potensial berjenjang 20 mV).
Potensial berjenjang biasanya dihasilkan oleh kejadian pemicu tertentu yang menyebabkan saluran ion berpintu terbuka di bagian tertentu membran sel peka rangsang. Pada sebagian besar kasus, saluran ini adalah saluran berpintu kimia atau berpintu mekanis. Yang biasanya terjadi adalah terbukanya saluran berpintu Na. yang menyebabkan masuknya Na- ke dalam sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi dan listriknya. Depolarisasi yang terjadi potensial berjenjang-terbatas di regio kecil khusus dari keseluruhan membran plasma.
Besar potensial berjenjang inisial ini (yaitu, perbedaan antara potensial baru dan potensial istirahat) berkaitan dengan kekuatan kejadian pemicu: Semakin buat hejadian pemicu, semahin banyak saluran berpintu ydng terbuka, semakin banyak maatan positif yang masuk ke sel, dan semahin besar potensial berjenjang terdepolarisasi di tempat inisial. Juga semakin lama durasi kejadian pemicu, semabin lama durasi potensial berjenjang
Ketika suatu potensial berjenjang terjadi di membran sebuah sel saraf atau otot maka bagian membran lainnya masih berada dalam potensial istirahat. Daerah yang mengalami depo larisasi remporal disebut daerah aknf. bahwa di bagian dalam sel, daerah aktif relatif lebih positif daripada daerah inabtif sekitar yang masih berada dalam potensial istirahat. Di luar sel, daerah aktif relatif kurang positif dibandingkan dengan daerah sekitar. Karena perbedaan potensial ini maka muaran listrik, dalam hal ini dibawa oleh ion, mengalir pasif antara daerah aktif dan daerah istirahat sekitar baik di sisi dalam maupun luar membran. Setiap aliran muatan listrik dinamai arus. Berdasarkan perjanjian, arah aliran arus selalu disebutkan berdasarkan arah aliran muatan positif. Di bagian da.lam, muatan positif mengalir melalui CIS menjauhi daerah aktif depolarisasi yang relatif lebih positif ke arah daerah istirahat di sekitar yang lebih negatif. Di luar sel, muaran positif mengalir melalui CES dari daerah inaktif di sekitar yang lebih positifke arah daerah aktifyang relatiflebih negatif Perpindahan ion (yaitu arus listrik) berlangsung di sepanjang membran di antara daerah-daerah yang berdekatan di sisi membran yang sama. Aliran ini berbeda dengan aliran ion menembus membrane melalui saluran ion
Akibat arus lokal antara daerah depoiarisasr aktif dan daerah inaktif di sekitarnya maka terjadi perubahan potensial di daerah yang semula inaktif. Muatan positif mengalir ke daerah sekitar di sisi dalam, sementara secara bersamaan, muaran positif mengalir keluar daerah ini di sisi luar. Karena itu, di daerah sekitar bagian dalam menjadi lebih positif (atau kurang negatif), dan bagian luar kurang positif (atau lebih negatif) daripada sebelumnya (Gambar 4-3c). Dengan kata lain, daerah sekitar yang semula inaktif telah mengalami depolarisasi sehingga potensial berjenjang telah menyebar. Potensial daerah ini kini berbeda dari daerah inaktif di sebelahnya di sisi lain, memicu aliran arus lebih lanjut ke daerah baru ini, demikian seterusnya. Dengan cara ini, arus menyebar di kedua arah menjauhi tempat awal perubahan potensial.
Besar arus yang mengalir antara dua daerah bergantung pada perbedaan potensial antar daerah dan pada resistensi bahan tempar arus mengalir. Resistensi adalah hambatan rerhadap perpindahan muatan listrik. Semakin besar beda potensial, semakin besar aliran arus; dan semakin rendah resistensi, semakin besar aliran listrik. Konduktor memiliki resistensi rendah sehingga aliran arus tidak banyak mendapat hambatan. Kawat (kabel) Iistrik serta CIS dan CES adalah konduktor yang baik sehingga arus mudah mengalir melalui mereka. Insulator memiliki resistensi tinggi dan sangat menghambat perpindahan muatan. Plastik yang membungkus kawat listrik memiliki resistensi tinggi, demikian juga lemak tubuh. Karena itu, arus tidak mengalir menembus lapisganda lemak membran plasma. Arus, yang dibawa oleh ion, dapat menembus membran hanya melalui saluran ion.
Aliran arus pasif antara daerah aktif dan daerah sekitar yang inaktif serupa dengan mengalirnya arus listrik di kawat listrik. Kita mengetahui dari pengalaman bahwa arus dapat bocor dari kawat listrik yang menimbulkan bahaya kecuali jika kawat dibungkus oleh bahan insulator misalnya plastik. (Orang tersengat listrik jika mereka menyentuh kawat listrik telanjang). Demikian juga, arus melenyap menembus membrane plasma karena ion-ion pembawa muatan bocor melalui bagian-bagian membran yang "tidak berinsulasi", yaitu melalui saluran terbuka. Akibat berkurangnya arus ini maka kekuatan arus lokal secara progresif melemah seiring dengan bertambahnya jarak dari tempat asal Karena itu, kekuatan potensial berjenjang terus menurun semakin jauh potensial ini merambat dari daerah aktif asal. Cara lain untuk menyatakannya adalah bahwa penyebaran potensial berjenjang  bersifat decremental berkurang bertahap. besar perubahan potensial awalnya adalah 15 mV (perubahan dari -70 menjadi -55 mV), yang berkurang sewaktu potensial bergerak di sepanjang membran hingga menjadi 10 mV (dari -70 menjadi -60 mV) dan terus menurun semakin jauh dari tempat aktif awal, sampai tidak lagi terdapat perubahan potensial. Dengan cara ini, arus lokal ini mereda hingga lenyap beberapa millimeter dari tempat awal perubahan potensial dan karenanya dapat berfungsi sebagai sinyal hanya untuk jarak yang sangar pendek
Meskipun potensial berjenjang memiliki jangkauan sinyal yang terbatas namun potensial ini sangat penting bagi fungsi tubuh. Berikut ini adalah potensial berjenjang: potensial pascasinaps, potensial reseptor, potensial end-plate, potensial memacu (pacemaker), dan potensial gelombang hmbat. Istilah-istilah ini mungkin asing bagi anda sekarang, tetapi anda akan terbiasa dengan mereka seiring dengan pembahasan lanjutan kita tentang fisiologi saraf dan otot. Kami menyertakan daflar ini di sini karena hanya di sinilah potensial berjenjang akan disatukan. Untuk saat ini cukup dikatakan bahwa umumnya sel peka rangsang dapat menghasilkan satu dari berbagai jenis potensial berjenjang sebagai respons terhadap suatu kejadian pemicu. Sebaliknya, potensial berjenjang dapat memicu patensial aksi, yaitu sinyal jarak-jauh, di sel peka rangsang.
Potensial aksi adalah perubahan potensial membran yang berlangsung singkat, cepat, dan besar (100 m.V) saat potensial sebenarnya berbalik, sehingga bagian dalam sel peka rangsang secara sesaat menjadi lebih positif daripada bagian luar. Seperti potensial berjenjang, satu potensial aksi hanya melibatkan sebagian kecil dari keseluruhan membran sel peka rangsang. Namun, tidak seperti potensial berjenjang, potensial aksi dihantarkan, atau menjalar, ke seluruh membrane secara nondecremental; yaitu, potensial ini tidak berkurang kekuatannya ketika menyebar dari tempat asalnya ke seluruh bagian membran lain. Karena itu, potensiai aksi dapat berfungsi sebagai sinyal jarak jauh yang"taat". Pikirkanlah tentang sel saraf yang menyebabkan kontraksi sel-sel otot di jempol kaki Jika anda ingin menggoyangkan jempol kaki anda maka perintah dikirim dari otak turun ke medula spinalis untuk memulai potensial aksi di pangkal sel sarafini, yang terletak di medula spinaiis. Potensial alai ini berjalan tanpa berkurang menelusuri akson panjang sel saraf yang berjalan di sepanjang tungkai anda untuk berakhir di sel-sel oror jempol kaki anda. Sinyal tidak melemah atau lenyap namun tetap dipertahankan dengan kekuatan penuh dari awal hingga akhir.
Marilah kita melihat perubahan pada potensial seiama suatu potensial aksi, serta permeabilitas dan perpindahan ion yang menjadi penyebab terjadinya perubahan potensial ini, sebelum kita mengalihkan perhatian kepada cara,cara yang digunakan oleh potensial aksi menyebar ke seluruh membrane sel tanpa berkurang.
Jika kekuatannya memadai maka perubahan potensial berjenjang dapat memicu potensial aksi sebelum perubahan berjenjang tersebut hilang. (Nanti anda akan menemukan caracara bagaimana inisiasi ini dilakukan untuk berbagai jenis potensial berjenjang). Biasanya bagian membran peka rangsang tempat potensial berjenjang dihasilkan sebagai respons terhadap suatu kejadian pemicu tidak mengalami potensial aksi. Namun, potensial berjenjang, melalui cara listrik atau kimia, menimbulkan depolarisasi bagian-bagian membrane sekitar tempat potensial aksi dapat terbentuk. Untuk mempermudah pembahasan, kita akan meloncat dari kejadian pemicu ke depolarisasi bagian membran yang mengalami potensial aksi, tanpa membahas keterlibatan potensial berjenjang.
Untuk memulai suatu potensial aksi, kejadian pemicu menyebabkan membran mengalami depolarisasi dari potensial istirahat -70 mY (Gambar 4-6). Depolarisasi berjalan lambat pada awalnya, sampai tercapai suatu ambang kritis yang disebut potensial ambang, biasanya antara -50 dan -55 mV. Di potensial ambang ini timbul depolarisasi yang eksplosif. Rekaman potensial pada saat ini memperlihatkan defleksi cepat ke atas hingga +30 mV karena potensial dengan cepat membalikkan dirinya sehingga bagian dalam sel menjadi positif dibandingkan dengan bagian luarnya. Membran kemudian mengalami repolarisasi sama ceparnya, kembali ke potensial istirahat. G aya, gaya yane menyebabkan repolarisasi membran sering mendorong potensial terlalu jauh, menyebabkan hiperpolarisasi ikutan singkat saat bagian dalam membran menjadi lebih negatif daripada normal (misalnya -80 m\) sebelum akhirnya potensial istirahat pulih.
Keseluruhan perubahan cepat potensial membran dari ambang ke puncak dan kemudian kembali ke istirahat disebut potensiaI aksi. T idak seperri durasi potensial berjenjang yang bervariasi, durasi suatu potensial aksi selalu sama di satu sel peka rangsang. Di sel saraf, potensial aksi berlangsung hanya selama 1 mdet (0,001 detik). Potensial ini berlangsung lebih lama di otot, dengan durasi bergantung pada jenis otot. Bagian potensial aksi ketika potensial berbalik (antara 0 dan +30 m\) disebut oaershoot. Potensial aksi sering disebut sebagai sp ibe, karena gambaran rekamann ya yang seperri duri. Selain itu, juga dikatakan bahwa membran peka rangsang yang terpicu untuk mengalami potensial aksi menghasilkan lepas muatan (fire). Karena itu, istilah potensial aksi, spike, dan lepas mantan mengacu kepada fenomena pembalikan cepat potensial membran. Jika potensial ambang tidak tercapai oleh depolarisasi awal maka tidak terbentuk potensial aksi. Karena itu ambang adalah titik kritis tuntas-atau-gagal (all-or-none). Hanya terdapat dua kemungkinan terhadap proses depoiarisasi yaitu membran akan mengalami depolarisasi sampai ke ambang sehingga terbentuk porensial aksi atau ambang tidak tercapai sehingga tidak terbentuk potensial aksi.

2.11. Jelaskan tentang LMN dan UMN (1) (8)
Upper motor neuron (UMN) adalah neuron-neuron motorik yang berasal dari korteks motorik serebri atau batang otak yang seluruhnya (dengan serat saraf-sarafnya ada didalam sistem saraf pusat.
Lower motor neuron (LMN) adalah neuron-neuron motorik yang berasal dari sistem saraf pusat tetapi serat-serat sarafnya keluar dari sistem saraf pusat dan membentuk sistem saraf tepi dan berakhir di otot rangka.
Gangguan fungsi UMN maupun LMN menyebabkan kelumpuhan otot rangka, tetapi sifat kelumpuhan UMN berbeda dengan sifat kelumpuhan UMN. Kerusakan LMN menimbulkan kelumpuhan otot yang 'lemas', ketegangan otot (tonus) rendah dan sukar untuk merangsang refleks otot rangka (hiporefleksia). Pada kerusakan UMN, otot lumpuh (paralisa/paresa) dan kaku (rigid), ketegangan otot tinggi (hipertonus) dan mudahditimbulkan refleks otot rangka (hiperrefleksia). Berkas UMN bagian medial, dibatang otak akan saling menyilang. Sedangkan UMN bagian Internal tetap berjalan pada sisi yang sama sampai berkaslateral ini tiba di medula spinalis. Di segmen medula spinalis tempat berkas bersinaps dengan neuron LMN. Berkas tersebut akan menyilang. Dengan demikian seluruh impuls motorik otot rangka akan menyilang, sehingga kerusakan UMN diatas batang otak akan menimbulkan kelumpuhan pada otot-otot sisi yang berlawanan.
Salah satu fungsi medula spinalis sebagai sistem saraf pusat adalah sebagai pusat refleks. Fungsi tersebut di selenggarakan oleh substansia grissea medula spinalis. Refleks adalah jawaban individu terhadap rangsang, melindungi tubuh terhadap pelbagai perubahan yang terjadi baik di lingkungan internal maupun di lingkungan eksternal. Kegiatan refleks terjadi melalui suatu jalur tertentu yang disebut lengkung refleks.
Fungsi medula spinalis adalah sebagai berikut :
a. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu di kornu motorik atau kornu ventralis.
b. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai
c. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum
d. Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.

2.12. Jenis-jenis cedera kepala (9) (10)
            Menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan Doenges (1999) cedera kepala adalah cedera kepala terbuka dan tertutup yang terjadi karena, fraktur tengkorak, kombusio gegar serebri, kontusio memar, leserasi dan perdarahan serebral subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang otak. Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.1 Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: kombusio gagar otak, kontusio memar, dan laserasi.
Selain itu, trauma kepala diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale ( GCS ) nya, yaitu;
a. Ringan
v GCS = 13 – 15
v Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
v Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Sedang
v GCS = 9 – 12
v Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
v Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
v GCS = 3 – 8
v Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
v Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
2.13. Jenis-jenis trauma pada sistem saraf pusat (11)
Cedera traumatik masih menjadi penyebab utama kematian dan cacat jangka panjang. Sebagian besar cedera kepala yang fatal atau menyebabkan cacat disebabkan oleh trauma tumpul yang berkaitan dengan kecelakaan lalulintas, jatuh dan serangan kriminal, degan subset penyebab penting lainnya adalah penetrating missile wounds (luka tembak). Cedera traumatik ke kepala akibat gaya tumpul menyebabkan terjadinya tiga kelompok kelainan penting : hematom epidural, hematom subdural, dan cedera parenkim.
a.       Hematom epidural
Hematom epidural paling sering disebabkan oleh ruptur sebuah arteri meningen, biasanya berkaitan dengan fraktur tengkorak. Tempat tersering robeknya arteri ini adalah cabang arteri meningea media sewaktu pembuluh ini berjalan antara dura mater dan pars skuamosis ossis temporalis. Arteri ini melekat erat ke periosteum tulag temporalis sehingga mudah robek jika terjadi fraktur di tempat ini. Hematom epidural menekan dura di bawahnya dan menggepengkan puncak girus otak di bawahnya. Jika tidak segera di keluarkan, hematom ini dapat menyebabkan herniasi unkus-girus dan tonsil serebelum, penekanan batang otak dan kematian. Sejumlah pasien dengan hematom epidural mengalami interval lusid segera setelah cedera diikuti oleh penurunan progresif kesadaran. Meskipun paling tidak sebagian perburukan tipe lambat ini dioerkirakan berkaitan dengan pembesaran progresif hematom, pada sebagian kasus pembengkakan parenkim otak yang terletak dibawah hematomjuga berperan. Karena pada sebagian besar kasus perdarahannya berasal dari arteri, hematom epidural kranial cepat membesar sehingga intervensi bedah perlu segera di lakukan.
b.      Hematom subdural
Hematom subdural adalah kumpulan darah antara permukaan dalam dura mater dan arachnoid. Pada sebagian besar kasus, hematom ini disebabkan oleh kerusakan vena penghubung yang berjalan dari permukaan otak ke sinus dura. Setiap keadaan yang berkaitan dengan perubahan mendadak dalam kecepatan kepala dapat menyebabkan robeknya vena penghubung yang halus ini sewaktu vena tersebut menembus dura mater diatasnya. Hal ini menyebabkan perdarahan ke dalam ruang subdural. Hematom subdural paling sering terjadi di atas konveksitas serebrum dan bervariasi dari perdarahan kecil hingga lesi masif yang menimbulkan efek massa substansial. Hematom ini secara tradisional di klasifikasikan sebagai akut atau kronis, masing-masing bergantung pada apakah isi hematom terutama terdiri atas bekuan darah atau bekuan fdarah yang mencair.
Hematom subdural akut biasanya berkaitan dengan riwayat trauma yang jelas. Hematom ini mungkin unilateral atau bilateral dan sering di sertai oleh lesi traumatik lain. Hematom subdural akut mengandung bekuan darah paling sering di regio frontoparietal. Berbeda dengan datarnya konveksitas yang ditemukan pada hematom epidural, kontur girus biasanya tidak mengalami perubahan pada kasus hematom subdural akut karena tekanan dari hematom tersebar secara cukup merata di dalam sulkus dan di atas celah-celah girus. Seiring dengan waktu, hematom nonfatal yang tidak diobati secara bertahap mengalami pencairan dan dibatasi dari otak dibawahnya oleh suatu neomembran reaktif untuk menjadi hematom subdural kronis.
Pada hematom subdural kronis, riwayat trauma umumnya tidak terlalu jelas dibandingkan dengan hematom subdural akut. Hematom ini sering berkaitan dengan atrofi otak, yang pada akhirnya meningkatkan mobilitas otak di dalam kubah tengkorak sehingga vena penghubung menjadi semakin mudah robek. Hematom ini sering bilateral. Hematom subdural kronis terdiri atas darah yang mencair atau cairan kekuningan yang terpisah dari permukaan dalam dura mater dan otak di bawahnya oleh neomembran yang terdiri atas jaringan granulasi dan kolage matur yang berasal dari dura mater.
c.       Cedera parenkim traumatik
Cedera traumatik pada parenkim otak terdiri atas komosio, kontusio dan laserasi, cedera akson difus, perdarahan intraserebral traumatik, pembengkakan otak generalisata.
Kata komosio merujuk pada penurunan kesadaran dan paralisis luas yang transien, kadang-kadang disertai oleh kejang, diikuti oleh pemulihan dalam waktu beberapa jam hingga hari.
Cedera akson difus merupakan penyebab sebagian besar kasus demensia pascatrauma dan bersama dengan cedera hipoksik-iskemik, menjadi penyebab sebagian besar kasus keadaan vegetatif persiten. Lesi pada cedera akson difus terjadi akibat gaya deselerasi atau akselerasi mendadak yang cukup besar untuk meregangkan atau merobek prosesus sel saraf di dalam substansia alba serebrum.
Kontusio adalah perdarahan di parenkim otak superfisial akibat trauma tumpul. Kelainan ini dapat terjadi di bagian mana saja tempat otak berkontak dengan tengkorak atau refleksi dura yang kaku, tetapi paling sering terjadi di kutub frontalis, permukaan orbital lobus frontalis, kutub temporalis, kutub oksipitalis dan serebelum posterior. Tengkorak di atasnya mungkin mengalami fraktur, tetapi umumnya utuh. Jika suatu gaya tumpul mengenai kepala yang tidak bergerak, terutama dengan benda yang cukup kecil, kontusio paling menonjol dibagian otak yang terletak tepat di bawah titik tumbukan, suatu konfigurasi yang disebut coup contusion. Sebaliknya jika kepala bertumbukan dengan permukaan keras yang lebih lebar, seperti kasus jatuh membentur lantai, kontusio permukaan cenderung terbentuk didaerah otak yang terletak menjauhi titik tumbukan. Jatuh yang menyebabkan daerah oksipital kepala membentur lantai, serng menyebabkan kontusio dikutub frontalis dan temporalis. Pola cedera ini disebut sebagai contrecoup contusion.
Perdarahan intra serebral traumatik biasanya multipel dan paling sering terjadi di lobus frontalis, temporalis, dan substansia grisea dalam. Perdarahan ini dapat terjadi pada kontusio, serta jauh di dalam otak.
Pembengkakan otak dapat terjadi sebagai suatu manifestasi tersendiri cedera traumatik atau dapat terbentuk bersama dengan lesi traumatik lain. Pembengkakan ini dapat bersifat lokal atau generalisata.
2.14. Patofisiologi dari trauma pada sistem saraf (12)
            Patofisiologi trauma pada sistem saraf tergantung jenis traumanya. Pada umumnya trauma sistem saraf menyebabkan herniasi pada berbagai tempat yang rentan terkena herniasi.
            Herniasi pada tempat tertentu menyebabkan gangguan fungsi pada tempat itu. Contohnya herniasi transtentorial menyebabkan pola pernafasan cyehne-stoke karena menekan pusat pernafasan batang otak.
2.15. Pemeriksaan pada trauma sistem saraf (1) (13)
Pemeriksaan pada trauma sistem saraf beberapa di antaranya dapat dilakukan dengan:
a.       Foto Polos
Merupakan pemeriksaan dengan radiograf tengkorak dan tulang belakang yang saat ini kegunaannya terbatas pada pemeriksaan penunjang trauma akut, yaitu untuk mendeteksi fraktur.
b.      CT Scan
CT Scan (Computed Tomography Scanner) adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mendapatkan gambaran dari berbagai sudut kecil dari tulang tengkorak dan otak. CT-Scan merupakan alat penunjang diagnosa yang mempunyai aplikasi yang universal utk pemeriksaan seluruh organ tubuh, seperti sususan saraf pusat, otot dan tulang, tenggorokan, rongga perut. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk memperjelas adanya dugaan yang kuat antara suatu kelainan, seperti:
-          Gambaran lesi dari tumor, hematoma dan abses.
-          Perubahan vaskuler : malformasi, naik turunnya vaskularisasi dan infark.
-          Brain contusion.
-          Brain atrofi.
-          Hydrocephalus.
-          Inflamasi.
c.       MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah metode diagnostik dengan pemindaian yang menggunakan pemaparan medan magnet dan frekuensi radio gelombang elektromagnetik pada atom-atom hidrogen di dalam tubuh.
MRI dapat digunakan pada semua bagian tubuh dan sangat berguna untuk mengevaluasi kondisi neurologis, gangguan otot dan sendi, tumor, dan kelainan pada jantung dan pembuluh darah. Kelainan pada sistem saraf pusat pada umumnya dapat diidentifikasi lebih baik dengan MRI dibandingkan dengan computed tomography. Karena tidak memiliki bahaya radiasi, MRI merupakan pilihan untuk pemeriksaan pada bayi baru lahir yang masih rentan. Kemampuan untuk mengambil gambar tidak hanya secara horizontal tetapi juga dari berbagai sudut dan arah memungkinkan MRI untuk melihat tumor panggul dan kelainan panggul lainnya dengan lebih jelas.
d.      Mielografi
Ruang Subaraknoid dapat dipelajari secara radiografik dengan menyuntik zat kontras kedalam subaraknoid melalui pungsi lumbal. Minyak beryodium menunjukkan hasil yang memuaskan. Tekhnik ini disebut mielografi. Jika pasien duduk dalam posisi tegak, minyak akan turun sampai batas bawah ruang subaraknoid setinggi batas bawah vertebrae sacralis II. Dengan meletakkan pasien pada meja yang miring, minyak akan turun perlahan-lahan ke tingkat columna vertebralis yang lebih tinggi.
Pada mielogram yang normal terlihat adanya proyeksi-proyeksi ke lateral dengan interval yang teratur pada tingkat ruang intervertebra. Hal ini disebabkan oleh zat yang bersifat opak (opaque medium) mengisi perluasan ruang subaraknoid kelateral disekeliling setiap saraf spinal. Adanya tumor atau prolapsus discus intervertebralis dapat menyumbat gerakan minyak dari satu tempat ke tempat yang lain saat pasien dimiringkan. Dengan kemajuan teknologi dalam penggunaan CT-scan dan MRI, saat ini sudah sangat jarang dibutuhkan prosedur yang sulit seperti mielografi untuk menegakkan diagnosis.

2.16. Jenis paralisis atau kelumpuhan (1)
Tipe-tipe paralisis
Paralisis
Definisi
Penyebab
Monoplegia
Paralisis satu ekstremitas
Kerusakan terisolir pada sistem saraf pusat atau sistem saraf perifer
Diplegia
Paralisis kedua ekstremitas atas atau kedua ekstremitas bawah
Kerusakan terisolir pada otak
Hemiplegia
Paralisis ekstremitas atas dan bawah pada sisi homolateral tubuh
Lesi pada korteks motorik dan traktus kortikospinalis dalam pars posterior kapsula interna disisi kontralateral paralisis
Paraplegia
Paralisis kedua ekstremitas bawah
Cedera pada bagian bawah medula spinalis
Kuadriplegia atau tetraplegia
Paralisis ke empat ekstremitas
Cedera pada bagian atas medula spinalis (tingkat bahu di atas tingkat nervus motoik ekstremitas atas yang meninggalkan medula spinalis



2.17. Jenis lesi yang terjadi pada sistem saraf (1)
a.       Gangguan pada sistem saraf motorik
v  Lesi upper motor neuron (UMN), terbagi menjadi dua, yaitu :
-          Lesi traktus kortikospinalis (traktus piramidal), gejala klinisnya adalah sebagi berikut :
1.      Tes Babinsky positif. Ingat bahwa tanda babinsky secara normal terdapat selama setahun pertama kehidupan, karena tractus kortikospinal tidak bermielin sampai akhir tahun kehidupan pertama.
2.      Arefleksia abdominalis superficial. Reflek ini tergantung pada integritas tractus, yang menimbulkan eksitasi tonik pada neuron internunsial.
3.      Arefleksia cremaster.
4.      Kehilangan penampilan gerakan volunter terlatih yang halus.
-          Lesi traktus desendens selain traktus kortikospinalis (traktus ekstrapiramidal), dengan gejala klinis sebagai berikut :
1.      Paralisa parah dengan sedikit atau tanpa adanya atrofi otot
2.      Spastik atau hipertonisasi otot. anggota gerak tubuh bawah dalam ekstensi dan anggota gerak atas dipertahankan dalam keadaan fleksi
3.      Peningkatan reflek otot serta klonus dapat ditemukan pada fleksor jari tangan,muskulus quadrisep femoris dan otot paha.
4.      Reaksi pisau lipat. Mengadakan gerakan pasif suatu sendi terdapat tahanan oleh adanya spastisitas otot.
v  Lesi lower motor neuron (LMN)
1.      Paralisis flaksid otot yang disuplai.
2.      Atrofi otot yang disuplai.
3.      Kehilangan reflek otot yang disuplai.
4.      Vasikulasi muskuler. Keadaan ini merupakan twitching otot yang hanya terlihat jika terdapat kerusakan yang lambat dari sel.
5.      Kontraktur muskuler. Ini adalah pemendekan otot yang mengalami paralise, lebih sering terjadi pada otot antagonis, dimana kerjanya tidak lagi dilawan oleh otot yang mengalami paralise.
6.      Reaksi degenerasi. Dalam keadaan normal otot yang diinervasi memberikan respon terhadap stimulus dengan cara pemberian arus paradiks atau terputus-putus dan adanya arus galvanis atau langsung. dalam hal ini jika LMN dipotong otot tidak lagi memberikan respon terhadap stimulus listrik terputus setelah kejadian tersebut,walaupun tetap memberikan respon terhadap arus langsung setelah arus tersebut hilang. (7)
b.      Gangguan sistem sensorik
v  Sindrom Pemotongan Jaras Sensorik. Sindrom ini bervariasi tergantung dari lokasi kerusakan sepanjang perjalanan jaras sensorik.
1.      Lesi kortikal atau subkortikal dalam daerah sensorik motorik lengan atau tungkai menyebabkan parestesia dan mati rasa pada extemitas sisi yang berlawanan.
2.      Lesi jaras sensorik tepat di bawah talamus menyebabkan hilangnya semua kualitas sensorik separuh tubuh kontralateral.
3.      Jaras sensorik lain selain nyeri dan suhu mengalami kerusakan terjadi hipestesia pada sisi kontralateral wajah dan tubuh.
4.      Jika kerusakan terbatas pada lemnikus trigeminalis dan spinotalamikus lateral pada pusat otak, tidak ditemukan sensasi nyeri dan suhu pada wajah dan tubuh kontralateral, semua kualitas sensorik lainnya tidak terganggu.
5.      Keterlibatan lemniskus medialis dan traktus spinotalamikus anterior, menghilangkan semua kualitas sensorik pada bagian kontralateral tubuh kecuali sensasi nyeri dan suhu.
6.      Kerusakan nukleus dan traktus trigeminal spinalis dan traktus spinotalamikus lateral, menyebabkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu pada wajah ipsilateral dan tubuh kontralateral.
7.      Kerusakan funikuli posterior menyebabkan menghilangnya sensasi sikap, getaran, diskriminasi dan sensasi lain yang berhubungan dengan ataksia ipsilateral.
8.      Lesi pada kornu posterior , menghilangkan sensasi suhu dan nyeri ipsilateral semua kualitas lain tetap utuh ( gangguan disosiasi sensibilitas).
9.      Cedera beberapa radiks posterior yang berdekatan, diikuti oleh perestesia radikular dan nyeri,dan juga penurunan atau hilangnya semua kualitas sensorik pada masing-masing segmen tubuh. Jika radiks yang cedera mesuplai saraf dari lengan atau tungkai,ditemukan hipotonia atau atonia, arefleksia dan ataksia.

v  Sindroma  Cedera Funikulus Posterior
1.      Hilangnya sikap dan sensasi lokomotor dengan  mata tertutup pasien tidak dapat mengetahui posisi anggota tubuhnya
2.      Astereognosis: dengan mata tertutup, pasien tidak dapat mengenal dan menggambarkan bentuk dan bahan dari objek yang dirabanya.
3.      Hilangnya diskriminasi dua titik
4.      Hilangnya sensasi getaran: pasien tidak dapat merasakan getaran dari garpu tala yang ditempelkan pada tulang.
2.18. Perkiraan letak lesi sehingga terjadi kelumpuhan pada ekstremitas pada Tn. Raffea (1)
a.       Korteks Motorik
          Lesi pada korteks motorik primer salah satu hemispherium menimbulkan paralisis ekstremitas kontralateral, serta gerakan-gerakan tangkas dan terampil mengalami kerusakan yang lebih berat. Kerusakan area motorik primer (area 4) menimbulkan paralisis yang lebih parah daripada destruksi area motorik sekunder (area 6).Destruksi pada kedua area tersebut menyebabkan paralisis total kontralateral.Lesi yang hanya terdapat pada area motorik sekunder menimbulkan kesulitan melakukan gerakan-gerakan terampil dengan sedikit penurunan kekuatan. Kejang epilepsi Jacksonian disebakan lesi iritatif di area motorik primer (area 4). Kejang-kejang dimulai dari bagian tubuh yang dipresentasikan di area motorik primer yang teriritasi. Gerakan konvulsi dapat hanya terbatas pada satu bagian tubuh-seperti wajah atau kaki-atau dapat menyebar ke area lain, bergantung pada penyebara iritasi area motorik primer.
b.      Spatisitas otot
          Lesi yang terbatas pada area motorik primer (area 4) mengakibatkan sedikit perubahan tonus otot. Akan tetapi, lesi yang lebih besar yang mengenai area motorik primer dan sekunder (4 dan 6)-yang lebih sering terjadi-menimbulkan spasme otot.Penjelasannya adalah area motorik primer yang merupakan tempat berasalnya tractus corticospinalis dan corticonuclearis sertas kortes motorik sekunder yang merupakan tempat munculnya tractus-tractus extrapyramidalis yang berjalan menuju ganglia basalis dan formatio reticularis. Tractus corticospinalis dan corticonuclearis cenderung meningkatkan tonus otot, sedangkan serabut-serabut extrapiramidalis menghantarkan impuls inhibitor yang menurunkan tonus otot. Kerusakan area motorik sekunder menghilangkan pengaruh inhibitor. Hal ini mengakibatkan otot menjadi spastik.
c.       Korteks sensorik
          Pusat-pusat otak yang lebih rendah-terutama talamus-meneruskan sinyal sensorik ke korteks serebri untuk di analisis. Korteks sensorik berguna untuk mengapresiasikan pengenalan spatial, pengenalan intensitas relatif, serta pengenalan kemiripan dan perbedaan.
          Lesi di area somatosensorik primer korteks menyebabkan gangguan sensori kontralateral yang paling berat di bagian-bagian distal ekstremitas. Stimulus nyeri kasar, taktil, dan suhu sering pulih, namun hal ini diduga oleh fungsi talamus. Pasien tetap tidak mampu menentukan derajat panas, tidak mampu menentukan lokasi stimulus taktil dengan tepat, dan tidak mampu menentukan berat sebuah benda.Hilangnya tonus otot juga merupakan gejala lesi korteks sensorik. Lesi di area somatosensorik sekunder cortex cerebri tidak menyebabkan defek sensorik yang dapat dikenali.
d.      Area Asosiasi Somatosensorik
          Lesi pada lobulus parietalis superior mengganggu kemampuan pasien untuk mengombinasikan impuls raba, tekan, dan proprioseptif sehingga pasien tidak mampu mengapresiasikan tekstur, ukuran, serta bentuk. Kehilangan integrasi impuls-impuls sensorik ini disebut astereognosis. Contohnya, seseorang tidak dapat mengenali kunci yang diletakkan di tangannya dengan mata tertutup.
Kerusakan bagian posterior lobus parietalis-yang mengintegrasikan sensasi somatik dan visual-akan mengganggu penilaian citra tubuh sisi kontralateral. Individu tidak dapat mengenali setengah sisi tubuhnya sendiri. Pasien tidak dapat mencuci atau mengenakan pakaian pada badannya, ataupun mencukur sisi muka atau tungkai sisi lesi.

2.19. Tatalaksana cedera kepala (14)
a.       Riwayat Penyakit
v  Anamnesis :
Hampir selalu ditemukan riwayat trauma oleh karena kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau trauma lainnya. Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah perlu dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya, apakah jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh. Anamnesis yang lebih terperinci meliputi sifat kecelakaan atau sebab-sebab trauma untuk estimasi berat ringannya benturan, saat terjadi beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit, ada tidaknya benturan kepala langsung dan keadaan penderita saat kecelakaan misalnya kejang, kelemahan motorik, gangguan bicara dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa serta adanya nyeri kepala, mual muntah.
   Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwa sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran berubah).
·      Riwayat Penyakit Sebelumya: perlu dianamnesis lebih jauh tentang riwayat penyakit sebelum cedera kepala.
v  Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan di instalasi gawat darurat mengunakan pendekatan  survei primer dengan menilai jalan napas, pernapasan dan sirkulasi kemudian segera melakukan tindakan life saving.
b.      Penemuan Klinis
Kesan Umum : Pasien bisa compos mentis atau terdapat penurunan kesadaran sampai dengan koma (kriteria kesadaran Alert Verbal Pain Unresponsiveness )
Survei primer dilakukan menilai ada tidaknya gangguan jalan napas dan stabilisasi servikal, pernapasan dan sirkulasi kemudian segera melakukan tindakan resusitasi jika diperlukan.
Survei sekunder dilakukan pemeriksaan lengkap mulai ujung kepala sampai ujung kaki melakukan anamnesis lengkap dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan fisik lengkap meliputi:
1) tanda vital,  
2) tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale atau Pediatric Coma Scale,
3) ada tidaknya cedera luar yang terlihat: cedera pada kulit kepala, perdarahan hidung ataupun telinga, hematom periorbital dan retroaurikuler,
4) tanda-tanda neurologis fokal seperti ukuran pupil dan reaksi cahaya, gerakan mata, pola aktivitas motorik dan fungsi batang otak,
5) reflek tendon,
 6) fungsi sensorik dan serebeler perlu diperiksa jika pasien sadar.
c.       Kriteria Diagnosis
v  Cedera kepala ringan (CKR dengan GCS 13-15);
v  Cedera kepala sedang (CKS dengan GCS 9-12);
v  Cedera kepala berat (CKB dengan GCS <= 8).
v  Diagnosis morfologi: fraktur cranium, perdarahan EDH; SDH; ICH, lesi intrakranial difus komosio ringan; komosio klasik; diffuse axonal injury.

d.      Pemeriksaan Penunjang
1.      Rontgen foto tengkorak 3 posisi: menilai ada tidaknya fraktur
2.      CT Scan kepala: menilai ada tidaknya perdarahan, edema serebri dan kelainan morfologi lain (bila memungkinkan)
3.      Darah rutin dan pemeriksaan lain sesuai indikasi
e.       Diagnosis
1.      Masalah Aktif
2.      Cedera kepala ringan
3.      Cedera kepala sedang
4.      Cedera kepala berat
5.      Suspek fraktur basis craniii/fraktur…….
v  Diagnosis Kerja
Epidural hematom, subdural hematom, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intracranial atau hematoma jaringan lunak
v  Diagnosis Banding
Stroke, tumor otak
v  Diagnosis Keperawatan
1.      Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskuler (penurunan kesadaran)
2.      Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi/hiperventilasi/disfungsi neuromuskuler (penurunan kesadaran)/cedera spinal.
3.      Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral: trauma kepala
4.      Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
f.       Standar Pengelolaan
v  Standar Terapi
Penatalaksanaan cedera kepala secara umum dengan memperbaiki jalan napas (airway), pernapasan (breathing) dan sirkulasi pasien, mencegah tidak sampai terjadi hipoventilasi dan hipovolemia yang dapat menyebabkan secondary brain damage.
Ø  Penatalaksanaan cedera kepala ringan (GCS 13–15)
1.      Observasi atau dirawat di rumah sakit bila CT Scan tidak ada atau hasil CT Scan abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilang kesadaran, sakit kepala sedang–berat, pasien dengan intoksikasi alkohol/obat-obatan, fraktur tengkorak, rinorea-otorea, cedera penyerta yang bermakna, tidak ada keluarga yang di rumah, tidak mungkin kembali ke rumah sakit dengan segera, dan adanya amnesia. Bila tidak memenuhi kriteria rawat maka pasien dipulangkan dengan diberikan pengertian kemungkinan kembali ke rumah sakit bila dijumpai tanda-tanda perburukan.
2.      Observasi tanda vital serta pemeriksaan neurologis secara periodik setiap ½- 2 jam.
3.      Pemeriksaan CT Scan kepala sangat ideal pada penderita CKR kecuali memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal.
Ø  Penatalaksanaan cedera kepala sedang (GCS 9-12)
1.      Dirawat di rumah sakit untuk observasi, pemeriksaan neurologis secara periodik.
2.      Bila kondisi membaik, pasien dipulangkan dan kontrol kembali, bila kondisi memburuk dilakukan CT Scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.
Ø  Penatalaksanaan cedera kepala berat (GCS <= 8)
1.      Pastikan jalan nafas korban clear (pasang ET), berikan oksigenasi 100% dan jangan banyak memanipulasi gerakan leher sebelum cedera cervical dapat disingkirkan.
2.      Berikan cairan secukupnya (ringer laktat/ringer asetat) untuk resusitasi korban agar tetap normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan transfusi darah jika Hb kurang dari 10 gr/dl.
3.      Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS dan pemeriksaan batang otak secara periodik.
4.      Berikan manitol iv dengan dosis 1 gr/kgBB diberikan secepat mungkin pada penderita dengan ancaman herniasi dan peningkatan TIK yang mencolok.
5.      Berikan anti edema cerebri: kortikosteroid deksametason 0,5 mg 3×1, furosemide diuretik 1 mg/kg BB tiap 6-12 jam bila ada edema cerebri, berikan anti perdarahan.
6.      Berikan obat-obatan neurotonik sebagai obat lini kedua, berikan anti kejang jika penderita kejang, berikan antibiotik dosis tinggi pada cedera kepala terbuka, rhinorea, otorea.
7.      Berikan antagonis H2 simetidin, ranitidin iv untuk mencegah perdarahan gastrointestinal.
8.      Koreksi asidodis laktat dengan natrium bikarbonat.
9.      Operasi cito pada perkembangan ke arah indikasi operasi.
10.  Fisioterapi dan rehabilitasi.
Ø  Standar Tindakan
Bila perlu dilakukan pembedahan (craniotomy), bila terjadi kegawatan dilakukan resusitasi sesuai SOP resusitasi jantung paru.
1.      Standar Edukasi dan Rehabilitasi
-          Terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan
-          Dipuasakan dulu bila perlu.
2.      Standar Asuhan Keperawatan
-          Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskuler (penurunan kesadaran)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai kondisi pasien (maksimal dua jam) seperti berikut, maka bersihan jalan nafas efektif dengan kriteria hasil suara nafas bersih atau tidak ada suara tambahan.
NIC : Suction jalan nafas
Pastikan kebutuhan suction mulut/trakea, auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suksion, informasikan pada klien dan keluarga tentang suksion, berikan oksigen dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal, lakukan suction, monitor status oksigen pasien, hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi oksigen.
NIC : Manajemen jalan nafas
Buka jalan nafas gunakan teknik manuver chin lift atau jaw thrust bila perlu, posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi, identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan, pasang mayo bila perlu, berikan bronkodilator bila perlu, monitor saturasi oksigen.
1.      Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi/hiperventilasi/disfungsi neuromuskuler (penurunan kesadaran)/cedera spinal.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai kondisi pasien (maksimal 2 jam), pola nafas efektif dengan kriteria hasil: frekuensi nafas dalam batas normal, kedalaman inspirasi dan ekspansi paru simetris, tidak tampak adanya penggunaan otot pernafasan tambahan, tidak tampak adanya retraksi dinding dada, tidak tampak adanya nafas melalui mulut.
NIC : Terapi Oksigen
Atur peralatan oksigenasi, monitor aliran oksigen, pertahankan posisi pasien, berikan oksigen sesuai dengan yang diresepkan, observasi adanya. tanda tanda hipoventilasi/hiperventilasi.
NIC : Monitor Tanda-tanda Vital
Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan frekuensi nafas, catat adanya fluktuasi tekanan darah, monitor pola pemapasan abnormal, monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit, monitor sianosis perifer, monitor adanya cushing triad (tekanan nadi melebar, bradikardi, peningkatan sistolik).
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral: trauma kepala
Setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai keadaan pasien maksimal dua jam, perfusi jaringan serebral efektif dengan kriteria hasil: tingkat kesadaran membaik, tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK (edema papil, muntah proyektil)
NIC : Cerebral Perfussion Promotion
Kolaborasi dengan dokter untuk menentukan parameter hemodinamik yang diperlukan, pertahankan posisi kepala pasien lebih tinggi 15 derajat, hindari aktivitas secara tiba-tiba, pertahankan serum glukosa pada rentang normal, monitor tanda-tanda perdarahan, monitor status neurologi
1.      Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
Setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai dengan kondisi pasien maksimal 2 jam, nyeri teratasi dengan criteria hasil : mampu mengontrol nyeri, mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
NIC : Manajemen Nyeri
Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan factor presipitasi, observasi reaksi non verbal dari ketidak nyamanan, kurangi faktor presipitasi nyeri, kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil.














BAB III
KESIMPULAN

Benturan kepala yag dialami Tn. Raffea (35 tahun) menyebabkan lesi pada traktus spinothalamikus anterior, traktus kortikospinalis, dan gangguan pada tegmentum batang otak sehingga sistem motorik dan sensoriknya terganggu.




























DAFTAR PUSTAKA

(1)   Richard, S. Snell. Neuroanatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran edisi 7. Jakarta: EGC. 2011
(2)   Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC. 2001
(3)   Lumban tobing,S.M, Neurologi Klinis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2005
(4)   Tortora, GJ, Derrickson HB.  Principles of Anatomy And Physiology volume 1. ed 12th. Hoboken : John Winley & Sons, 2009. hal 460 – 522.
(5)   Sidharta, Dewanto. Anatomi Susunan Saraf Pusat Manusia. Jakarta: PT. Dian Rakyat. 1986.
(6)   Chamberlin, Stacey L. Narins, Bringham. The Gale Encyclopedia of Neurological Disorders vol.2. Detroit: Thompson Gale. 2005.
(7)   Cook, S. D. Clinical Neuropathology: Text and Color Atlas. New York: Marcel Dekker. 2001.
(8)   Guyton, A. C. & Hall, A. J. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke 11. Jakarta: ECG. 2007.
(9)   Pierce A, Neil R. At a glance ilmu bedah. Alih bahasa. Umami V. Jakarta: Erlangga, 2007: 85
(10)     Brunner& Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Vol 3 Ed 8. Jakarta: EGC. 2002
(11)     Kumar, Vinay; Ramzi C; S L Robbins. Buku Ajar Patologi Vol 2 Edisi 7. Jakarta : EGC. 2007
(12)     Price, S A; Lorraine M W. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit Vol 2 Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006
(13)     Ginsberg L. Neurologi. 8th ed. Jakarta: Erlangga; 2008. 228 p
Kelly DF. General principles of head injury management. New York: McGraw Hill. 1996

0 comments Blogger 0 Facebook

Post a Comment

 
Welcome To My Blog © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top