BAB 1
PENDAHULUAN
1.1              Pemicu
Seorang penyanyi terkenal, Nn. Sahreni, 35 tahun, sering mengeluhkan nyeri pada kedua sisi atas kepalanya. Nyeri juga kadang-kadang dirasakan di daerah sekitar mata. Keluhan ini dirasakannya sejak 3 bulan terkahir ini. Riwayat trauma dan penyaklit lain disangkal oleh pasien. Biasanya jika nyeri ini timbul, pasien makan obat analgetik yang dibelinya di apotik, yaitu yang berisi asam mefenamat ataupun yang berisi campuran metampiron dan vitamin neurotropic. Tetapi, sejak beberapa hari ini, obat itu sudah tidak mampu menghilangkan keluhan pada pasien. Ia juga mengaku bahwa ia baru saja diputuskan oleh tunangannya, sehingga rencana pernikahan mereka batal. Keluhan mual, muntah disangkal.

1.2              Klarifikasi dan definisi
a.      Nyeri                           : Pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan yang terjadi karena adanya kerusakan jaringan atau ancaman kerusakan jaringan.
b.      Asam mefenamat          : Obat pereda nyeri golongan NSAID kategori
                                       ringan- sedang
c.       Metampiron                  : Cedera fisik dan psikis , kekerasan yang
                                       mengakibatkan cedera.
d.      Obat analgesic              : Obat yang digunakan untuk mengurangi atau
                                        Menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan
                                        kesadaran.
e.       Vitamin neurotropic     : vitamin B1,B6,B12 yang akan membantu
                                       Perbaikan fungsi saraf dan berfungsi sebagai zat
                                       Pengantar dalam metabolisme tubuh.
1.3              Kata Kunci
a)      Nyeri pada kedua sisi kepala atas
b)      Obat analgesic
c)      Nyeri sekitar mata
d)     Riwayat trauma dan penyakit lain disangkat
e)      Diputus tunangan
1.4              Rumusan Masalah
Sahreni 35 tahun sejak 3 bulan terakhir menyeri pada kedua sisi atas kepala dan didaerah sekitar mata ia biasanya makan obat analgesic yang berisi asam mefenamat yang berisi campuran metampiron dan vitamin neurotropic tetapi beberapa hari ini obat tersebut tidak mampu menghilangkan nyerinya.
1.5              Analisis masalah

1.6              Hipotesis
Obat-obat analgesik yang dikonsumsi oleh sahreni tidak lagi memiliki efek disebabkan karena penyebab nyeri yaitu psikogenik atau karena resistensi terhadap obat tersebut.
1.7              Pertanyaan diskusi
1)      Klasifikasi nyeri
2)      Proses terjadinya nyeri
3)      Reseptor dari nyeri
4)      Tatalaksana nyeri
5)      Neurofisiologi nyeri
6)      Mengapa terjadi resistensi terhadap OAINS ?
7)      Faktor apa yang menyebabkan nyeri kepala ?
8)      Jenis-jenis nyeri kepala
9)      Patofisiologi nyeri kepala
10)  Tatalaksana nyeri kepala
11)  Bagaimana penilaian klinis nyeri?
12)  Bagaimana ambang dan toleransi nyeri?
13)  Mediator nyeri
14)  Pengaruh durasi pemakaian obat tersebut terhadap resistensi ?
15)  Pengaruh psikologi / stress terhadap nyeri kepala ?
16)  Apa saja diagnosis fisik dan penunjang untuk nyeri kepala ?
17)  Bagaimana mekanisme kerja asam mefenamat?
18)  Bagaimana mekanisme kerja metampiron ?
19)  Bagaimana mekanisme kerja vitamin neurotropic?
20)  Bagaimana mekanisme kerja analgetik opioid (secara umum)?
21)  Bagaimana mekanisme kerja analgetik non opioid?


















BAB 2
PEMBAHASAN
2.1              Klasifikasi nyeri
Berdasarkan Mekanisme Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan dalam 3 jenis yaitu
1. Nyeri fisiologis, terjadinya nyeri oleh karena stimulasi singkat yang tidak merusak jaringan, misalnya pukulan ringan akan menimbulkan nyeri yang ringan. Ciri khas nyeri sederhana adalah terdapatnya korelasi positif antara kuatnya stimuli dan persepsi nyeri, seperti semakin kuat stimuli maka semakin berat nyeri yang dialami.
2. Nyeri inflamasi, terjadinya nyeri oleh karena stimuli yang sangat kuat sehingga merusak jaringan. Jaringan yang dirusak mengalami inflamasi dan menyebabkan fungsi berbagai komponen nosiseptif berubah. Jaringan yang mengalami inflamasi mengeluarkan berbagai mediator inflamasi, seperti: bradikinin, leukotrin, prostaglandin, purin dan sitokin yang dapat mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung. Aktivasi nosiseptor menyebabkan nyeri, sedangkan sensitisasi nosiseptor menyebabkan hiperalgesia. Meskipun nyeri merupakan salah satu gejala utama dari proses inflamasi, tetapi sebagian besar pasien tidak mengeluhkan nyeri terus menerus. Kebanyakan pasien mengeluhkan nyeri bila jaringan atau organ yang berlesi mendapat stimuli, misalnya: sakit gigi semakin berat bila terkena air es atau saat makan, sendi yang sakit semakin hebat bila digerakkan.
3. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang didahului dan disebabkan adanya disfungsi primer ataupun lesi pada sistem saraf yang diakibatkan: trauma, kompresi, keracunan toksin atau gangguan metabolik. Akibat lesi, maka terjadi perubahan khususnya pada Serabut Saraf Aferen (SSA) atau fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya, sehingga menimbulkan gangguan keseimbangan. Gangguan keseimbangan tersebut dapat melalui perubahan molekuler sehingga aktivasi SSA (mekanisme perifer) menjadi abnormal yang selanjutnya menyebabkan gangguan fungsi sentral (mekanisme sentral).
Berdasarkan Kemunculan Nyeri
Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu :
1. Nyeri akut, nyeri yang biasanya berhubungan dengan kejadian atau kondisi yang dapat dideteksi dengan mudah. Nyeri akut merupakan suatu gejala biologis yang merespon stimuli nosiseptor (reseptor rasa nyeri) karena terjadinya kerusakan jaringan tubuh akibat penyakit atau trauma. Nyeri ini biasanya berlangsung sementara, kemudian akan mereda bila terjadi penurunan intensitas stimulus pada nosiseptor dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Contoh nyeri akut ialah nyeri akibat kecelakaan atau nyeri pasca bedah.
2. Nyeri kronik, nyeri yang dapat berhubungan ataupun tidak dengan fenomena patofisiologik yang dapat diidentifikasi dengan mudah, berlangsung dalam periode yang lama dan merupakan proses dari suatu penyakit. Nyeri kronik berhubungan dengan kelainan patologis yang telah berlangsung terus menerus atau menetap setelah terjadi penyembuhan penyakit atau trauma dan biasanya tidak terlokalisir dengan jelas.
Berdasarkan Klasifikasi Nyeri Wajah
Nyeri pada wajah ataupun rongga mulut dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu
1. Nyeri somatik, nyeri yang dapat dihasilkan dari stimulasi reseptor-reseptor neural ataupun saraf-saraf periferal. Jika stimulasi bermula dari bagian superfisial tubuh, karakteristik klinisnya, seperti: nyeri dengan kualitas menstimulasi, lokalisasi nyeri yang tepat, adanya hubungan yang akurat antara tempat lesi dan sumber nyeri serta cara menghilangkan nyeri yang temporer dengan aplikasi anestesi topikal. Jika stimulasi bermula dari bagian dalam tubuh, karakteristik klinisnya, seperti: nyeri dengan kualitas mendepresikan, lokalisasi beragam dari nyeri yang menyebar, lokasi dari nyeri bisa ataupun tidak berhubungan dengan tempat lesi, sering menunjukkan efek-efek sekunder dari perangsangan pusat.
2. Nyeri neurogenik, nyeri yang dihasilkan dalam sistem sarafnya sendiri, reseptor saraf ataupun stimulasi serabut yang tidak diperlukan. Karakteristik klinis dari nyeri neurogenik, yaitu: nyeri seperti membakar dengan kualitas menstimulasikan, lokalisasi baik, adanya hubungan yang tertutup diantara lokasi dari nyeri dan lesi, pengantaran nyeri mungkin dengan gejala-gejala sensorik, motorik dan autonomik.
3. Nyeri psikogenik, nyeri yang dapat memunculkan intensifikasi nyeri somatik atau neurogenik dan juga merupakan suatu manifestasi psikoneurotik. Karakteristik dari nyeri psikogenik, seperti: lokasi nyeri selalu tidak mempunyai hubungan dengan suatu penyebab yang mungkin, tindakan klinis dan respon pada pengobatan mungkin non fisiologis, tidak diharapkan dan tidak biasa. Nyeri wajah Atipikal adalah salah satu nyeri psikogenik.  
2.2              Proses terjadinya nyeri
Kerusakan di jaringan kulit atau jaringan perifer menyebabkan terlepasnya mediator kimiawi dan merangsang nosiseptor sehingga terjadi penurunan nilai ambang nyeri. Selanjutnya terjadi proses transmisi, yang menghantarkan impuls nosiseptif melalui serabut aferen primer nosiseptif dari perifer melewati radik posterior menuju kornu posterior medula spinalis. Di kornu posterior terdapat sistem modulasi impuls nosiseptif yang disebut gerbang kendali nyeri ( gate control theory of pain ). Gerbang kendali nyeri ini berperan sebagai modulator terhadap semua impuls nosiseptif yang masuk, dengan cara memperbesar atau menghambat impuls.
Serabut fasikulus desendens keluar dari otak berjalan menuju gerbang kendali nyeri pada setiap segmen medula spinalis. Serabut ini berfungsi membantu menghambat impuls nosiseptif yang berjalan dari perifer menuju sentral dan melewati gerbang kendali nyeri. Apabila intensitas impuls nosiseptif melampaui ambang sel transmisi T, maka impuls nosiseptif akan berjalan mengikuti sistem aksi menuju pusat supraspinal untuk dipersepsi di pusat somatosensoris sebagai pengalaman nyeri. Tahap proses nyeri secara terperinci dapat diuraikan sebagai berikut :
a.               Transduksi
Merupakan proses dimana suatu rangsang nyeri diubah menjadi aktifitas listrik yang akan diterima ujung ujung saraf sensoris. Kerusakan jaringan menyebabkan terlepasnya substansi kimiawi endogen yaitu bradikinin, substansi P, serotonin, histamin, ion H, ion K, prostaglandin. Zat kimia ini terlepas ke dalam cairan ekstraseluler yang melingkupi nosiseptor. Kerusakan membran sel akan melepaskan senyawa phospholipid yang mengandung asam arakhidonat dan terjadi aktivasi ujung aferen nosiseptif. Asam arakhidonat atas pengaruh prostaglandin (PG) endoperoxide syntethase akan membentuk cyclic endoperoxide (PGG2 dan PGH2) dan membentuk mediator inflamasi sekaligus mediator nyeri tromboksan (TXA2), prostaglandin (PGE2, PG2 ) dan prostasiklin (PGI2). Terbentuk pula leukotrien (LT) atas pengaruh 5-lipooksigenase, dan dari sel mast dilepaskan histamin. Kombinasi senyawa ini menimbulkan vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas vaskuler lokal sehingga terjadi gerakan cairan ekstravasasi ke dalam ruang interstisial jaringan rusak.
Mediator juga mengaktifkan nosiseptor. PGs dan LTs tidak langsung mengaktifkan melainkan mensensitisasi nosiseptor agar dapat distimuli oleh senyawa lain seperti bradikinin, histamin sehingga terjadi hiperalgesia, yaitu respon terhadap stimuli yang meningkat. Pelepasan mediator kimiawi terus menerus dapat menyebabkan stimulasi dan sensitisasi terus menerus pula sehingga terjadi hiperalgesia, alodina dan proses berakhir sesudah terjadi proses penyembuhan. Selanjutnya lekotrien D4 (LTD4) mengaktifkan makrofag dan basofil yang selanjutnya akan menstimuli dan meningkatkan pelepasan eikosanoids, yaitu metabolit dari metabolisme asam arakhidonat. Leukosit polimorfonuklear (PMN) melepaskan leukotrien B4 (LTB4). Keduanya berperan dalam sensitisasi nosiseptor. Pada inflamasi, sistem imun akan melepaskan sitokin proinflamasi yaitu : interleukin (IL)-1 , IL-6, Tumor Necrosis Factor- (TNF- , Interferon (IFN). Sitokin ini dengan cepat akan berinteraksi dengan saraf perifer melalui mediator. IL- 1 berinteraksi dengan neuron sensoris, mengaktifkan eikosanoid dalam sel seperti fibroblas dan menyebabkan terlepasnya prostaglandin. Platelet dan sel mast juga melepas serotonin yang langsung mengaktifkan atau mensensitisasi nosiseptor dan menimbulkan hiperalgesia. Proses transduksi dapat dihambat oleh obat anti inflamasi non steroid.
b.               Transmisi
Adalah perambatan rangsang nyeri melalui serabut saraf sensoris menyusul proses tranduksi. Dalam keadaan hiperalgesia intensitas impuls akan membesar dan kemudian ditransmisi oleh serabut aferen nosiseptif primer lewat radiks posterior menuju kornu posterior medula spinalis. Serabut aferen primer nosiseptif khusus yang menghantarkan impuls nosiseptif terdapat di kulit, periosteum, sendi, ligamen, otot dan visera. Stimulus yang dapat direspon adalah stimulus mekanik, mekanotermal dan polimodal. Impuls di neuron aferen primer melewati radiks posterior masuk ke medula spinalis pada berbagai tingkat dan membentuk badan sel dalam ganglia radiks posterior. Serabut ini akan membelah menjadi dua dan mengirim banyak cabang kolateral. Serabut aferen primer berakhir pada lamina I, substansia gelatinosa (lamina II, III), lamina V dan lamina IV. Impuls ditransmisi ke neuron sekunder dan masuk ke traktus spinotalamikus lateralis. Kornu posterior berfungsi sebagai jalur masuk
desendens dari otak untuk melakukan modulasi impuls dari perifer. Impuls selanjutnya disalurkan ke daerah somatosensorik di korteks serebri dan diterjemahkan. Proses transmisi ini dapat dihambat oleh anestetik lokal.
c.                Modulasi
Adalah proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls setelah mencapai kornu posterior medula spinalis mengalami penyaringan intensitas yang bisa diperbesar atau dihambat. Sistem pengendali modulasi ini adalah sistem gerbang kendali spinal. Terdiri dari substansia gelatinosa sebagai penghambat sel transmisi T, serabut aferen dengan diameter besar akan menutup gerbang, sedangkan yang berdiameter kecil akan membuka gerbang. Cabang serabut desendens dari otak yang menuju ke substansia gelatinosa akan menambah hambatan transmisi sel T. Apabila impuls melebihi ambang sel T maka akan melewati sistem kendali gerbang spinal dan diteruskan ke pusat supraspinal di korteks somatosensoris. Impuls akan dipersepsi sebagai pengalaman nyeri. Substansi yang bekerja sebagai modulator penghambat nyeri di medula spinalis yaitu dinorfin, enkefalin, noradrenalin, dopamine, 5 Hidroksi Triptamin-2(5 HT2) dan Gama Amino Butiric Acid (GABA). Sedangkan substansi yang meningkatkan nyeri yaitu substansi P, Adenosin Tri Phosphat (ATP) dan asam amino eksitatori.
d.                  Persepsi
Adalah proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri. Juga merupakan proses integrasi pada pusat kognisi, afeksi dan impuls nyeri yang dirasakan individu dan bagaimana cara individu menghadapinya.
2.3              Reseptor nyeri
Nyeri yang timbul dikarenakan adanya peran dari reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima ragsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespons hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor.1
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral dan vascular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab pada kehadiran stimulus noxious yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidakb aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke CNS untuk interpretasi nyeri.1
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya menimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemi kulit 20 sampai 30 menit.1
Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat –serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta.1
Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didisain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ interj,gnal jarang terpapar pada keadaan yang merusak. Banyak stimulus yang merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu, inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi.1
2.4              Tatalaksana nyeri
Tujuan penatalaksanaan nyeri: Mengurangi nyeri sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Tatalaksana nyeri terbagi menjadi 2; (1) Pendekatan Farmakologik, (2) Pendekatan NonFarmakologik.
1.      Pendekatan Farmakologik
Ø  Antagonis dan agonis-antagonis opioid
Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu antagonis opioid murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid. Nalokson digunakan untuk melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu yang paling serius adalah depresi pernapasan dan sedasi.
Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan antagonis seperti pentazosin (talwin) dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien yang bergantung pada narkotik maka obat-obat ini dapat memicu gejala-gejala putus obat. Agonis-antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan di bandingkan dengan agonis opioid murni.
Ø  Adjuvan atau koanalgesik
Obat adjuvan atau koanalgesik adalah obat yang semula dikembangkan untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memiliki sifat analgetik atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari obat ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak berespons terhadap opioid.
ü  Anti kejang, seperti karbamazepin (tegretol) atau fenitoin (dilantin), telah terbukti efektif untuk mengurangi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf. Nyeri menyayat adalah khas untuk neuralgia trigeminus, neuropati diabetes, dan neuralgia pascaherpes serta sering terjadi setelah laminektomi dan amputasi ekstremitas. Anti kejang efektif untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini menstabilkan membran sel saraf dan menekan respon akhir di saraf. Gabapentin, yang terutama efektif untuk nyeri menyayat memiliki mekanisme kerja yang belum jelas, walaupun obat ini berikatan dengan reseptor spesifik di otak, menghambat arus natrium yang bergantung  pada voltase, dan mungkin meningkatkan pelepasan GABA. Anti kejang zonisamid menimbulkan efek anti epilepsi melalui blokade saluran natrium dan kalsium, serta melalui aktivitas dopaminergik dan serotonergik.
ü  Anti depresan trisiklik, seperti amitriptilin (elavil) atau imipramin (tofranil), adalah analgetik yang sangat efektif untuk nyeri neuropatik, serta berbagai penyakit lain yang menimbulkan  nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia pascaherpes, invasi struktur saraf olehkarsinome, nyeri pasca bedah, dan artritis rematoid. Pada pengobatan untuk nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik yang independen dari aktivitas antidepresannya. Diperkirakan bahwa antidepresan trisiklik menghilangkan nyeri dengan menghambat penyerapan ulang amina-amina biogenik di SSP.
ü  Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah hidroksizin (vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan efek aditif apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam, yang digunakan untuk mengobati kejang otot yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya deksametason yang telah digunakan untuk mengendalikan gejala yang berkaitan dengan kompresi medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien kanker. Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa, yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan opioid atau anastetik lokal; obat ini juga memiliki analgetik apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respons adrenergik simpati yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer. Efek samping utama dari obat-obat ini adalah hipotensi dan potensial depresi pernapasan yang diinduksi oleh opioid.
2.      Pendekatan NonFarmakologik
Merupakan penatalaksanaan terhadap nyeri melalui cara tanpa penggunaan obat, melainkan;
(a)   Terapi dan Modalitas Fisik
Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit (pijat,stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupungtur, aplikasi panas atau dingin, olahraga).
(b)   Strategi Kognitif dan Perilaku
Merupakan penalataksanaan terhadap nyeri yang bermanfaat dalam mengubah presepsi pasien terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan member pasien perasaan yang lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini mencakup relaksasi, penciptaan khayalan(imagery), hypnosis, dan biofeedback.
2.5              Neurofisiologi nyeri
Nyeri menurut International Association for the Study of Pain adalah pengalaman sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan sehubungan dengan kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial. Nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang cultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya dan tes laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman dan terapi yang tidak adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orangtua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi.(1,2)
Kata nosisepsi berasal dari kata “noci” dari bahasa Latin yang artinya harm atau injury dalam bahasa Inggris atau luka atau trauma. Kata ini digunakan untuk menggambarkan respon neural hanya pada traumatik atau stimulus noksius. Banyak pasien merasakan nyeri meskipun tidak ada stimulus noksius. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi ataupun sensitisasi dari nosiseptor perifer, reseptor khusus yang mentransduksi stimulus noksius.(3)
Berdasarkan lamanya nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri karena stimulus noksius karena ada kerusakan jaringan, proses penyakit ataupun fungsi abnormal dari otot atau organ dalam (viscera) dan biasanya bersifat nosiseptif. Nyeri akut merupakan bentuk nyeri yang paling sering yang dihasilkan dari pasca trauma, paska operasi dan nyeri obstetrik seperti halnya nyeri yang diasosiasikan dengan kondisi medis kritis yang akut seperti miokard infark, pancreatitis dan calculi renal. Kebanyakan dari nyeri akut bersifat terbatas atau akan sembuh dalam beberapa hari atau minggu. Apabila nyeri gagal untuk sembuh karena atau akibat abnormal penyembuhannya atau karena pengobatan yang tidak adekuat, nyeri menjadi kronis. Nyeri kronis adalah nyeri yang menetap dialami lebih 3 bulan atau 6 bulan dari sejak mulai dari dirasakan nyeri. Dapat bersifat nosiseptiv atau neuropatik ataupun gabungan keduanya. Sedangkan tipe nyeri dapat dibagi menjadi nyeri somatik, nyeri visceral, dan nyeri neuropatik. Nyeri somatik dideskripsikan sebagai sakit, menggerogoti, dan tajam dalam hal kualitas. Secara umum dapat dilokalisasi dan diinisiasi oleh aktivasi nosiseptor di jaringan kulit dan jaringan dalam. Contoh nyeri somatic termasuk nyeri akut pasca operasi dan patah tulang. Nyeri visceral juga diasosiasikan dengan kerusakan jaringan, khususnya infiltrasi, kompresi dan distensi dari organ dalam. Biasanya dideskripsikan sebagai nyeri yang tumpul dan sukar dilokalisasi dan bisa menyebar ke tempat lain. Misalnya nyeri perut yang disebabkan oleh konstipasi. Sedangkan nyeri neuropati dihasilkan dari kerusakan terhadap sistem saraf baik pusat maupun perifer. Tertembak, sengatan listrik, ataupun luka bakar sering bersamaan dengan latar belakang timbulnya sensasi nyeri dan terbakar. Contohnya, neuropati diabetik dan neuralgia post herpetic.(4,5)
a.      Mekanisme Nyeri
-          Respon Terhadap Stimulus Nyeri Akut
Secara klinis nyeri dapat diberi label “nosiseptif” jika melibatkan nyeri yang berdasarkan aktivasi dari sistem nosiseptif karena kerusakan jaringan. Meskipun perubahan neuroplastik (seperti hal-hal yang mempengaruhi sensistisasi jaringan) dengan jelas terjadi, nyeri nosiseptif terjadi sebagai hasil dari aktivasi normal sistem sensorik oleh stimulus noksius, sebuah proses yang melibatkan transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.(6)
Nyeri karena pembedahan mengalami sedikitnya dua perubahan, pertama karena pembedahan itu sendiri, menyebabkan rangsang nosiseptif, kedua setelah pembedahan karena terjadinya respon inflamasi pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia tersebut antara lain adalah prostaglandin, histamine, serotonin, bradikinin, substansi P, leukotrien; dimana zat-zat tadi akan ditransduksi oleh nosiseptor dan ditransmisikan oleh serabut saraf A delta dan C ke neuroaksis.(6)
Transmisi lebih lanjut ditentukan oleh modulasi kompleks yang mempengaruhi di medula spinalis. Beberapa impuls diteruskan ke anterior dan anterolateral dorsal horn untuk memulai respon refleks segmental. Impuls lain ditransmisikan ke sentral yang lebih tinggi melalui traktus spinotalamikus dan spinoretikularis, dimana akan dihasilkan respon suprasegmental dan kortikal. Respon refleks segmental diasosiasikan dengan operasi termasuk peningkatan tonus otot lurik dan spasme yang diasosiasikan dengan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi asam laktat. Stimulasi dari saraf simpatis menyebabkan takikardi, peningkatan curah jantung sekuncup, kerja jantung, dan konsumsi oksigen miokard. Tonus otot menurun di saluran cerna dan kemih. Respon refleks suprasegmental menghasilkan peningkatan tonus simpatis dan stimulasi hipotalamus. Konsumsi dan metabolisme oksigen selanjutnya akan meningkat.(7)
-          Sensitisasi Perifer
Sensitivitas terminal nosiseptor perifer tidaklah tetap, dan aktivasinya dapat dilakukan baik melalui stimulasi perifer berulang atau melalui perubahan komposisi kimia dari terminal dapat mensensitisasi neuron sensor primer. Fenomena ini dikatakan sebagai sensitisasi perifer.(8)
-          Sensitisasi Sentral dan Modulasi
Sebagai akibat perubahan pada sensitivitas terminal nosiseptor perifer, penambahan sinaps transmisi nosiseptif di dorsal horn dari medulla spinalis terjadi. Dan ini berkontribusi untuk meningkatkan sensitivitas terhadap nyeri, yang dikenal sebagai sensitisasi sentral. Input yang intensif dari nosiseptor ke medula spinalis memicu sensasi segera dari nyeri yang berakhir selama waktu stimulus noksius dan merefleksikan aktivasi langsung dari hasil potensial aksi dari saraf yang diproyeksikan. Beberapa input, bagaimanapun juga menginduksi aktivitas yang bergantung kepada modulasi proses sensori di dorsal horn yang menghasilkan hipersensitivitas terhadap nyeri.(8)
-          Nosiseptor
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral dan vascular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab pada kehadiran stimulus noxious yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidakb aktif sampai adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke CNS untuk interpretasi nyeri.(5)
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya menimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemi kulit 20 sampai 30 menit. (5)
Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat –serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta. (5)
Nosiseptor viseral, tidak seperti nosiseptor kutaneus, tidak didisain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ internal jarang terpapar pada keadaan yang merusak. Banyak stimulus yang merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada struktur viseralis. Selain itu, inflamasi, iskemia, regangan mesenterik, dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk mempertahankan fungsi. (5)
2.6              Mengapa terjadi resistensi terhadap OAINS
2.7              Faktor yang menyebabkan terjadinya nyeri kepala
2.8              Jenis-jenis nyeri kepala
Nyeri kepala dapat diklasifikasikan menjadi nyeri kepala primer, nyeri kepala sekunder, neuralgia kranial, nyeri facial dan nyeri kepala lainnya. Nyeri kepala primer dapat dibagi menjadi migraine, tension type headache, cluster headache dengan sefalgia trigeminal / autonomic, dan nyeri kepala primer lainnya. Nyeri kepala sekunder dapat dibagi menjadi nyeri kepala yang disebabkan oleh karena trauma pada kepala dan leher, nyeri kepala akibat kelaianan vascular kranial dan servikal, nyeri kepala yang bukan disebabkan kelainan vascular intracranial, nyeri kepala akibat adanya zat atau withdrawal, nyeri kepala akibat infeksi, nyeri kepala akibat kelainan cranium, leher, telinga, hidung, dinud, gigi, mulut atau struktur lain dikepala dan wajah, nyeri kepala akibat kelainan psikiatri.
2.9              Patofisiologi nyeri kepala
Pada nyeri kepala, sensitisasi terdapat di nosiseptor meningeal dan neuron trigeminal sentral. Fenomena pengurangan nilai ambang dari kulit dan kutaneus allodynia didapat pada penderita yang mendapat serangan migren dan nyeri kepala kronik lain yang disangkakan sebagai refleksi pemberatan respons dari neuron trigeminalsentral.
lnervasi sensoris pembuluh darah intrakranial sebahagian besar berasal dari ganglion trigeminal dari didalam serabut sensoris tersebut mengandung neuropeptid dimana jumlah dan peranannya adalah yang paling besar adalah CGRP(Calcitonin Gene Related Peptide), kemudian diikuti oleh SP(substance P), NKA(Neurokinin A), pituitary adenylate cyclase activating peptide (PACAP) nitricoxide (NO), molekul prostaglandin E2 (PGEJ2) bradikinin, serotonin(5-HT) dan adenosin triphosphat (ATP), mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor2. Khusus untuk nyeri kepala klaster clan chronic parox-ysmal headache ada lagi pelepasan VIP(vasoactive intestine peptide) yang berperan dalam timbulnya gejala nasal congestion dan rhinorrhea.
Marker pain sensing nerves lain yang berperan dalam proses nyeri adalah opioid dynorphin, sensory neuron-specific sodium channel(Nav 1.8), purinergic reseptors(P2X3), isolectin B4 (IB4) , neuropeptide Y , galanin dan artemin reseptor ( GFR-3 = GDNF Glial Cell Derived Neourotrophic Factor family receptor-3). Sistem ascending dan descending pain pathway yang berperan dalam transmisi dan modulasi nyeri terletak dibatang otak. Batang otak memainkan peranan yang paling penting sebagai dalam pembawa impuls nosiseptif dan juga sebagai modulator impuls tersebut. Modulasi transmisi sensoris sebahagian besar berpusat di batang otak (misalnya periaquaductal grey matter, locus coeruleus, nukleus raphe magnus dan reticular formation), ia mengatur integrasi nyeri, emosi dan respons otonomik yang melibatkan konvergensi kerja dari korteks somatosensorik, hipotalamus, anterior cyngulate cortex, dan struktur sistem limbik lainnya. Dengan demikian batang otak disebut juga sebagai generator dan modulator sefalgi.
Stimuli elektrode, atau deposisi zat besi Fe yang berlebihan pada periaquaduct grey(PAG) matter pada midbrain dapat mencetuskan timbulnya nyeri kepala seperti migren (migraine like headache).Pada penelitian MRI(Magnetic Resonance Imaging) terhadap keterlibatan batang otak pada penderita migren, CDH(Chronic Daily Headache) dan sampel kontrol yang non sefalgi, didapat bukti adanya peninggian deposisi Fe di PAG pada penderita migren dan CDH dibandingkan dengan kontrol.
Patofisiologi CDH belumlah diketahui dengan jelas .Pada CDH justru yang paling berperan adalah proses sensitisasi sentral. Keterlibatan aktivasi reseptor NMDA(N-metil-D-Aspartat), produksi NO dan supersensitivitas akan menaikkan produksi neuropeptide sensoris yang bertahan lama. Kenaikan nitrit Likuor serebrospinal ternyata bersamaan dengan kenaikan kadar cGMP(cytoplasmic Guanosine Mono phosphat) di likuor. Kadar CGRP, SP maupun NKA juga tampak meninggi pada likuor pasien CDH.
Reseptor opioid di down regulated oleh penggunaan konsumsi opioid analgetik yang cenderung menaik setiap harinya. Pada saat serangan akut migren, terjadi disregulasi dari sistem opoid endogen, akan tetapi dengan adanya analgesic overusedmaka terjadi desensitisasi yang berperan dalam perubahan dari migren menjadi CDH.15
Adanya inflamasi steril pada nyeri kepala ditandai dengan pelepasan kaskade zat substansi dari perbagai sel. Makrofag melepaskan sitokin lL1 (Interleukin .1), lL6 dan TNF (Tumor Necrotizing Factor ) dan NGF (Nerve Growth Factor). Mast cell melepas/mengasingkan metabolit histamin, serotonin, prostaglandin dan arachidonic acid dengan kemampuan melakukan sensitisasi terminal sel saraf. Pada saat proses inflamasi, terjadi proses upregulasi beberapa reseptor (VR1, sensory specific sodium/SNS, dan SNS-2)dan peptides(CGRP, SP).
2.10          Tatalaksana nyeri kepala
Bagi migren, pasien akan merasa lebih nyaman berbaring di ruangan gelap dan tidur. Analgesik sederhana seperti parasetamol atau aspirin diberikan dengan kombinasi antiemetic. Episode yang tidak responsive dengan terapi di atas dapat diberikan ergotamin, suatu vasokonstriktor poten atau sumatriptan, agonis reseptor selektif 5-HT yang dapat diberikan subkutan, intranasal atau oral. Kedua obat tersebut memiliki kelemahan. Alkaloid ergot dapat menimbulkan keracunan akut dengan gejala muntah, nyeri dan kelemahan otot.1
Terapi bagi nyeri kepala klaster meliputi penggunaan ergotamin, sumatriptan atau kortikosteroid selama 2 minggu dengan dosis diturunkan bertahap. Terapi jangka panjang untuk pencegahan rekurensi meliputi penggunaan metisergid,verapamil atau pizotifen. Litium dapat membantu jika nyeri menjadi kronik tetapi kadarnya dalam darah harus dipantau.2
            Terapi biasanya tidak memuaskan untuk nyeri kepala tipe tegang. Beberapa pasien mungkin merasa lebih baik jika diyakinkan tidak ada penyakit dasar, tetapi hal ini kurang membantu jika pola perilaku telah menjadi selama beberapa bulan atau tahunan. Terutama jika kemungkinan besar didasari oleh keadaan psikogenik, maka terapi trisiklik atau komponen lain selama 3-6 bulan dapat membantu.3 Pasien yang lain mungkin merasa lebih baik dengan bantuan ahli fisioterapi.4
2.11          Penilaian klinis nyeri
Pengukuran Intensitas Nyeri
Nyeri dinilai berdasarkan tingkah laku manusia, yang secara kultur mempengaruhi, sehingga latar belakang mempengaruhi ekspresi dan pemahaman terhadap nyeri. Nyeri merupakan respon fisiologis terhadap kerusakan jaringan dan juga mempengaruhi respon emosional dan tingkah laku berdasarkan pengalaman nyeri seseorang dimasa lalu dan persepsi terhadap nyeri. Definisi nyeri sendiri dalam asuhan keperawatan adalah ketika seseorang merasakan nyeri dan menyatakannya. Perhatian harus diberikan kepada pasien yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal. Persepsi dan interpretasi terhadap input nosiseptif, respon emosional terhadap persepsi (misal, depresi, takut, cemas, dan menderita), dan tingkah laku sebagai respon terhadap emosi dan persepsi yang menuntun observer untuk yakin bahwa seseorang sedang merasakan nyeri (misal, mengeluhkan nyeri, meringis). Persepsi nyeri kelihatannya sama pada berbagai suku akan tetapi batas ambang nyeri berbeda antara suku atau ras. Penilaian skala nyeri dapat dibagi atas pasien yang memiliki kemampuan verbal dan dapat melaporkan sendiri rasa sakitnya (self reported) dan pasien dengan ketidakmampuan verbal baik karena terganggu kognitifnya, dalam keadaan tersedasi, ataupun berada dalam mesin ventilator.(9)
a.      Skala Nyeri Verbal (Self Reported)
Ada beberapa skala nyeri yang dapat digunakan. Pada umumnya skala ini dibagi atas skala kategorik (tidak sakit,sakit ringan, sakit sedang, dan sakit berat). Ataupun penggunaan skala yang digambarkan sebagai garis horizontal atau vertical yang ujung-ujungnya diberi nilai “0” menandakan tidak ada nyeri dan “10” menandakan nyeri yang hebat. (9)
-          Verbal Rating Scale
Verbal Rating Scale terdiri dari beberapa nomor yang menggambarkan tingkat nyeri pada pasien. Pasien ditanya bagaimana sifat dari nyeri yang dirasakannya. Peneliti memilih nomor dari skor tingkat nyeri tersebut dari apa yang dirasakan pasien. Skor tersebut terdiri dari empat poin yaitu: (9)
• 0 = Tidak ada nyeri atau perasaan tidak enak ketika ditanya
• 1 = Nyeri yang ringan yang dilaporkan pasien ketika ditanya
• 2 = Nyeri sedang yang dilaporkan pasien ketika ditanya
• 3 = Nyeri dihubungkan dengan respon suara, tangan atau lengan tangan, wajah merintih atau menangis
Keempat poin ini secara luas digunakan oleh klinisi untuk menentukan tingkat kebenaran dan keandalan. Untuk pasien yang memiliki gangguan kognitif, skala nyeri verbal ini sulit digunakan. (9)
-          Visual Analogue Scale
Cara lain untuk menilai intensitas nyeri yaitu dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS). Skala berupa suatu garis lurus yang panjangnya biasaya 10 cm (atau 100 mm), dengan penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya, seperti angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka 10 (nyeri terberat). Nilai VAS 0 - <4 = nyeri ringan, 4 - <7 = nyeri sedang dan 7-10 = nyeri berat.(10)
-          Wong Baker Faces Pain Scale
Banyak digunakan pada pasien pediatrik dengan kesulitan atau keterbatasan verbal. Dijelaskan kepada pasien mengenai perubahan mimik wajah sesuai rasa nyeri dan pasien memilih sesuai rasa nyeri yang dirasakannya.(11)
b.      Skala Nyeri Non Verbal
Biasanya digunakan untuk pasien yang mengalami limitasi verbal baik karena usia, kognitif, maupun karena berada dibawah pengaruh obat sedasi dan di dalam mesin ventilator. Berdasarkan guidelines yang dikeluarkan AHCPR tahun 1992 menyatakan penggunaan baik fisiologis dan respon tingkah laku terhadap nyeri untuk dilakukan penilaian ketika self-report tidak bisa dilakukan.(12)
-          Skala FLACC
Skala ini merupakan skala perilaku yang telah dicoba pada anak usia 3-7 tahun. Setiap kategori (Faces, Legs,Activity, Cry, dan Consolability) diberi nilai 0-2 dan dijumlahkan untuk mendapatkan total 0-10.(13)
-          Behavioral Pain Scale
Penggunaan indikator tingkah laku dan fisiologis untuk menilai nyeri pada pasien dewasa yang tidak responsive, tidak komunikatif telah dikemukakan oleh Payen pada tahun 2001. Payen membandingkan prospektif 30 pasien yang berada dalam mekanikal ventilator yang mendapat sedasi dan analgesi. BPS digunakan untuk menilai rasa nyeri yang dialami pasien pada prosedur yang menyakitkan seperti tracheal suctioning ataupun mobilisasi tubuh. Skala ini sudah divalidasi. BPS terdiri dari tiga penilaian, yaitu ekspresi wajah, pergerakan ekstremitas, dan komplians dengan mesin ventilator. Setiap subskala diskoring dari 1 (tidak ada respon) hingga 4 (respon penuh). Karena itu skor berkisar dari 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri maksimal). Skor BPS sama dengan 6 atau lebih dipertimbangkan sebagai nyeri yang tidak dapat diterima (unacceptable pain).(14)
-          Colorado Behavioral Numerical Pain Scale (CBNPS)
CBNPS dikembangkan dari skala BPS oleh Salmore tahun 2002 untuk menilai nyeri pada pasien yang tersedasi yang menjalani pemeriksaan saluran cerna, baik endoskopi maupun kolonoskopi. Rasa nyeri pasien dinilai dengan skala yang lebih mudah, tanpa harus menggunakan ekspresi verbal.Skala CBNPS dibentuk berdasarkan keadaan yang dinilai sesuai dengan penilaian nyeri oleh Agency of Health Care (USA) tahun 1992. CBNPS menilai tingkah laku yang dideskripsikan dengan skala 0-5, yang berkorelasi dengan peningkatan nyeri. Pada penelitian Salmore juga dikemukakan persamaan skor dalam numerik, dengan nilai 0 tidak ada nyeri hingga 5 yaitu nyeri hebat.(15,16)
2.12          Ambang dan toleransi nyeri
2.13          Mediator nyeri
1.      Glutamate
Substansi neurotransmitter yang disekresikan melali medulla spinalis pada ujung-ujung serabut saraf tipe A. Hal ini adalah satu dari sekian banyak transmitter eksitasi yang banyak di gunakan dalam system saraf pusat, biasnya memiliki masa kerja yang berlangsung beberapa mili detik.
2.      Substansi P
Pada serabuta saraf tipe C yang memassuki medulla spinalis mengeluarkan neurotransmitter substansi P jauh lebih lambat, mencapai pemekatan dalam waktu beberapa mili detik atau beberapa menit.
3.         Prostaglandin
Semua neurotransmitter dapat ditingkatkan kepekaannya oleh adanya prostaglandin, yang sangat meningkatkan respon reseptor terhadap ransangan yang mengganggu ( tersa lebih sakit jika ada prostaglandin). Cedera jaringan antara lain dapat menyebabkan pelepasan lokat prostaglandin. Bahan-bahan kimia ini bekerja pada ujung perifer nosiseptor untuk menurunkan ambang pengaktifan reseptor.
4.         Bradikinin
Merupakan suatu bahan yang normalnya inaktif dan menjadi aktif oleh enzim-enzim yang dikeluarkan ke dalam CES dan jaringan yang rusak. Bradikinin ini memicu perasaan nyeri menetap lebih lama di sertai rasa tidak nyaman (jalur nyeri lambat).   
2.14          Pengaruh durasi pemakaian obat terhadap resistensi
Analgetik non-opiat, terutama analgetik anti-inflamasi non-steroid (AINS), merupakan analgetik perifer menghambat aktivitas cyclooxygnase dalam pembentukan prostaglandin sehingga sistem nosiseptor perifer tidak teraktivasi. AINS tidak menimbulkan toleransi dan ketergantungan.(17,18)
Enzim siklooksigenase (COX) adalah enzim yang mengkatalisa sintesa prostaglandin dari asam arakhidonat. Prostaglandin memediasi sejumlah proses ditubuh termasuk proteksi lambung dari sekresi yang dirangsang inflamasi dan nyeri, mempertahankan perfusi ginjal dan agregasi trombosit. Obat AINS menghambat produksi dari enzim COX yang selanjutnya menurunkan induksi prostaglandin. Hasilnya ada dua yaitu, positif (analgesia, antiinflamasi) dan negative (ulkus lambung, penurunan perfusi ginjal dan perdarahan).(19)
2.15          Pengaruh psikologi / stress terhadap nyeri kepala Tipe Tegang (NT)
Ansietas dan depresi ditemukan pada 95% pasien dengan NT dibandingkan pada pasien migren yaitu 54%. Ansietas sebagai gangguan cemas menyeluruh yaitu kecemasan dan kekhawatiran yang tidak realistik dan berlebihan mengenai dua atau lebih peristiwa kehidupan, yang sesungguhnya tidak ada alasan untuk itu, selama paling sedikit 6 bulan, yang terwujud dalam gejala-gejala somatik dan psikik. Sedangkan depresi didefinisikan sebagai perasaan tertekan atau kehilangan minat untuk paling sedikitnya dalam kurun waktu 2 minggu, diiringi dengan beberapa gejala seperti kehilangan berat badan dan kesulitan konsentrasi.1
Stresor psikososial menurut PPDGJ II adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang (anak, remaja, atau dewasa) sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau menanggulangi stressor yang timbul.2 Pada DSM-III-R dibagi menjadi 1-6 skala (1 tidak ada stress, 2 ringan, 3 sedang, 4 berat, 5 ekstrem, 6 bencana).1 Pada umumnya jenis stressor dapat digolongkan sebagai berikut : perkawinan, problem orangtua, hubungan interpersonal, pekerjaan, lingkungan hidup, hukum, perkembangan, keuangan, penyakit fisik atau cedera, faktor keluarga dan lain-lain.2 Dari penelitian dikemukakan bahwa orang yang menghadapi stress umum secara optimis, tidak cenderung mengalami gangguan psikosomatik dan bila mengalaminya, mudah pulih dari gangguan.3 Friedman dkk (1964) menganakusa 1000 penderita dengan NT menemukan adanya faktor emosional pada 100% pasien. Mereka berpendapat masalah lingkungan seperti ekonomu, sosial, fisik atau intelektual melatarbelakangi penampakan kepribadian yang mana nyeri kepala sebagai gejala utama.4
Bekal dan Kaganof (1977) melaporkan bahwa pasien dengan NTK (Nyeri kepala tipe tegang kronik) dan penurunan nilai EMG adalah pasien-pasien yang juga mempunyai keluhan nyeri difus atau nyeri yang tidak spesifik. Mereka juga menunjukkan beberapa gejala yang lain dari nyeri psikogenik. Pasien-pasien NTK memperlihatkan ansietas dan depresi yang lebih dari orang-orang normal. Mereka mengaami dalam kehidupannya adanya ketidaksesuaian yang tinggi, ketidaksesuaian sosialisasi, sering tersinggung (sering mengkritik da curiga terhadap orang lain).5
Pada NT, aspek psikiatrik dapat dievaluasi melalui perjenjangan, yaitu mempunyai dua arti berbeda dari penjenjangan tersebut, yang terdiri dari :
a.       Bila faktor psikogenik merupakan etiologi, tingkat 1 (sebagai keluhan utama) adalah pedromal psikoneurosis dan tingkat 2 (sebagai keluhan penyerta) adalah sindroma NT.
b.      Bila faktor psikogenik sebagai sindroma yang terjadi sekunder, tingkat 1 (keluhan utama) adalah sindroma NT dan tingkat 2 (keluhan penyerta) adalah sindroma distress emosional, yang seringkali sebagai depresi sekunder.5
Sebagian besar penelitian memperlihatkan bahwa pada pasien-pasien dengan keluhan nyeri kronik, 25% muncul depresi sekunder, separuhnya mengalami depresi yang mengiringi nyeri dan separuh lainnya munculnya depresi secara insidious. Dikatakan depresi sekunder merupakan ketidakmampuan adaptasi terhadap stress akibat nyeri, dan disfungsi emosional dalam mengatasi penyakitnya. Depresi sekunder lebih sering didapatkan pada wanita dan tertinggi didapatkan pada NT disbanding dengan nyeri kepala tipe lain. Depresi dikatakan berhubungan dengan NTK oleh karena seringkali NTK terdeteksi pada pasien-pasien dengan depresi,. Namun tidak ada hubungan yang proporsional antara depresi dengan beratnya nyeri kepala.5
2.16          Diagnosis fisik dan penunjang nyeri kepala
1.      Anamnesis khusus atau spesifik
·      Lamanya menderita sakit kepala
·      Frekuensi sakit kepala
·      Lamanya serangan nyeri kepala
·      Lokasi nyeri kepala
·      Kualitas nyeri
·      Kuantitas nyeri kepala
·      Intensitas nyeri kepala
·      Saat timbulnya nyeri kepala
·         Gejala yang mendahului
·         Faktor pencetus
·         Gejala yang menyertai
·         Faktor pemberat
·         Faktor yang memperingan
2.      Anamnesis Umum
·         Kesehatan umum pasien
·         Tinjauan sistemik
·         Riwayat penyakit dahulu
·         Riwayat keluarga
·         Latar belakang pasien; perkerjaan, masalah pribadi/keluarga, kebiasaan pasien, emosi pasien
3.      Pemeriksaan Fisik Neurologis
·         Pemeriksaan mata
·         Pemeriksaan funduskopi
·         Pemeriksaan saraf kranialis
·         Pemeriksaan motorik
·         Pemeriksaan sensibilitas
4.      Pemeriksaan Penunjang
·         Spesimen darah apabila ada indikasi kecurigaan kearah penyakit sistemik sebagai penyebab nyeri kepala
·         Spesimen CSS ada indikasi kecurigaan pendarahan subarachnoid atau infeksi susunan saraf pusat
·         Electroenchepalography (EEG) dengan indikasi; adanya kecurigaan neoplasma intracranial, nyeri kepala pada satu sisi yang menetap disertai kelainan visual/motorik/sensibilitas/sensibilitas sisi kontralateral, adanya defek pandang/deficit motorik/sensibilitas yang menetap, adanya serangan migren disertai sinkope, adanya perubahan intensitas/lamanya/dan sifat nyeri kepala
·         Pemeriksaan Radiologik; (1) Rontgen polos kepala, (2) Rontgen Vertebrae, (3) Arterografi, (4) CT scan kepala [ sesuai dengan indikasi yang ditemukan pada pasien].
2.17          Asam mefenamat
- Rumus Molekul : C15H15NO2
- Berat Molekul  : 241.29

Asam mefenamat merupakan derivat asam antranilat dan termasuk kedalam golongan obat Anti  Inflamasi Nonsteroid (AINS). Bekerja dengan cara menghambat sintesa prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat enzim siklooksigenase (COX) sehingga mempunyai efek analgesic, antiinflamasi dan antipiretik. Asam mefenamat merupakan satu-satunya fenamat yang menunjukkan kerja pusat dan juga kerja perifer. Indikasi asam mefenamat untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang sehubungan dengan sakit kepala, sakit gigi, nyeri karena trauma, nyeri otot dan nyeri sehabis operasi.
Tablet asam mefenamat diberikan secara oral. Diberikan melalui mulut dan diabsorbsi pertama kali dari lambung dan usus selanjutnya obat akan melalui hati diserap darah dan dibawa oleh darah sampai ke tempat kerjanya. konsentrasi  puncak  asam mefenamat dalam plasma tercapai dalam 2 sampai 4 jam. Pada manusia, sekitar 50% dosis asam mefenamat diekskresikan dalam urin sebagai metabolit 3-hidroksimetil terkonjugasi. dan 20% obat ini ditemukan dalam feses  sebagai metabolit 3-karboksil yang tidak terkonjugasi.
Efek samping dari asam mefenamat terhadap saluran cerna yang sering  timbul adalah diare, diare sampai berdarah dan gejala iritasi terhadap mukosa lambung, selain itu dapat juga menyebabkan eritema kulit, memperhebat gejala asma dan kemungkinan gangguan ginjal .
2.18          Metampiron
Metampiron atau yang biasa disebut antalgin termasuk derivat metan sulfonat dari amidopyrin yang mudah larut dalam air dan cepat diserap ke dalam tubuh. Bekerja secara sentral di otak dalam menghilangkan nyeri, menurunkan demam dan menyembuhkan rheumatik. Antalgin mempengaruhi hipotalamus dalam menurunkan sensitifitas reseptor rasa sakit dan thermostat yang mengatur suhu tubuh.1
Sebagai analgetika, obat ini hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang, misalnya sakit kepala dan juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Efek analgetiknya jauh lebih lemah dari efek analgetik opiat, obat ini tidak menimbulkan ketagihan (adiksi) dan efek samping sentral yang merugikan.2
Fase farmakokinetik adalah perjalanan antalgin mulai titik masuk ke dalam badan hingga mencapai tempat aksinya. Antalgin mengalami proses ADME yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi yang berjalan secara simultan langsung atau tidak langsung melintasi sel membran.3 Pada pemberian secara oral senyawa diserap cepat dan sempurna dalam saluran cerna. Terdapat 60% antalgin yang terikat oleh protein plasma, masa paru dalam plasma 3 jam. Obat ini dimetabolisme di hati menjadi metabolit utama dan diekskresi melalui ginjal.4
Pada pemakaian yang teratur dan untuk jangka waktu yang lama penggunaan obat yang mengandung metampiron kadang-kadang dapat menimbulkan kasus agranulositosis fatal. Untuk mendeteksi hal tersebut, selama penggunaan obat ini perlu dilakukan uji darah secara teratur.1 Efek samping lain yang mungkin terjadi ialah urtikaria, leukopenia, trombopenia. Terutama pada pasien usia lanjut terjadi retensi Na dan air dengan edema. Pada kelebihan dosis, terjadi hipotensi, nafas terengah-engah, torus otot meninggi, rahang menutup, kehilangan kesadaran dan serangan kram/kejang cerebral.4
2.19          Vitamin Neurotropic
Vitamin B1, B6, dan B12 adalah vitamin-vitamin neurotropik yang terpenting dari golongan vitamin B-Kompleks. Terutama dalam konsentrasi yang tinggi , vitamin-vitamin ini sangat bermanfaat bagi kelancaran berfungsinya jaringan syaraf otak. Vitamin B1 diperlukan untuk mempertahankan konsumsi zat asam dalam jumlah yang cukup besar dalam otak, untuk dapat mencegah akumulasi asam laktat dan asam piruvat sehingga metabolisme karbohidrat dapat berlangsung sebagaimana mestinya.
Vitamin B6 dibutuhkan untuk mengatur metabolisme asam glutamat dan asam amino butirat untuk kelancaran fungsi otak. Sedangkan vitamin B12 diperlukan untuk proses-proses metabolisme yang berhubungan dengan fungsi keseluruhan dari serat-serat syaraf dalam susunan syaraf pusat dan susunan syaraf perifer. Kombinasi dari ketiga vitamin neurotropik tersebut bekerja sinergis, sehingga daya sembuhnya sebagai keseluruhan melebihi efek-efek yang dimiliki masing-masing vitamin itu sendiri.
2.20       Mekanisme kerja analgetik opioid
Analgetik opioid mempunyai daya penghalang nyeri yang sangat kuat dengan titik kerja yang terletak di susunan syaraf pusat (SSP). Umumnya dapat mengurangi kesadaran dan meniambulkan perasaan nyaman (euforia). Analgetik opioid ini merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat. analgetik opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi.
Tubuh sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh sendiri (endogen), terutama dalam batang otak dan sumsum tulang belakang yang mempersulit penerusan impuls nyeri. Dengan sistem ini dapat dimengerti mengapa nyeri dalam situasi tertekan, misalnya luka pada kecelakaan lalu lintas mula-mula tidak terasa dan baru disadari beberapa saat kemudian. Senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh sistem endogen ini disebut opioid endogen. Beberapa senyawa yang termasuk dalam penghambat nyeri endogen antara lain: enkefalin, endorfin, dan dinorfin.
Opioid endogen ini berhubungan dengan beberapa fungsi penting tubuh seperti fluktuasi hormonal, produksi analgesia, termoregulasi, mediasi stress dan kegelisahan, dan pengembangan toleransi dan ketergantungan opioid. Opioid endogen mengatur homeostatis, mengaplifikasi sinyal dari permukaan tubuk ke otak, dan bertindak juga sebagai neuromodulator dari respon tubuh terhadap rangsang eksternal.
Baik opioid endogen dan analgesik opioid bekerja pada reseptor opioid, berbeda dengan analgesik nonopioid yang target aksinya pada enzim. Ada beberapa jenis Reseptor opioid yang telah diketahui dan diteliti, yaitu reseptor opioid μ, κ, σ, δ, ε. (dan yang terbaru ditemukan adalah N/OFQ receptor, initially called the opioid-receptor-like 1 (ORL-1) receptor or “orphan” opioid receptor dan e-receptor, namun belum jelas fungsinya). Reseptor μ memediasi efek analgesik dan euforia dari opioid, dan ketergantungan fisik dari opioid. Sedangkan reseptor μ 2 memediasi efek depresan pernafasan.
Reseptor δ yang sekurangnya memiliki 2 subtipe berperan dalam memediasi efek analgesik dan berhubungan dengan toleransi terhadap μ opioid. reseptor κ telah diketahui dan berperan dalam efek analgesik, miosis, sedatif, dan diuresis. Reseptor opioid ini tersebar dalam otak dan sumsum tulang belakang. Reseptor δ dan reseptor κ menunjukan selektifitas untuk ekekfalin dan dinorfin, sedangkan reseptor μ selektif untuk opioid analgesic.
Mekanisme umumnya :
Terikatnya opioid pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel, selain itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah terjadinya pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida penghantar nyeri, seperti contohnya substansi P, dan mengakibatkan transmisi rangsang nyeri terhambat.
2.21       Mekanisme kerja analgetik non opioid
Obat analgetik pada dasarnya terbagi dua, yaitu yang bekerja di perifer dan yang bekerja di sentral. Golongan obat AINS (anti inflamasi non steroid) berkerja di perifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktivitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi.(4)
Enzim siklooksigenase (COX) adalah enzim yang mengkatalisa sintesa prostaglandin dari asam arakhidonat. Prostaglandin memediasi sejumlah proses ditubuh termasuk proteksi lambung dari sekresi yang dirangsang inflamasi dan nyeri, mempertahankan perfusi ginjal dan agregasi trombosit. Obat AINS menghambat produksi dari enzim COX yang selanjutnya menurunkan induksi prostaglandin. Hasilnya ada dua yaitu, positif (analgesia, antiinflamasi) dan negative (ulkus lambung, penurunan perfusi ginjal dan perdarahan).(19)
Satu di antara contoh obat AINS ini adalah asam mefenamat. Asam mefenamat digunakan untuk mengatasi berbagai jenis rasa nyeri, namun lebih sering diresepkan untuk mengatasi sakit gigi, nyeri otot, nyeri sendi dan sakit ketika atau menjelang haid.

0 comments Blogger 0 Facebook

Post a Comment

 
Welcome To My Blog © 2013. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top