BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Pemicu
Seorang penyanyi terkenal, Nn.
Sahreni, 35 tahun, sering mengeluhkan nyeri pada kedua sisi atas kepalanya.
Nyeri juga kadang-kadang dirasakan di daerah sekitar mata. Keluhan ini
dirasakannya sejak 3 bulan terkahir ini. Riwayat trauma dan penyaklit lain
disangkal oleh pasien. Biasanya jika nyeri ini timbul, pasien makan obat
analgetik yang dibelinya di apotik, yaitu yang berisi asam mefenamat ataupun
yang berisi campuran metampiron dan vitamin neurotropic. Tetapi, sejak beberapa
hari ini, obat itu sudah tidak mampu menghilangkan keluhan pada pasien. Ia juga
mengaku bahwa ia baru saja diputuskan oleh tunangannya, sehingga rencana
pernikahan mereka batal. Keluhan mual, muntah disangkal.
1.2
Klarifikasi
dan definisi
a. Nyeri : Pengalaman
sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan
yang terjadi karena adanya kerusakan jaringan
atau ancaman kerusakan jaringan.
b. Asam
mefenamat : Obat pereda nyeri golongan NSAID kategori
ringan-
sedang
c. Metampiron : Cedera fisik dan psikis ,
kekerasan yang
mengakibatkan
cedera.
d. Obat
analgesic : Obat yang
digunakan untuk mengurangi atau
Menghilangkan
nyeri tanpa menghilangkan
kesadaran.
e. Vitamin
neurotropic : vitamin B1,B6,B12 yang
akan membantu
Perbaikan
fungsi saraf dan berfungsi sebagai zat
Pengantar
dalam metabolisme tubuh.
1.3
Kata
Kunci
a) Nyeri
pada kedua sisi kepala atas
b) Obat
analgesic
c) Nyeri
sekitar mata
d) Riwayat
trauma dan penyakit lain disangkat
e) Diputus
tunangan
1.4
Rumusan
Masalah
Sahreni 35 tahun sejak 3 bulan terakhir
menyeri pada kedua sisi atas kepala dan didaerah sekitar mata ia biasanya makan
obat analgesic yang berisi asam mefenamat yang berisi campuran metampiron dan
vitamin neurotropic tetapi beberapa hari ini obat tersebut tidak mampu
menghilangkan nyerinya.
1.5
Analisis
masalah
1.6
Hipotesis
Obat-obat analgesik yang dikonsumsi
oleh sahreni tidak lagi memiliki efek disebabkan karena penyebab nyeri yaitu
psikogenik atau karena resistensi terhadap obat tersebut.
1.7
Pertanyaan
diskusi
1) Klasifikasi
nyeri
2) Proses
terjadinya nyeri
3) Reseptor
dari nyeri
4) Tatalaksana
nyeri
5) Neurofisiologi
nyeri
6) Mengapa
terjadi resistensi terhadap OAINS ?
7) Faktor
apa yang menyebabkan nyeri kepala ?
8) Jenis-jenis
nyeri kepala
9) Patofisiologi
nyeri kepala
10) Tatalaksana
nyeri kepala
11) Bagaimana
penilaian klinis nyeri?
12) Bagaimana
ambang dan toleransi nyeri?
13) Mediator
nyeri
14) Pengaruh
durasi pemakaian obat tersebut terhadap resistensi ?
15) Pengaruh
psikologi / stress terhadap nyeri kepala ?
16) Apa
saja diagnosis fisik dan penunjang untuk nyeri kepala ?
17) Bagaimana
mekanisme kerja asam mefenamat?
18) Bagaimana
mekanisme kerja metampiron ?
19) Bagaimana
mekanisme kerja vitamin neurotropic?
20) Bagaimana
mekanisme kerja analgetik opioid (secara umum)?
21) Bagaimana
mekanisme kerja analgetik non opioid?
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1
Klasifikasi
nyeri
Berdasarkan Mekanisme Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan dalam 3 jenis yaitu
1. Nyeri fisiologis,
terjadinya nyeri oleh karena stimulasi singkat yang tidak merusak jaringan,
misalnya pukulan ringan akan menimbulkan nyeri yang ringan. Ciri khas nyeri
sederhana adalah terdapatnya korelasi positif antara kuatnya stimuli dan
persepsi nyeri, seperti semakin kuat stimuli maka semakin berat nyeri yang
dialami.
2. Nyeri inflamasi,
terjadinya nyeri oleh karena stimuli yang sangat kuat sehingga merusak
jaringan. Jaringan yang dirusak mengalami inflamasi dan menyebabkan fungsi
berbagai komponen nosiseptif berubah. Jaringan yang mengalami inflamasi
mengeluarkan berbagai mediator inflamasi, seperti: bradikinin, leukotrin,
prostaglandin, purin dan sitokin yang dapat mengaktivasi atau mensensitisasi
nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung. Aktivasi nosiseptor
menyebabkan nyeri, sedangkan sensitisasi nosiseptor menyebabkan hiperalgesia.
Meskipun nyeri merupakan salah satu gejala utama dari proses inflamasi, tetapi
sebagian besar pasien tidak mengeluhkan nyeri terus menerus. Kebanyakan pasien
mengeluhkan nyeri bila jaringan atau organ yang berlesi mendapat stimuli,
misalnya: sakit gigi semakin berat bila terkena air es atau saat makan, sendi
yang sakit semakin hebat bila digerakkan.
3. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang didahului dan
disebabkan adanya disfungsi primer ataupun lesi pada sistem saraf yang
diakibatkan: trauma, kompresi, keracunan toksin atau gangguan metabolik. Akibat
lesi, maka terjadi perubahan khususnya pada Serabut Saraf Aferen (SSA) atau
fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif
oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya, sehingga menimbulkan
gangguan keseimbangan. Gangguan keseimbangan tersebut dapat melalui perubahan
molekuler sehingga aktivasi SSA (mekanisme perifer) menjadi abnormal yang
selanjutnya menyebabkan gangguan fungsi sentral (mekanisme sentral).
Berdasarkan Kemunculan Nyeri
Menurut The International Association for
the Study of Pain (IASP), nyeri dapat dibedakan menjadi 2 jenis
yaitu :
1. Nyeri akut,
nyeri yang biasanya berhubungan dengan kejadian atau kondisi yang dapat
dideteksi dengan mudah. Nyeri akut merupakan suatu gejala biologis yang
merespon stimuli nosiseptor (reseptor rasa nyeri) karena terjadinya kerusakan
jaringan tubuh akibat penyakit atau trauma. Nyeri ini biasanya berlangsung
sementara, kemudian akan mereda bila terjadi penurunan intensitas stimulus pada
nosiseptor dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Contoh
nyeri akut ialah nyeri akibat kecelakaan atau nyeri pasca bedah.
2. Nyeri kronik,
nyeri yang dapat berhubungan ataupun tidak dengan fenomena patofisiologik yang
dapat diidentifikasi dengan mudah, berlangsung dalam periode yang lama dan
merupakan proses dari suatu penyakit. Nyeri kronik berhubungan dengan kelainan
patologis yang telah berlangsung terus menerus atau menetap setelah terjadi
penyembuhan penyakit atau trauma dan biasanya tidak terlokalisir dengan jelas.
Berdasarkan Klasifikasi Nyeri Wajah
Nyeri pada wajah ataupun rongga mulut dapat
diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu
1. Nyeri somatik,
nyeri yang dapat dihasilkan dari stimulasi reseptor-reseptor neural ataupun
saraf-saraf periferal. Jika stimulasi bermula dari bagian superfisial tubuh,
karakteristik klinisnya, seperti: nyeri dengan kualitas menstimulasi,
lokalisasi nyeri yang tepat, adanya hubungan yang akurat antara tempat lesi dan
sumber nyeri serta cara menghilangkan nyeri yang temporer dengan aplikasi
anestesi topikal. Jika stimulasi bermula dari bagian dalam tubuh, karakteristik
klinisnya, seperti: nyeri dengan kualitas mendepresikan, lokalisasi beragam
dari nyeri yang menyebar, lokasi dari nyeri bisa ataupun tidak berhubungan
dengan tempat lesi, sering menunjukkan efek-efek sekunder dari perangsangan
pusat.
2. Nyeri neurogenik,
nyeri yang dihasilkan dalam sistem sarafnya sendiri, reseptor saraf ataupun
stimulasi serabut yang tidak diperlukan. Karakteristik klinis dari nyeri neurogenik,
yaitu: nyeri seperti membakar dengan kualitas menstimulasikan, lokalisasi baik,
adanya hubungan yang tertutup diantara lokasi dari nyeri dan lesi, pengantaran
nyeri mungkin dengan gejala-gejala sensorik, motorik dan autonomik.
3. Nyeri psikogenik,
nyeri yang dapat memunculkan intensifikasi nyeri somatik atau neurogenik
dan juga merupakan suatu manifestasi psikoneurotik. Karakteristik
dari nyeri psikogenik, seperti: lokasi nyeri selalu tidak mempunyai
hubungan dengan suatu penyebab yang mungkin, tindakan klinis dan respon pada
pengobatan mungkin non fisiologis, tidak diharapkan dan tidak biasa. Nyeri
wajah Atipikal adalah salah satu nyeri psikogenik.
2.2
Proses
terjadinya nyeri
Kerusakan
di jaringan kulit atau jaringan perifer menyebabkan terlepasnya mediator
kimiawi dan merangsang nosiseptor sehingga terjadi penurunan nilai ambang
nyeri. Selanjutnya terjadi proses transmisi, yang menghantarkan impuls nosiseptif
melalui serabut aferen primer nosiseptif dari perifer melewati radik posterior
menuju kornu posterior medula spinalis. Di kornu posterior terdapat sistem
modulasi impuls nosiseptif yang disebut gerbang kendali nyeri ( gate control
theory of pain ). Gerbang kendali nyeri ini berperan sebagai modulator
terhadap semua impuls nosiseptif yang masuk, dengan cara memperbesar atau
menghambat impuls.
Serabut
fasikulus desendens keluar dari otak berjalan menuju gerbang kendali nyeri pada
setiap segmen medula spinalis. Serabut ini berfungsi membantu menghambat impuls
nosiseptif yang berjalan dari perifer menuju sentral dan melewati gerbang
kendali nyeri. Apabila intensitas impuls nosiseptif melampaui ambang sel
transmisi T, maka impuls nosiseptif akan berjalan mengikuti sistem aksi menuju
pusat supraspinal untuk dipersepsi di pusat somatosensoris sebagai pengalaman
nyeri. Tahap proses nyeri secara terperinci dapat diuraikan sebagai berikut :
a.
Transduksi
Merupakan
proses dimana suatu rangsang nyeri diubah menjadi aktifitas listrik yang akan
diterima ujung ujung saraf sensoris. Kerusakan jaringan menyebabkan terlepasnya
substansi kimiawi endogen yaitu bradikinin, substansi P, serotonin, histamin,
ion H, ion K, prostaglandin. Zat kimia ini terlepas ke dalam cairan ekstraseluler
yang melingkupi nosiseptor. Kerusakan membran sel akan melepaskan senyawa
phospholipid yang mengandung asam arakhidonat dan terjadi aktivasi ujung aferen
nosiseptif. Asam arakhidonat atas pengaruh prostaglandin (PG) endoperoxide
syntethase akan membentuk cyclic endoperoxide (PGG2 dan PGH2) dan
membentuk mediator inflamasi sekaligus mediator nyeri tromboksan (TXA2),
prostaglandin (PGE2, PG2 ) dan prostasiklin (PGI2). Terbentuk pula leukotrien
(LT) atas pengaruh 5-lipooksigenase, dan dari sel mast dilepaskan histamin.
Kombinasi senyawa ini menimbulkan vasodilatasi lokal dan peningkatan
permeabilitas vaskuler lokal sehingga terjadi gerakan cairan ekstravasasi ke
dalam ruang interstisial jaringan rusak.
Mediator
juga mengaktifkan nosiseptor. PGs dan LTs tidak langsung mengaktifkan melainkan
mensensitisasi nosiseptor agar dapat distimuli oleh senyawa lain seperti
bradikinin, histamin sehingga terjadi hiperalgesia, yaitu respon terhadap
stimuli yang meningkat. Pelepasan mediator kimiawi terus menerus dapat
menyebabkan stimulasi dan sensitisasi terus menerus pula sehingga terjadi
hiperalgesia, alodina dan proses berakhir sesudah terjadi proses penyembuhan.
Selanjutnya lekotrien D4 (LTD4) mengaktifkan makrofag dan basofil yang
selanjutnya akan menstimuli dan meningkatkan pelepasan eikosanoids, yaitu
metabolit dari metabolisme asam arakhidonat. Leukosit polimorfonuklear (PMN)
melepaskan leukotrien B4 (LTB4). Keduanya berperan dalam sensitisasi
nosiseptor. Pada inflamasi, sistem imun akan melepaskan sitokin proinflamasi
yaitu : interleukin (IL)-1 , IL-6, Tumor Necrosis Factor- (TNF- , Interferon
(IFN). Sitokin ini dengan cepat akan berinteraksi dengan saraf perifer
melalui mediator. IL- 1 berinteraksi dengan neuron sensoris, mengaktifkan
eikosanoid dalam sel seperti fibroblas dan menyebabkan terlepasnya
prostaglandin. Platelet dan sel mast juga melepas serotonin yang langsung
mengaktifkan atau mensensitisasi nosiseptor dan menimbulkan hiperalgesia.
Proses transduksi dapat dihambat oleh obat anti inflamasi non steroid.
b.
Transmisi
Adalah
perambatan rangsang nyeri melalui serabut saraf sensoris menyusul proses
tranduksi. Dalam keadaan hiperalgesia intensitas impuls akan membesar dan
kemudian ditransmisi oleh serabut aferen nosiseptif primer lewat radiks
posterior menuju kornu posterior medula spinalis. Serabut aferen primer
nosiseptif khusus yang menghantarkan impuls nosiseptif terdapat di kulit,
periosteum, sendi, ligamen, otot dan visera. Stimulus yang dapat direspon
adalah stimulus mekanik, mekanotermal dan polimodal. Impuls di neuron aferen
primer melewati radiks posterior masuk ke medula spinalis pada berbagai tingkat
dan membentuk badan sel dalam ganglia radiks posterior. Serabut ini akan
membelah menjadi dua dan mengirim banyak cabang kolateral. Serabut aferen
primer berakhir pada lamina I, substansia gelatinosa (lamina II, III), lamina V
dan lamina IV. Impuls ditransmisi ke neuron sekunder dan masuk ke traktus
spinotalamikus lateralis. Kornu posterior berfungsi sebagai jalur masuk
desendens
dari otak untuk melakukan modulasi impuls dari perifer. Impuls selanjutnya
disalurkan ke daerah somatosensorik di korteks serebri dan diterjemahkan.
Proses transmisi ini dapat dihambat oleh anestetik lokal.
c.
Modulasi
Adalah
proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan impuls nyeri yang masuk
ke kornu posterior. Impuls setelah mencapai kornu posterior medula spinalis
mengalami penyaringan intensitas yang bisa diperbesar atau dihambat. Sistem
pengendali modulasi ini adalah sistem gerbang kendali spinal. Terdiri
dari substansia gelatinosa sebagai penghambat sel transmisi T, serabut aferen
dengan diameter besar akan menutup gerbang, sedangkan yang berdiameter kecil
akan membuka gerbang. Cabang serabut desendens dari otak yang menuju ke
substansia gelatinosa akan menambah hambatan transmisi sel T. Apabila impuls
melebihi ambang sel T maka akan melewati sistem kendali gerbang spinal dan
diteruskan ke pusat supraspinal di korteks somatosensoris. Impuls akan dipersepsi
sebagai pengalaman nyeri. Substansi yang bekerja sebagai modulator penghambat
nyeri di medula spinalis yaitu dinorfin, enkefalin, noradrenalin, dopamine, 5
Hidroksi Triptamin-2(5 HT2) dan Gama Amino Butiric Acid (GABA). Sedangkan
substansi yang meningkatkan nyeri yaitu substansi P, Adenosin Tri Phosphat
(ATP) dan asam amino eksitatori.
d.
Persepsi
Adalah
proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi,
transmisi dan modulasi yang pada akhirnya menghasilkan suatu perasaan yang subyektif
yang dikenal sebagai persepsi nyeri. Juga merupakan proses integrasi pada pusat
kognisi, afeksi dan impuls nyeri yang dirasakan individu dan bagaimana cara
individu menghadapinya.
2.3
Reseptor
nyeri
Nyeri yang timbul dikarenakan adanya
peran dari reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
ragsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
saraf bebas dalam kulit yang berespons hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor.1
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf
bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral dan vascular.
Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab pada kehadiran stimulus noxious
yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada
jaringan normal, nosiseptor tidakb aktif sampai adanya stimulus yang memiliki
energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor
mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke CNS untuk interpretasi
nyeri.1
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn
dari spinal cord dengan lokal interneuron dan saraf projeksi yang membawa
informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak dan thalamus.
Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak bisa
beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi karena
hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan jaringan
yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya menimal. Mula datang
nyeri pada jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan kecepatan
metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas kerena
iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemi kulit 20 sampai
30 menit.1
Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada
tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta
bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi
pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta
mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat –serat sensorik mekanoreseptor bisa
diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi nyeri ketika daerah
sekitar terjadi inflamasi dan produk-produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau
sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta.1
Nosiseptor viseral, tidak seperti
nosiseptor kutaneus, tidak didisain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ
interj,gnal jarang terpapar pada keadaan yang merusak. Banyak stimulus yang
merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan
pada struktur viseralis. Selain itu, inflamasi, iskemia, regangan mesenterik,
dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini
biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk
mempertahankan fungsi.1
2.4
Tatalaksana
nyeri
Tujuan penatalaksanaan nyeri:
Mengurangi nyeri sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil.
Tatalaksana nyeri terbagi menjadi 2; (1) Pendekatan Farmakologik, (2) Pendekatan
NonFarmakologik.
1. Pendekatan
Farmakologik
Ø Antagonis dan
agonis-antagonis opioid
Antagonis
opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan mengikat reseptor
opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu antagonis opioid murni,
menghilangkan analgesia dan efek samping opioid. Nalokson digunakan untuk
melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu yang paling serius adalah depresi
pernapasan dan sedasi.
Obat
opioid lain adalah kombinasi agonis dan antagonis seperti pentazosin (talwin) dan
butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien yang bergantung pada
narkotik maka obat-obat ini dapat memicu gejala-gejala putus obat.
Agonis-antagonis opioid adalah analgetik efektif apabila diberikan tersendiri
dan lebih kecil kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan
di bandingkan dengan agonis opioid murni.
Ø Adjuvan atau
koanalgesik
Obat adjuvan atau koanalgesik
adalah obat yang semula dikembangkan untuk tujuan selain menghilangkan nyeri
tetapi kemudian ditemukan memiliki sifat analgetik atau efek komplementer dalam
penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari obat ini sangat efektif
dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak berespons terhadap
opioid.
ü Anti
kejang, seperti karbamazepin (tegretol) atau fenitoin (dilantin), telah
terbukti efektif untuk mengurangi nyeri menyayat yang berkaitan dengan
kerusakan saraf. Nyeri menyayat adalah khas untuk neuralgia trigeminus,
neuropati diabetes, dan neuralgia pascaherpes serta sering terjadi setelah
laminektomi dan amputasi ekstremitas. Anti kejang efektif untuk nyeri
neuropatik karena obat golongan ini menstabilkan membran sel saraf dan menekan
respon akhir di saraf. Gabapentin, yang terutama efektif untuk nyeri menyayat
memiliki mekanisme kerja yang belum jelas, walaupun obat ini berikatan dengan
reseptor spesifik di otak, menghambat arus natrium yang bergantung pada voltase, dan mungkin meningkatkan
pelepasan GABA. Anti kejang zonisamid menimbulkan efek anti epilepsi melalui
blokade saluran natrium dan kalsium, serta melalui aktivitas dopaminergik dan
serotonergik.
ü Anti
depresan trisiklik, seperti amitriptilin (elavil) atau imipramin (tofranil),
adalah analgetik yang sangat efektif untuk nyeri neuropatik, serta berbagai
penyakit lain yang menimbulkan nyeri. Aplikasi-aplikasi
spesifik adalah terapi untuk neuralgia pascaherpes, invasi struktur saraf
olehkarsinome, nyeri pasca bedah, dan artritis rematoid. Pada pengobatan untuk
nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik yang independen
dari aktivitas antidepresannya. Diperkirakan bahwa antidepresan trisiklik
menghilangkan nyeri dengan menghambat penyerapan ulang amina-amina biogenik di
SSP.
ü Obat
adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah hidroksizin
(vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan efek aditif
apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam, yang
digunakan untuk mengobati kejang otot yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid
misalnya deksametason yang telah digunakan untuk mengendalikan gejala yang
berkaitan dengan kompresi medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien
kanker. Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa,
yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan opioid atau anastetik
lokal; obat ini juga memiliki analgetik apabila diberikan secara sistemis
karena memulihkan respons adrenergik simpati yang berlebihan di reseptor
sentral dan perifer. Efek samping utama dari obat-obat ini adalah hipotensi dan
potensial depresi pernapasan yang diinduksi oleh opioid.
2. Pendekatan
NonFarmakologik
Merupakan
penatalaksanaan terhadap nyeri melalui cara tanpa penggunaan obat, melainkan;
(a)
Terapi
dan Modalitas Fisik
Terapi
fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit (pijat,stimulasi
saraf dengan listrik transkutis, akupungtur, aplikasi panas atau dingin,
olahraga).
(b)
Strategi
Kognitif dan Perilaku
Merupakan
penalataksanaan terhadap nyeri yang bermanfaat dalam mengubah presepsi pasien
terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan member pasien perasaan yang lebih
mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini mencakup relaksasi,
penciptaan khayalan(imagery), hypnosis, dan biofeedback.
2.5
Neurofisiologi
nyeri
Nyeri menurut
International Association for the Study of Pain adalah pengalaman sensorik dan
motorik yang tidak menyenangkan sehubungan dengan kerusakan jaringan baik
aktual maupun potensial. Nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat
kerusakan jaringan yang dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi
oleh genetik, latar belakang cultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam
menilai faktor kompleks nyeri dan bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya
dan tes laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman dan terapi yang tidak
adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi
seperti orangtua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi.(1,2)
Kata nosisepsi berasal
dari kata “noci” dari bahasa Latin yang artinya harm atau injury dalam bahasa
Inggris atau luka atau trauma. Kata ini digunakan untuk menggambarkan respon
neural hanya pada traumatik atau stimulus noksius. Banyak pasien merasakan
nyeri meskipun tidak ada stimulus noksius. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh
aktivasi ataupun sensitisasi dari nosiseptor perifer, reseptor khusus yang
mentransduksi stimulus noksius.(3)
Berdasarkan lamanya nyeri dapat dibedakan menjadi
nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri
karena stimulus noksius karena ada kerusakan jaringan, proses penyakit ataupun
fungsi abnormal dari otot atau organ dalam (viscera) dan biasanya bersifat
nosiseptif. Nyeri akut merupakan bentuk nyeri yang paling sering yang
dihasilkan dari pasca trauma, paska operasi dan nyeri obstetrik seperti halnya
nyeri yang diasosiasikan dengan kondisi medis kritis yang akut seperti miokard
infark, pancreatitis dan calculi renal. Kebanyakan dari nyeri akut bersifat
terbatas atau akan sembuh dalam beberapa hari atau minggu. Apabila nyeri gagal
untuk sembuh karena atau akibat abnormal penyembuhannya atau karena pengobatan
yang tidak adekuat, nyeri menjadi kronis. Nyeri kronis adalah nyeri yang
menetap dialami lebih 3 bulan atau 6 bulan dari sejak mulai dari dirasakan
nyeri. Dapat bersifat nosiseptiv atau neuropatik ataupun gabungan keduanya.
Sedangkan tipe nyeri dapat dibagi menjadi nyeri somatik, nyeri visceral, dan
nyeri neuropatik. Nyeri somatik dideskripsikan sebagai sakit, menggerogoti, dan
tajam dalam hal kualitas. Secara umum dapat dilokalisasi dan diinisiasi oleh
aktivasi nosiseptor di jaringan kulit dan jaringan dalam. Contoh nyeri somatic
termasuk nyeri akut pasca operasi dan patah tulang. Nyeri visceral juga
diasosiasikan dengan kerusakan jaringan, khususnya infiltrasi, kompresi dan
distensi dari organ dalam. Biasanya dideskripsikan sebagai nyeri yang tumpul
dan sukar dilokalisasi dan bisa menyebar ke tempat lain. Misalnya nyeri perut
yang disebabkan oleh konstipasi. Sedangkan nyeri neuropati dihasilkan dari
kerusakan terhadap sistem saraf baik pusat maupun perifer. Tertembak, sengatan
listrik, ataupun luka bakar sering bersamaan dengan latar belakang timbulnya
sensasi nyeri dan terbakar. Contohnya, neuropati diabetik dan neuralgia post
herpetic.(4,5)
a.
Mekanisme Nyeri
-
Respon Terhadap Stimulus Nyeri Akut
Secara klinis nyeri dapat
diberi label “nosiseptif” jika melibatkan nyeri yang berdasarkan aktivasi dari
sistem nosiseptif karena kerusakan jaringan. Meskipun perubahan neuroplastik
(seperti hal-hal yang mempengaruhi sensistisasi jaringan) dengan jelas terjadi,
nyeri nosiseptif terjadi sebagai hasil dari aktivasi normal sistem sensorik
oleh stimulus noksius, sebuah proses yang melibatkan transduksi, transmisi,
modulasi, dan persepsi.(6)
Nyeri karena pembedahan
mengalami sedikitnya dua perubahan, pertama karena pembedahan itu sendiri, menyebabkan
rangsang nosiseptif, kedua setelah pembedahan karena terjadinya respon
inflamasi pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia
oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia tersebut antara
lain adalah prostaglandin, histamine, serotonin, bradikinin, substansi P,
leukotrien; dimana zat-zat tadi akan ditransduksi oleh nosiseptor dan
ditransmisikan oleh serabut saraf A delta dan C ke neuroaksis.(6)
Transmisi lebih lanjut
ditentukan oleh modulasi kompleks yang mempengaruhi di medula spinalis.
Beberapa impuls diteruskan ke anterior dan anterolateral dorsal horn untuk
memulai respon refleks segmental. Impuls lain ditransmisikan ke sentral yang
lebih tinggi melalui traktus spinotalamikus dan spinoretikularis, dimana akan
dihasilkan respon suprasegmental dan kortikal. Respon refleks segmental
diasosiasikan dengan operasi termasuk peningkatan tonus otot lurik dan spasme
yang diasosiasikan dengan peningkatan konsumsi oksigen dan produksi asam
laktat. Stimulasi dari saraf simpatis menyebabkan takikardi, peningkatan curah
jantung sekuncup, kerja jantung, dan konsumsi oksigen miokard. Tonus otot
menurun di saluran cerna dan kemih. Respon refleks suprasegmental menghasilkan
peningkatan tonus simpatis dan stimulasi hipotalamus. Konsumsi dan metabolisme
oksigen selanjutnya akan meningkat.(7)
-
Sensitisasi Perifer
Sensitivitas terminal
nosiseptor perifer tidaklah tetap, dan aktivasinya dapat dilakukan baik melalui
stimulasi perifer berulang atau melalui perubahan komposisi kimia dari terminal
dapat mensensitisasi neuron sensor primer. Fenomena ini dikatakan sebagai
sensitisasi perifer.(8)
-
Sensitisasi Sentral dan Modulasi
Sebagai akibat perubahan
pada sensitivitas terminal nosiseptor perifer, penambahan sinaps transmisi
nosiseptif di dorsal horn dari medulla spinalis terjadi. Dan ini berkontribusi
untuk meningkatkan sensitivitas terhadap nyeri, yang dikenal sebagai
sensitisasi sentral. Input yang intensif dari nosiseptor ke medula spinalis
memicu sensasi segera dari nyeri yang berakhir selama waktu stimulus noksius
dan merefleksikan aktivasi langsung dari hasil potensial aksi dari saraf yang
diproyeksikan. Beberapa input, bagaimanapun juga menginduksi aktivitas yang
bergantung kepada modulasi proses sensori di dorsal horn yang menghasilkan
hipersensitivitas terhadap nyeri.(8)
-
Nosiseptor
Nosiseptor adalah reseptor
ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot, persendian, viseral dan vascular.
Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab pada kehadiran stimulus noxious
yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin), atau perubahan mekanikal. Pada
jaringan normal, nosiseptor tidakb aktif sampai adanya stimulus yang memiliki
energi yang cukup untuk melampaui ambang batas stimulus (resting). Nosiseptor
mencegah perambatan sinyal acak (skrining fungsi) ke CNS untuk interpretasi
nyeri.(5)
Saraf nosiseptor bersinap
di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal interneuron dan saraf projeksi
yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang lebih tinggi pada batang otak
dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik lainnya, reseptor nyeri tidak
bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri beradaptasi adalah untuk proteksi
karena hal tersebut bisa menyebabkan individu untuk tetap awas pada kerusakan
jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan terjadi, nyeri biasanya menimal.
Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi akut berhubungan dengan kecepatan
metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi pada saat beraktifitas kerena
iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi pada iskemi kulit 20 sampai
30 menit. (5)
Tipe nosiseptor spesifik
bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda. Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor
A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas atau dingin, dimana yang lainnya
bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia, panas, dingin). Beberapa reseptor
A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like. Serat –serat sensorik
mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang akan menginterpretasi
nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-produknya. Allodynia
mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan ringan) dihasilkan
mekanoreseptor A-beta. (5)
Nosiseptor viseral, tidak
seperti nosiseptor kutaneus, tidak didisain hanya sebagai reseptor nyeri karena
organ internal jarang terpapar pada keadaan yang merusak. Banyak stimulus yang merusak
(memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan pada
struktur viseralis. Selain itu, inflamasi, iskemia, regangan mesenterik,
dilatasi, atau spasme viseralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini
biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk
mempertahankan fungsi. (5)
2.6
Mengapa
terjadi resistensi terhadap OAINS
2.7
Faktor
yang menyebabkan terjadinya nyeri kepala
2.8
Jenis-jenis
nyeri kepala
Nyeri kepala dapat diklasifikasikan menjadi
nyeri kepala primer, nyeri kepala
sekunder, neuralgia kranial, nyeri facial dan nyeri kepala lainnya. Nyeri kepala primer dapat dibagi menjadi
migraine, tension type headache, cluster headache dengan sefalgia trigeminal /
autonomic, dan nyeri kepala primer lainnya. Nyeri
kepala sekunder dapat dibagi menjadi nyeri kepala yang disebabkan oleh
karena trauma pada kepala dan leher, nyeri kepala akibat kelaianan vascular
kranial dan servikal, nyeri kepala yang bukan disebabkan kelainan vascular
intracranial, nyeri kepala akibat adanya zat atau withdrawal, nyeri kepala
akibat infeksi, nyeri kepala akibat kelainan cranium, leher, telinga, hidung,
dinud, gigi, mulut atau struktur lain dikepala dan wajah, nyeri kepala akibat
kelainan psikiatri.
2.9
Patofisiologi
nyeri kepala
Pada nyeri kepala, sensitisasi terdapat di nosiseptor meningeal
dan neuron trigeminal sentral. Fenomena pengurangan nilai ambang dari kulit dan
kutaneus allodynia didapat pada penderita yang mendapat serangan migren dan
nyeri kepala kronik lain yang disangkakan sebagai refleksi pemberatan respons
dari neuron trigeminalsentral.
lnervasi sensoris pembuluh darah intrakranial sebahagian besar
berasal dari ganglion trigeminal dari didalam serabut sensoris tersebut
mengandung neuropeptid dimana jumlah dan peranannya adalah yang paling besar
adalah CGRP(Calcitonin Gene Related Peptide), kemudian diikuti oleh
SP(substance P), NKA(Neurokinin A), pituitary adenylate cyclase activating
peptide (PACAP) nitricoxide (NO), molekul prostaglandin E2 (PGEJ2)
bradikinin, serotonin(5-HT) dan adenosin triphosphat (ATP), mengaktivasi atau
mensensitisasi nosiseptor2. Khusus untuk nyeri kepala klaster clan chronic
parox-ysmal headache ada lagi pelepasan VIP(vasoactive intestine peptide) yang
berperan dalam timbulnya gejala nasal congestion dan rhinorrhea.
Marker pain sensing nerves lain yang berperan dalam proses nyeri
adalah opioid dynorphin, sensory neuron-specific sodium channel(Nav 1.8),
purinergic reseptors(P2X3), isolectin B4 (IB4) ,
neuropeptide Y , galanin dan artemin reseptor ( GFR-∝3 = GDNF Glial Cell Derived Neourotrophic Factor family receptor-∝3). Sistem ascending dan descending pain pathway yang berperan
dalam transmisi dan modulasi nyeri terletak dibatang otak. Batang otak
memainkan peranan yang paling penting sebagai dalam pembawa impuls nosiseptif
dan juga sebagai modulator impuls tersebut. Modulasi transmisi sensoris
sebahagian besar berpusat di batang otak (misalnya periaquaductal grey matter,
locus coeruleus, nukleus raphe magnus dan reticular formation), ia mengatur
integrasi nyeri, emosi dan respons otonomik yang melibatkan konvergensi kerja
dari korteks somatosensorik, hipotalamus, anterior cyngulate cortex, dan
struktur sistem limbik lainnya. Dengan demikian batang otak disebut juga
sebagai generator dan modulator sefalgi.
Stimuli elektrode, atau deposisi zat besi Fe yang berlebihan pada
periaquaduct grey(PAG) matter pada midbrain dapat mencetuskan timbulnya nyeri
kepala seperti migren (migraine like headache).Pada penelitian MRI(Magnetic
Resonance Imaging) terhadap keterlibatan batang otak pada penderita migren,
CDH(Chronic Daily Headache) dan sampel kontrol yang non sefalgi, didapat bukti
adanya peninggian deposisi Fe di PAG pada penderita migren dan CDH dibandingkan
dengan kontrol.
Patofisiologi CDH belumlah diketahui dengan jelas .Pada CDH justru
yang paling berperan adalah proses sensitisasi sentral. Keterlibatan aktivasi
reseptor NMDA(N-metil-D-Aspartat), produksi NO dan supersensitivitas akan
menaikkan produksi neuropeptide sensoris yang bertahan lama. Kenaikan nitrit
Likuor serebrospinal ternyata bersamaan dengan kenaikan kadar cGMP(cytoplasmic
Guanosine Mono phosphat) di likuor. Kadar CGRP, SP maupun NKA juga tampak
meninggi pada likuor pasien CDH.
Reseptor opioid di down regulated oleh penggunaan konsumsi opioid
analgetik yang cenderung menaik setiap harinya. Pada saat serangan akut migren,
terjadi disregulasi dari sistem opoid endogen, akan tetapi dengan adanya
analgesic overusedmaka terjadi desensitisasi yang berperan dalam perubahan dari
migren menjadi CDH.15
Adanya inflamasi steril pada
nyeri kepala ditandai dengan pelepasan kaskade zat substansi dari perbagai sel.
Makrofag melepaskan sitokin lL1 (Interleukin .1), lL6 dan TNF∝ (Tumor Necrotizing Factor ∝) dan NGF (Nerve Growth Factor). Mast cell melepas/mengasingkan
metabolit histamin, serotonin, prostaglandin dan arachidonic acid dengan
kemampuan melakukan sensitisasi terminal sel saraf. Pada saat proses inflamasi,
terjadi proses upregulasi beberapa reseptor (VR1, sensory specific sodium/SNS,
dan SNS-2)dan peptides(CGRP, SP).
2.10
Tatalaksana
nyeri kepala
Bagi migren, pasien akan merasa lebih
nyaman berbaring di ruangan gelap dan tidur. Analgesik sederhana seperti
parasetamol atau aspirin diberikan dengan kombinasi antiemetic. Episode yang
tidak responsive dengan terapi di atas dapat diberikan ergotamin, suatu
vasokonstriktor poten atau sumatriptan, agonis reseptor selektif 5-HT yang
dapat diberikan subkutan, intranasal atau oral. Kedua obat tersebut memiliki
kelemahan. Alkaloid ergot dapat menimbulkan keracunan akut dengan gejala
muntah, nyeri dan kelemahan otot.1
Terapi bagi nyeri kepala klaster
meliputi penggunaan ergotamin, sumatriptan atau kortikosteroid selama 2 minggu
dengan dosis diturunkan bertahap. Terapi jangka panjang untuk pencegahan
rekurensi meliputi penggunaan metisergid,verapamil atau pizotifen. Litium dapat
membantu jika nyeri menjadi kronik tetapi kadarnya dalam darah harus dipantau.2
Terapi biasanya tidak memuaskan
untuk nyeri kepala tipe tegang. Beberapa pasien mungkin merasa lebih baik jika
diyakinkan tidak ada penyakit dasar, tetapi hal ini kurang membantu jika pola
perilaku telah menjadi selama beberapa bulan atau tahunan. Terutama jika
kemungkinan besar didasari oleh keadaan psikogenik, maka terapi trisiklik atau
komponen lain selama 3-6 bulan dapat membantu.3 Pasien yang lain
mungkin merasa lebih baik dengan bantuan ahli fisioterapi.4
2.11
Penilaian
klinis nyeri
Pengukuran Intensitas Nyeri
Nyeri dinilai berdasarkan
tingkah laku manusia, yang secara kultur mempengaruhi, sehingga latar belakang
mempengaruhi ekspresi dan pemahaman terhadap nyeri. Nyeri merupakan respon
fisiologis terhadap kerusakan jaringan dan juga mempengaruhi respon emosional
dan tingkah laku berdasarkan pengalaman nyeri seseorang dimasa lalu dan
persepsi terhadap nyeri. Definisi nyeri sendiri dalam asuhan keperawatan adalah
ketika seseorang merasakan nyeri dan menyatakannya. Perhatian harus diberikan
kepada pasien yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal. Persepsi dan
interpretasi terhadap input nosiseptif, respon emosional terhadap persepsi
(misal, depresi, takut, cemas, dan menderita), dan tingkah laku sebagai respon
terhadap emosi dan persepsi yang menuntun observer untuk yakin bahwa seseorang
sedang merasakan nyeri (misal, mengeluhkan nyeri, meringis). Persepsi nyeri
kelihatannya sama pada berbagai suku akan tetapi batas ambang nyeri berbeda
antara suku atau ras. Penilaian skala nyeri dapat dibagi atas pasien yang memiliki
kemampuan verbal dan dapat melaporkan sendiri rasa sakitnya (self reported) dan
pasien dengan ketidakmampuan verbal baik karena terganggu kognitifnya, dalam
keadaan tersedasi, ataupun berada dalam mesin ventilator.(9)
a.
Skala Nyeri Verbal (Self Reported)
Ada beberapa skala nyeri
yang dapat digunakan. Pada umumnya skala ini dibagi atas skala kategorik (tidak
sakit,sakit ringan, sakit sedang, dan sakit berat). Ataupun penggunaan skala
yang digambarkan sebagai garis horizontal atau vertical yang ujung-ujungnya
diberi nilai “0” menandakan tidak ada nyeri dan “10” menandakan nyeri yang
hebat. (9)
-
Verbal Rating Scale
Verbal Rating Scale
terdiri dari beberapa nomor yang menggambarkan tingkat nyeri pada pasien.
Pasien ditanya bagaimana sifat dari nyeri yang dirasakannya. Peneliti memilih
nomor dari skor tingkat nyeri tersebut dari apa yang dirasakan pasien. Skor
tersebut terdiri dari empat poin yaitu: (9)
• 0 = Tidak ada nyeri atau
perasaan tidak enak ketika ditanya
• 1 = Nyeri yang ringan
yang dilaporkan pasien ketika ditanya
• 2 = Nyeri sedang yang
dilaporkan pasien ketika ditanya
• 3 = Nyeri dihubungkan
dengan respon suara, tangan atau lengan tangan, wajah merintih atau menangis
Keempat poin ini secara
luas digunakan oleh klinisi untuk menentukan tingkat kebenaran dan keandalan.
Untuk pasien yang memiliki gangguan kognitif, skala nyeri verbal ini sulit
digunakan. (9)
-
Visual Analogue Scale
Cara lain untuk menilai
intensitas nyeri yaitu dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS). Skala
berupa suatu garis lurus yang panjangnya biasaya 10 cm (atau 100 mm), dengan
penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya, seperti angka 0 (tanpa nyeri)
sampai angka 10 (nyeri terberat). Nilai VAS 0 - <4 = nyeri ringan, 4 - <7
= nyeri sedang dan 7-10 = nyeri berat.(10)
-
Wong Baker Faces Pain Scale
Banyak digunakan pada
pasien pediatrik dengan kesulitan atau keterbatasan verbal. Dijelaskan kepada
pasien mengenai perubahan mimik wajah sesuai rasa nyeri dan pasien memilih
sesuai rasa nyeri yang dirasakannya.(11)
b.
Skala Nyeri Non Verbal
Biasanya digunakan untuk
pasien yang mengalami limitasi verbal baik karena usia, kognitif, maupun karena
berada dibawah pengaruh obat sedasi dan di dalam mesin ventilator. Berdasarkan
guidelines yang dikeluarkan AHCPR tahun 1992 menyatakan penggunaan baik
fisiologis dan respon tingkah laku terhadap nyeri untuk dilakukan penilaian
ketika self-report tidak bisa dilakukan.(12)
-
Skala FLACC
Skala ini merupakan skala
perilaku yang telah dicoba pada anak usia 3-7 tahun. Setiap kategori (Faces,
Legs,Activity, Cry, dan Consolability) diberi nilai 0-2 dan dijumlahkan untuk
mendapatkan total 0-10.(13)
-
Behavioral Pain Scale
Penggunaan indikator
tingkah laku dan fisiologis untuk menilai nyeri pada pasien dewasa yang tidak
responsive, tidak komunikatif telah dikemukakan oleh Payen pada tahun 2001.
Payen membandingkan prospektif 30 pasien yang berada dalam mekanikal ventilator
yang mendapat sedasi dan analgesi. BPS digunakan untuk menilai rasa nyeri yang
dialami pasien pada prosedur yang menyakitkan seperti tracheal suctioning
ataupun mobilisasi tubuh. Skala ini sudah divalidasi. BPS terdiri dari tiga
penilaian, yaitu ekspresi wajah, pergerakan ekstremitas, dan komplians dengan
mesin ventilator. Setiap subskala diskoring dari 1 (tidak ada respon) hingga 4
(respon penuh). Karena itu skor berkisar dari 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri
maksimal). Skor BPS sama dengan 6 atau lebih dipertimbangkan sebagai nyeri yang
tidak dapat diterima (unacceptable pain).(14)
-
Colorado Behavioral Numerical Pain Scale (CBNPS)
CBNPS dikembangkan dari
skala BPS oleh Salmore tahun 2002 untuk menilai nyeri pada pasien yang
tersedasi yang menjalani pemeriksaan saluran cerna, baik endoskopi maupun
kolonoskopi. Rasa nyeri pasien dinilai dengan skala yang lebih mudah, tanpa
harus menggunakan ekspresi verbal.Skala CBNPS dibentuk berdasarkan keadaan yang
dinilai sesuai dengan penilaian nyeri oleh Agency of Health Care (USA) tahun
1992. CBNPS menilai tingkah laku yang dideskripsikan dengan skala 0-5, yang
berkorelasi dengan peningkatan nyeri. Pada penelitian Salmore juga dikemukakan
persamaan skor dalam numerik, dengan nilai 0 tidak ada nyeri hingga 5 yaitu
nyeri hebat.(15,16)
2.12
Ambang
dan toleransi nyeri
2.13
Mediator
nyeri
1. Glutamate
Substansi neurotransmitter yang
disekresikan melali medulla spinalis pada ujung-ujung serabut saraf tipe A. Hal
ini adalah satu dari sekian banyak transmitter eksitasi yang banyak di gunakan
dalam system saraf pusat, biasnya memiliki masa kerja yang berlangsung beberapa
mili detik.
2. Substansi
P
Pada serabuta saraf tipe C yang
memassuki medulla spinalis mengeluarkan neurotransmitter substansi P jauh lebih
lambat, mencapai pemekatan dalam waktu beberapa mili detik atau beberapa menit.
3.
Prostaglandin
Semua neurotransmitter dapat
ditingkatkan kepekaannya oleh adanya prostaglandin, yang sangat meningkatkan
respon reseptor terhadap ransangan yang mengganggu ( tersa lebih sakit jika ada
prostaglandin). Cedera jaringan antara lain dapat menyebabkan pelepasan lokat
prostaglandin. Bahan-bahan kimia ini bekerja pada ujung perifer nosiseptor
untuk menurunkan ambang pengaktifan reseptor.
4.
Bradikinin
Merupakan suatu bahan yang normalnya
inaktif dan menjadi aktif oleh enzim-enzim yang dikeluarkan ke dalam CES dan jaringan
yang rusak. Bradikinin ini memicu perasaan nyeri menetap lebih lama di sertai
rasa tidak nyaman (jalur nyeri lambat).
2.14
Pengaruh
durasi pemakaian obat terhadap resistensi
Analgetik non-opiat,
terutama analgetik anti-inflamasi non-steroid (AINS), merupakan analgetik
perifer menghambat aktivitas cyclooxygnase dalam pembentukan prostaglandin
sehingga sistem nosiseptor perifer tidak teraktivasi. AINS tidak menimbulkan
toleransi dan ketergantungan.(17,18)
Enzim siklooksigenase
(COX) adalah enzim yang mengkatalisa sintesa prostaglandin dari asam
arakhidonat. Prostaglandin memediasi sejumlah proses ditubuh termasuk proteksi
lambung dari sekresi yang dirangsang inflamasi dan nyeri, mempertahankan
perfusi ginjal dan agregasi trombosit. Obat AINS menghambat produksi dari enzim
COX yang selanjutnya menurunkan induksi prostaglandin. Hasilnya ada dua yaitu,
positif (analgesia, antiinflamasi) dan negative (ulkus lambung, penurunan
perfusi ginjal dan perdarahan).(19)
2.15
Pengaruh
psikologi / stress terhadap nyeri kepala Tipe Tegang (NT)
Ansietas dan depresi ditemukan pada
95% pasien dengan NT dibandingkan pada pasien migren yaitu 54%. Ansietas
sebagai gangguan cemas menyeluruh yaitu kecemasan dan kekhawatiran yang tidak
realistik dan berlebihan mengenai dua atau lebih peristiwa kehidupan, yang
sesungguhnya tidak ada alasan untuk itu, selama paling sedikit 6 bulan, yang
terwujud dalam gejala-gejala somatik dan psikik. Sedangkan depresi
didefinisikan sebagai perasaan tertekan atau kehilangan minat untuk paling
sedikitnya dalam kurun waktu 2 minggu, diiringi dengan beberapa gejala seperti
kehilangan berat badan dan kesulitan konsentrasi.1
Stresor psikososial menurut PPDGJ II adalah setiap
keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang
(anak, remaja, atau dewasa) sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi
atau menanggulangi stressor yang timbul.2 Pada DSM-III-R dibagi
menjadi 1-6 skala (1 tidak ada stress, 2 ringan, 3 sedang, 4 berat, 5 ekstrem,
6 bencana).1 Pada umumnya jenis stressor dapat digolongkan sebagai
berikut : perkawinan, problem orangtua, hubungan interpersonal, pekerjaan,
lingkungan hidup, hukum, perkembangan, keuangan, penyakit fisik atau cedera,
faktor keluarga dan lain-lain.2 Dari penelitian dikemukakan bahwa
orang yang menghadapi stress umum secara optimis, tidak cenderung mengalami
gangguan psikosomatik dan bila mengalaminya, mudah pulih dari gangguan.3
Friedman dkk (1964) menganakusa 1000 penderita dengan NT menemukan adanya
faktor emosional pada 100% pasien. Mereka berpendapat masalah lingkungan
seperti ekonomu, sosial, fisik atau intelektual melatarbelakangi penampakan
kepribadian yang mana nyeri kepala sebagai gejala utama.4
Bekal dan Kaganof (1977) melaporkan
bahwa pasien dengan NTK (Nyeri kepala tipe tegang kronik) dan penurunan nilai
EMG adalah pasien-pasien yang juga mempunyai keluhan nyeri difus atau nyeri
yang tidak spesifik. Mereka juga menunjukkan beberapa gejala yang lain dari
nyeri psikogenik. Pasien-pasien NTK memperlihatkan ansietas dan depresi yang
lebih dari orang-orang normal. Mereka mengaami dalam kehidupannya adanya
ketidaksesuaian yang tinggi, ketidaksesuaian sosialisasi, sering tersinggung
(sering mengkritik da curiga terhadap orang lain).5
Pada NT, aspek psikiatrik dapat
dievaluasi melalui perjenjangan, yaitu mempunyai dua arti berbeda dari
penjenjangan tersebut, yang terdiri dari :
a. Bila
faktor psikogenik merupakan etiologi, tingkat 1 (sebagai keluhan utama) adalah
pedromal psikoneurosis dan tingkat 2 (sebagai keluhan penyerta) adalah sindroma
NT.
b. Bila
faktor psikogenik sebagai sindroma yang terjadi sekunder, tingkat 1 (keluhan
utama) adalah sindroma NT dan tingkat 2 (keluhan penyerta) adalah sindroma
distress emosional, yang seringkali sebagai depresi sekunder.5
Sebagian besar penelitian memperlihatkan
bahwa pada pasien-pasien dengan keluhan nyeri kronik, 25% muncul depresi
sekunder, separuhnya mengalami depresi yang mengiringi nyeri dan separuh
lainnya munculnya depresi secara insidious. Dikatakan depresi sekunder
merupakan ketidakmampuan adaptasi terhadap stress akibat nyeri, dan disfungsi
emosional dalam mengatasi penyakitnya. Depresi sekunder lebih sering didapatkan
pada wanita dan tertinggi didapatkan pada NT disbanding dengan nyeri kepala
tipe lain. Depresi dikatakan berhubungan dengan NTK oleh karena seringkali NTK
terdeteksi pada pasien-pasien dengan depresi,. Namun tidak ada hubungan yang
proporsional antara depresi dengan beratnya nyeri kepala.5
2.16
Diagnosis
fisik dan penunjang nyeri kepala
1. Anamnesis
khusus atau spesifik
·
Lamanya menderita sakit
kepala
·
Frekuensi sakit kepala
·
Lamanya serangan nyeri
kepala
·
Lokasi nyeri kepala
·
Kualitas nyeri
·
Kuantitas nyeri kepala
·
Intensitas nyeri kepala
·
Saat timbulnya nyeri
kepala
·
Gejala yang mendahului
·
Faktor pencetus
·
Gejala yang menyertai
·
Faktor pemberat
·
Faktor yang memperingan
2. Anamnesis
Umum
·
Kesehatan umum pasien
·
Tinjauan sistemik
·
Riwayat penyakit dahulu
·
Riwayat keluarga
·
Latar belakang pasien;
perkerjaan, masalah pribadi/keluarga, kebiasaan pasien, emosi pasien
3. Pemeriksaan
Fisik Neurologis
·
Pemeriksaan mata
·
Pemeriksaan funduskopi
·
Pemeriksaan saraf
kranialis
·
Pemeriksaan motorik
·
Pemeriksaan
sensibilitas
4. Pemeriksaan
Penunjang
·
Spesimen darah apabila
ada indikasi kecurigaan kearah penyakit sistemik sebagai penyebab nyeri kepala
·
Spesimen CSS ada
indikasi kecurigaan pendarahan subarachnoid atau infeksi susunan saraf pusat
·
Electroenchepalography
(EEG) dengan indikasi; adanya kecurigaan neoplasma intracranial, nyeri kepala
pada satu sisi yang menetap disertai kelainan
visual/motorik/sensibilitas/sensibilitas sisi kontralateral, adanya defek
pandang/deficit motorik/sensibilitas yang menetap, adanya serangan migren
disertai sinkope, adanya perubahan intensitas/lamanya/dan sifat nyeri kepala
·
Pemeriksaan Radiologik;
(1) Rontgen polos kepala, (2) Rontgen Vertebrae, (3) Arterografi, (4) CT scan
kepala [ sesuai dengan indikasi yang ditemukan pada pasien].
2.17
Asam
mefenamat
- Rumus Molekul : C15H15NO2
- Berat Molekul : 241.29
Asam mefenamat merupakan
derivat asam antranilat dan termasuk kedalam golongan obat Anti Inflamasi Nonsteroid (AINS). Bekerja dengan
cara menghambat sintesa prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat
enzim siklooksigenase (COX) sehingga mempunyai efek analgesic, antiinflamasi
dan antipiretik. Asam mefenamat merupakan satu-satunya fenamat yang menunjukkan
kerja pusat dan juga kerja perifer. Indikasi asam mefenamat untuk meredakan
nyeri ringan sampai sedang sehubungan dengan sakit kepala, sakit gigi, nyeri
karena trauma, nyeri otot dan nyeri sehabis operasi.
Tablet asam mefenamat diberikan
secara oral. Diberikan melalui mulut dan diabsorbsi pertama kali dari lambung
dan usus selanjutnya obat akan melalui hati diserap darah dan dibawa oleh darah
sampai ke tempat kerjanya. konsentrasi puncak asam mefenamat dalam plasma tercapai dalam 2 sampai
4 jam. Pada manusia, sekitar 50% dosis asam mefenamat diekskresikan dalam urin
sebagai metabolit 3-hidroksimetil terkonjugasi. dan 20% obat ini ditemukan
dalam feses sebagai metabolit 3-karboksil yang tidak terkonjugasi.
Efek samping dari asam mefenamat
terhadap saluran cerna yang sering timbul adalah diare,
diare sampai berdarah dan gejala iritasi terhadap mukosa lambung, selain itu
dapat juga menyebabkan eritema kulit, memperhebat gejala asma dan kemungkinan
gangguan ginjal .
2.18
Metampiron
Metampiron atau yang biasa disebut
antalgin termasuk derivat metan sulfonat dari amidopyrin yang mudah larut dalam
air dan cepat diserap ke dalam tubuh. Bekerja secara sentral di otak dalam
menghilangkan nyeri, menurunkan demam dan menyembuhkan rheumatik. Antalgin mempengaruhi
hipotalamus dalam menurunkan sensitifitas reseptor rasa sakit dan thermostat
yang mengatur suhu tubuh.1
Sebagai analgetika, obat ini hanya
efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang, misalnya sakit
kepala dan juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi. Efek
analgetiknya jauh lebih lemah dari efek analgetik opiat, obat ini tidak
menimbulkan ketagihan (adiksi) dan efek samping sentral yang merugikan.2
Fase farmakokinetik adalah perjalanan
antalgin mulai titik masuk ke dalam badan hingga mencapai tempat aksinya.
Antalgin mengalami proses ADME yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan
ekskresi yang berjalan secara simultan langsung atau tidak langsung melintasi
sel membran.3 Pada pemberian secara oral senyawa diserap cepat dan
sempurna dalam saluran cerna. Terdapat 60% antalgin yang terikat oleh protein
plasma, masa paru dalam plasma 3 jam. Obat ini dimetabolisme di hati menjadi
metabolit utama dan diekskresi melalui ginjal.4
Pada pemakaian yang teratur dan untuk
jangka waktu yang lama penggunaan obat yang mengandung metampiron kadang-kadang
dapat menimbulkan kasus agranulositosis fatal. Untuk mendeteksi hal tersebut,
selama penggunaan obat ini perlu dilakukan uji darah secara teratur.1
Efek samping lain yang mungkin terjadi ialah urtikaria, leukopenia,
trombopenia. Terutama pada pasien usia lanjut terjadi retensi Na dan air dengan
edema. Pada kelebihan dosis, terjadi hipotensi, nafas terengah-engah, torus
otot meninggi, rahang menutup, kehilangan kesadaran dan serangan kram/kejang
cerebral.4
2.19
Vitamin Neurotropic
Vitamin
B1, B6, dan B12 adalah vitamin-vitamin neurotropik yang terpenting dari
golongan vitamin B-Kompleks. Terutama dalam konsentrasi yang tinggi ,
vitamin-vitamin ini sangat bermanfaat bagi kelancaran berfungsinya jaringan
syaraf otak. Vitamin B1 diperlukan untuk mempertahankan konsumsi zat asam dalam
jumlah yang cukup besar dalam otak, untuk dapat mencegah akumulasi asam laktat
dan asam piruvat sehingga metabolisme karbohidrat dapat berlangsung sebagaimana
mestinya.
Vitamin B6 dibutuhkan untuk mengatur
metabolisme asam glutamat dan asam amino butirat untuk kelancaran fungsi otak.
Sedangkan vitamin B12 diperlukan untuk proses-proses metabolisme yang
berhubungan dengan fungsi keseluruhan dari serat-serat syaraf dalam susunan
syaraf pusat dan susunan syaraf perifer. Kombinasi dari ketiga vitamin
neurotropik tersebut bekerja sinergis, sehingga daya sembuhnya sebagai
keseluruhan melebihi efek-efek yang dimiliki masing-masing vitamin itu sendiri.
2.20 Mekanisme
kerja analgetik opioid
Analgetik opioid mempunyai daya penghalang nyeri yang sangat
kuat dengan titik kerja yang terletak di susunan syaraf pusat (SSP). Umumnya
dapat mengurangi kesadaran dan meniambulkan perasaan nyaman (euforia).
Analgetik opioid ini merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif
untuk mengatasi nyeri yang hebat. analgetik opioid bekerja di sentral
dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi
penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak
terjadi.
Tubuh sebenarnya memiliki sistem penghambat nyeri tubuh
sendiri (endogen), terutama dalam batang otak dan sumsum tulang belakang yang
mempersulit penerusan impuls nyeri. Dengan sistem ini dapat dimengerti mengapa
nyeri dalam situasi tertekan, misalnya luka pada kecelakaan lalu lintas
mula-mula tidak terasa dan baru disadari beberapa saat kemudian.
Senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh sistem endogen ini disebut opioid endogen.
Beberapa senyawa yang termasuk dalam penghambat nyeri endogen antara lain:
enkefalin, endorfin, dan dinorfin.
Opioid endogen ini berhubungan dengan beberapa fungsi penting tubuh
seperti fluktuasi hormonal, produksi analgesia, termoregulasi, mediasi stress
dan kegelisahan, dan pengembangan toleransi dan ketergantungan opioid. Opioid
endogen mengatur homeostatis, mengaplifikasi sinyal dari permukaan tubuk ke
otak, dan bertindak juga sebagai neuromodulator dari respon tubuh terhadap
rangsang eksternal.
Baik opioid endogen dan analgesik opioid bekerja pada reseptor opioid,
berbeda dengan analgesik nonopioid yang target aksinya pada enzim. Ada beberapa
jenis Reseptor opioid yang telah diketahui dan diteliti, yaitu reseptor opioid
μ, κ, σ, δ, ε. (dan yang terbaru ditemukan adalah N/OFQ receptor, initially
called the opioid-receptor-like 1 (ORL-1) receptor or “orphan” opioid receptor
dan e-receptor, namun belum jelas fungsinya). Reseptor μ memediasi efek
analgesik dan euforia dari opioid, dan ketergantungan fisik dari opioid.
Sedangkan reseptor μ 2 memediasi efek depresan pernafasan.
Reseptor δ yang sekurangnya memiliki 2 subtipe berperan dalam memediasi
efek analgesik dan berhubungan dengan toleransi terhadap μ opioid. reseptor κ
telah diketahui dan berperan dalam efek analgesik, miosis, sedatif, dan
diuresis. Reseptor opioid ini tersebar dalam otak dan sumsum tulang belakang.
Reseptor δ dan reseptor κ menunjukan selektifitas untuk ekekfalin dan dinorfin,
sedangkan reseptor μ selektif untuk opioid analgesic.
Mekanisme umumnya :
Terikatnya opioid
pada reseptor menghasilkan pengurangan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel, selain
itu mengakibatkan pula hiperpolarisasi dengan meningkatkan masuknya ion K+ ke
dalam sel. Hasil dari berkurangnya kadar ion kalsium dalam sel adalah
terjadinya pengurangan terlepasnya dopamin, serotonin, dan peptida penghantar
nyeri, seperti contohnya substansi P, dan mengakibatkan transmisi rangsang
nyeri terhambat.
2.21 Mekanisme
kerja analgetik non opioid
Obat analgetik pada
dasarnya terbagi dua, yaitu yang bekerja di perifer dan yang bekerja di
sentral. Golongan obat AINS (anti inflamasi non steroid) berkerja di perifer
dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktivitas enzim
siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi.(4)
Enzim siklooksigenase
(COX) adalah enzim yang mengkatalisa sintesa prostaglandin dari asam
arakhidonat. Prostaglandin memediasi sejumlah proses ditubuh termasuk proteksi
lambung dari sekresi yang dirangsang inflamasi dan nyeri, mempertahankan
perfusi ginjal dan agregasi trombosit. Obat AINS menghambat produksi dari enzim
COX yang selanjutnya menurunkan induksi prostaglandin. Hasilnya ada dua yaitu,
positif (analgesia, antiinflamasi) dan negative (ulkus lambung, penurunan
perfusi ginjal dan perdarahan).(19)
Satu di antara contoh obat
AINS ini adalah asam mefenamat. Asam mefenamat digunakan untuk mengatasi
berbagai jenis rasa nyeri, namun lebih sering diresepkan untuk mengatasi sakit
gigi, nyeri otot, nyeri sendi dan sakit ketika atau menjelang haid.
0 comments Blogger 0 Facebook
Post a Comment